Pakai Istilah BI Rate atau BI 7-DRRR, Bunga KPR Jadi Turun?

Ada yang menarik dengan pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG) hari ini Kamis 21 Desember 2023. Bank sentral resmi menggunakan kembali istilah BI Rate.

Kalimat pembuka siaran pers RDG, sebagai berikut…

“Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Desember 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate  sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%. Terhitung mulai 21 Desember 2023, Bank Indonesia menggunakan nama BI-Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate untuk memperkuat komunikasi kebijakan moneter.  Penggantian nama ini tidak mengubah makna dan tujuan BI-Rate sebagai stance kebijakan moneter Bank Indonesia, serta operasionalisasinya tetap mengacu pada transaksi reverse repo Bank Indonesia tenor 7 (tujuh) hari.”





Penggunaan istilah memang sering menjadi kendala komunikasi bagi bank sentral. Sejak 10 tahun terakhir, BI begitu getol untuk mengoptimalkan peran komunikasi agar kebijakan-kebijakannya dipahami oleh masyarakat dan pelaku jasa keuangan.

Hampir setiap tahun pula, dalam berbagai kesempatan terutama evaluasi tahunan komunikasi BI yang saya ikuti, penggunaan istilah teknis moneter dan finansial menjadi masalah tersendiri. Jangankan masyarakat umum, mayoritas jurnalis bahkan tak memahami istilah-istilah moneter dalam peliputan bank sentral.

Anda paham istilah Non-Deliverable Forward (DNDF), Local Currency Settlement (LCS), Countercyclical Capital Buffer (CCyB), rasio FLTV/LTV KPR/KPA, Rasio RPIM, dan lainnya?

Saya yakin Anda pasti mengernyitkan dahi dan mumet dengan istilah asing tersebut.

Namun, jika Anda praktisi perbankan, analis hinggga jurnalis ekonomi, istilah-istilah tersebut sudah sewajarnya masuk dalam daftar kosa kata Anda.

Istilah BI Rate dan BI 7-DRRR memang dua makhluk yang berbeda.

Saya masuk liputan keuangan sejak 2003, lebih dari 20 tahun silam dan baru kenal dengan istilah-istilah ajaib di bank sentral sejak aktif liputan di BI. Setiap selesai sholat jumat di masjid BI, kami selalu doorstop gubernur BI ataupun deputi gubernur.

Pertanyaan soal suku bunga adalah menu wajib. Namun sejak 2005 ada istilah baru yaitu BI Rate.

Dalam rezim inflation targeting framework (ITF) yang dianut penuh mulai Juli 2005, Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) berdasarkan sasaran tingkat inflasi yang dituju, sebagai panduan bagi pasar. BI Rate merupakan policy rate, sebagai suku bunga acuan (benchmark).

Dampak BI rate terasa dalam implementasi operasi moneter yang dilakukan BI melalui pengelolaan likuiditas di pasar. Alatnya adalah suku bunga bunga pasar uang antarbank overnight (PUAB O/N).

Bagi perbankan, PUAB merupakan salah satu alternatif cara pemenuhan kebutuhan likuiditas harian. Melalui transaksi pinjaman antarbank yang sebagian besar berjangka pendek inilah, sinyal kebijakan moneter ditransmisikan kepada suku bunga instrumen lain di pasar keuangan, seperti suku bunga deposito dan kredit.

Di lain pihak, kenaikan suku bunga acuan juga bisa dipakai untuk menarik masuk dana asing, yang sekaligus bisa menambah likuiditas valuta asing di dalam negeri. Bila berjalan, ujungnya adalah kestabilan nilai tukar.

Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, BI pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan. Sebaliknya, BI akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Setidaknya ada dua tujuan dari penetapan BI Rate yang berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari.

1. BI Rate untuk menjaga perekonomian tetap stabil

Dengan ditetapkannya BI Rate, Bank Indonesia berharap bisa memberikan stimulus kepada lembaga perbankan untuk mengikuti skenario yang ditetapkan BI.

Misalnya, dengan menurunkan BI Rate, diharapkan lembaga perbankan akan menurunkan suku bunga deposito dan kredit. Begitu pula sebaliknya, jika BI menaikkan BI Rate, lembaga perbankan diharapkan ikut menaikkan suku bunga deposito dan kredit.

Turunnya suku bunga kredit perbankan akan memudahkan pemberian stimulus berupa pinjaman kredit kepada masyarakat. Dengan begitu, akan memunculkan minat masyarakat untuk mengambil pinjaman di bank.

2. Pemberlakuan BI Rate memiliki tujuan untuk mengontrol inflasi

Pemberlakuan BI Rate akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian secara umum. Sebagai contoh, apabila harga-harga melonjak tinggi, BI akan memperketat peredaran uang. Sebab banyaknya uang yang beredar di masyarakat akan diikuti naiknya inflasi.

Kenaikan inflasi menyebabkan kenaikan BI Rate. Lembaga perbankan pun lebih suka menyimpan uangnya di BI daripada meminjamkannya ke nasabah.

Diharapkan dengan sedikitnya uang yang beredar di masyarakat, inflasi perlahan-lahan akan turun. Jika sudah begitu, kondisi finansial secara umum akan menjadi stabil. Dan BI bisa menurunkan BI Rate. Lembaga perbankan yang sempat membatasi pemberian pinjaman kembali membuka peluang pemberian pinjaman bagi masyarakat. Dengan demikian, banyak usaha/UKM baru yang lahir dan banyak lowongan pekerjaan yang tersedia. Perekonomian pun dengan sendirinya bertumbuh.

MASALAH BI Rate

Bukan berarti masalah selesai setelah BI Rate turun. Uang yang bank-bank simpan di BI tidak bisa langsung diambil. Bank-bank harus menunggu terlebih dahulu selama setahun untuk bisa menarik uangnya. Karena itu, peredaran uang tidak seketika langsung meningkat.

Demikian juga apabila Bank Indonesia menaikkan BI Rate, inflasi tidak serta merta langsung turun. Sebab beberapa bank tidak ingin uang mereka tersimpan di BI selama setahun. Pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai akan memakan waktu lebih lama.

KEMUNCULAN BI 7-DRRR

Adanya kendala waktu tersebut membuat BI berinisiatif untuk memberlakukan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate. Sesuai dengan namanya, rentang waktu BI 7-Day (Reverse) Repo Rate lebih singkat daripada BI Rate.

Lembaga perbankan tidak perlu lagi menunggu hingga setahun untuk bisa menarik kembali uangnya. Bank-bank bisa menarik uangnya setelah menyimpan selama 7 hari (bisa 14 hari, 21 hari, dan seterusnya) di Bank Indonesia (BI). Kemudian pengembalian tersebut ditambah dengan bunga yang besarannya seperti yang dijanjikan sebelumnya.

Dengan jangka waktu yang lebih pendek, otomatis BI 7-Day Rate memiliki suku bunga/rate yang lebih rendah daripada BI Rate.

Sejak diberlakukan 19 Agustus 2016, Bank Indonesia (BI) berharap kebijakannya tersebut dapat mengontrol dengan efektif tingkat suku bunga, yang tentunya berdampak pada penyaluran kredit dari bank-bank ke masyarakat menjadi lebih lancar.

Selain itu, diharapkan risiko kredit macet karena perubahan suku bunga yang tiba-tiba jadi bisa diperkecil. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pun akhirnya dapat tercapai.

So, apapun istilah yang digunakan BI, bagi jurnalis semakin mudah memakai istilah yang singkat dan sederhana, tentu akan memudahkan dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat.

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi