Ketiban sampur

Prahoro Nurtjahyo di blog-nya dua tahun lalu mengatakan almarhumah neneknya bilang ketiban sampur kurang lebih bermakna sama dengan “unexpected task”. Sepintas saya kira itu ada benarnya.

Saya juga jadi kian paham ketika Prahoro memaparkan Sampur dalam bahasa yang gampang adalah kain panjang yang mempunyai lebar hanya sekilan (jarak terpanjang antara ibu jari dan kelingking ketika satu telapak tangan kita rentangkan).

Kain yang tidak lebar ini biasanya digunakan oleh para penari perempuan dengan diikat dibagian pinggangnya.

Di daerah pesisir utara pulau Jawa, ada kesenian yang namanya Tledek. Di mana pada kesenian ini yang menjadi primadona adalah sang penari perempuan lengkap dengan aksesoris dandanan-nya yang didukung oleh suara gamelan musik Jawa (dengan suara Kendang sebagai maskotnya). Kelompok ini sangat mobile karena jumlah pemain yang relatif sedikit (6-7 orang).

Pada setiap kali pentas, umumnya pada bagian klimaks tarian ini, masing-masing tangan dari si penari memegang masing-masing ujung sampur-nya. Kalau anda pernah bermain jump rope, maka dengan gaya yang sama, si penari akan menarik salah seorang penonton dengan sampur-nya tadi untuk diajak berjoget bersama.

Mungkin itu pula yang bisa sedikit menyamakan bagaimana fenomena Boediono menjadi nama yang tenar dibicarakan tokoh politik saat ini. Boediono kini calon wakil presiden yang diusung Susilo Bambang Yudhoyono, calon presiden Partai Demokrat.

Kata salah satu teman, teori sampur ini mungkin bisa saya pakai kalau mau bikin disertasi. Boediono seperti menuai banyak protes dari penonton tledek seperti PKS, PAN, PPP, PKB ataupun partai lainnya.

Geng Ijo variasi kuning jelas sudah merasa mereka telah menaruh saham di kantong sang bapak. Padahal, mereka dulu paling sering teriak protes, pakai ayat agama dan ujung-ujungnya hanya mencari kekuasaan. Saya jadi teringat sejarah Islam setelah era 4 khalifah, tepatnya masa Muawwiyah.

Tak ada yang salah memang, toh politik lebih mencerminkan who gets what, no matter how, where, and when.

Wiranto juga mungkin mendapatkan sampur. Toh jenderal purnawirawan 4 bintang ini pernah tak sukses mewakili pohon beringin 4 tahun silam. Tapi Jusuf Kalla memang lugas dan gentlement tak menjilat ludah sendiri. Kalau saya pengusaha, pak JK pasti jadi mitra saya.

Ibu Megawati bagaimana? Pastinya beliau tidak sedang dansa-dansi atau menari poco-poco, tak juga bergoyang yosim pancar. PDI-P punya pengalaman matang ketika 1999 menang pemilu and then dikangkangi pilpres di DPR.

Kali ini, perhitungan Megawati pasti tak sekedar, “Tunggu saya!”. Kedatangan Hatta ke Jl. Teuku Umar 27 A kediaman resmi Megawati pasti ada maksud. Boediono selaku Gubernur BI pada 27 Januari 2009 menjadi penceramah khusus di Rakernas PDI-P di Solo. Imagine yourself….

Prabowo Subianto, juga mantan jenderal yang tanpa tedeng aling-aling. Cucu pendiri bank sentral di Indonesia ini punya kans meski butuh keberuntungan. Siapa menangguk untung? Kita lihat saja nanti.

Sekarang tinggal bagaimana menjaga goyangan seiring seirama.. jangan sampai dilempar sepatu oleh penonton.

salam
faa

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi