Duta Besar Kanasugi Kenji dan Sengatan Inflasi Jepang

Pembawaannya tenang dan ramah. Itu kesan pertama saya bertemu Kanasugi Kenji Duta Besar Jepang untuk RI, Jumat malam (8/4/2022).

Malam itu, saya hadir memenuhi undangan makan malam ke kediaman resmi pak Dubes Jepang di Jl Daksa Kebayoran Baru. Sekalian buka puasa ceritanya.


Di rumah yang dibeli pemerintah Jepang sejak 1984 tersebut, Pak Dubes didampingi Shinji Kasai (Presiden Direktur Marubeni Indonesia) dan Asano Shunya (Third Secretary- lulusan Hubungan Internasional UGM Jogja). Tamu yang hadir baru saya sendiri. Obrolan berjalan ringan.

Kami berbincang tentang Covid-19 dan Invasi Rusia ke Ukraina. Naluri ‘Hubungan Internasional’ saya muncul. Saya fokuskan pembicaraan ke arah dampak ekonomi dari relasi antarbangsa yang related dengan situasi dan kondisi terkini.

Dampak Covdi-19, semua orang sudah mengetahuinya luar dalam. Dampak invasi Rusia ke Ukraine? Ternyata tak secepat dan semudah yang dibayangkan semua pihak. Banyak negara yang terkena imbas negative dari agresi militer Rusia tersebut.

Jepang, kata pak Dubes Kanasugi Kenji, juga terkena dampak negative dari aksi pasukan Rusia tersebut. Harga-harga barang dan jasa di Jepang mulai mahal, terkena sentiment lonjakan harga komoditas dan energy internasional. Maklum, Jepang negara importir besar.

Dahulu di era 80’an, dia bercerita Jepang boleh jadi negara yang terkenal dengan biaya hidupnya yang mahal.

“Bayangkan, kami tidak punya pengalaman dengan inflasi dalam 30 tahun terakhir. Selama ini harga-harga relative stabil dan kadang deflasi,” kata pak Dubes Kanasugi Kenji.

Namun, kehidupan dunia ini dinamis. Tak ada yang selalu stabil. Mata uang Yen Jepang pun mengalami volatilitas yang tinggi. Bahkan nilai tukar Yen Jepang terhadap dolar Amerika Serikat mencapai level terendah dalam 20 tahun terakhir.

Pada Oktober 2021, nilai tukar Yen terhadap dolar As di kisaran 107-110. Saat ini, Yen Jepang bergerak di kisaran 125—126 terhadap 1 dolar AS. 

Dampaknya, orang asing yang hidup di Tokyo mungkin merasa harga barang mulai murah. Sekali lagi, itu murah bagi orang asing yang memegang dolar AS.

Bagi saya, kalau pegang Yen Jepang dan belanja di Tokyo, ya tetap rasanya mahal ya? Hehehe soalnya saya bandingkan Yen dengan Rupiah.

Tadi malam, di televisi NHK, saya melihat ada tayangan kuliner dan terlihat satu porsi steak seharga 2.960 Yen. Kalau di-Rupiah-kan sekitar Rp340 ribu lah… Rasanya sih harga itu standar ya.

Kalau di Jakarta, harga 300 ribuan rupiah itu sudah bisa makan restoran Shabu-shabu dan Yakiniku yang memakai konsep all you can eat.

Jadi harga di Tokyo dan kota-kota Jepang masih mahal? Relatif sih.

“Harga-harga barang di Tokyo sekarang reasonable,”kata pak Dubes Kanasugi Kenji.

Inflasi di Jepang sebenarnya bukanlah baru terjadi tahun ini.

Jika melihat sejarah, inflasi Jepang memang sangat rendah dalam 30 tahun terakhir. Kadang posisi inflasinya nol sekian persen. Kadang minus nol persen. Bahkan Jepang harus berjuang melawan deflasi yang akut.

Pada 2014, Jepang mulai merasakan lonjakan inflasi. Belanja rumah tangga membengkak karena biaya energi Jepang melonjak, menyusul bencana PLTN Fukushima, yang memaksa negara tersebut menghentikan reaktor nuklirnya. Saat itu inflasi bergerak di kisaran 3%.

Di 205 hingga 2020 inlfasi kembali nyungsep dengan sendirinya. Posisi CPI dan inflasi inti bahkan kadang di bawah nol persen.

Di 2021, virus Covid-19 telah setahun menyerang dunia. Jepang seperti negara lainnya pun terimbas perdagangan dunia yang seret. Harga komoditas pangan dan energy pun semakin mahal.

Di 2022, inflasi pun semakin menunjukkan geliat yang membesar. Inflasi di Amerika Serikat sempat 7,9%, Inggris tembus 6%, Jerman 5,5%. Bahkan Turki dan Argentina mencatatkan inflasi di atas 50%.

Inflasi Jepang tak sebesar negara-negara tersebut. Bisa dikatakan inflasi Jepang relatif rendah sebesar 0,9%.

Namun, angka tersebut tetaplah tinggi jika dibandingkan dengan inflasi Jepamng pada 2020 di kisaran 0,0%, bahkan 2021 terjadi deflasi -0,2%.

Mengutip Reuters, Jumat (25/3/2022), analis mengatakan, tren kenaikan harga komoditas global setelah perang di Ukraina dapat merusak pemulihan ekonomi Jepang yang bergantung pada impor. Bahkan ketika infeksi Covid-19 domestik berkurang dan pembatasan jarak sosial berkurang.

Data menunjukkan, lonjakan harga energi hingga 26,1% --pertumbuhan tahunan tercepat dalam 41 tahun— mendorong kenaikan CPI inti Tokyo untuk bulan Maret 2022.

Harga berbagai macam barang mulai dari makanan hingga layanan hiburan juga meningkat. Termasuk tariff pulsa alias biaya ponsel.

Bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina, pembuat kebijakan di Bank of Japan (BoJ) telah memperkirakan inflasi inti mendekati target 2%. Ini kondisi yang jarang tercapai.

Dengan kondisi inflasi seperti ini, entah apa yang akan diputuskan BoJ terkait dengan suku bunga di Jepang.

Dalam kurun 2016—Maret 2022, BoJ tetap mempertahankan suku bunga acuan di level -0,1%. Benar-benar minus nol koma satu persen!

Di Indonesia gimana bro?

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi di Indonesia relative bisa dijinakkan. Suku bunga pun terus melandai. Suku bunga acuan dari Bank Indonesia yaitu BI 7-DRR pun konsisten turun sehingga rezim suku bunga rendah pun bertahta.

Di 2018—2019, suku bunga acuan masih 6%--5%. Mulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 2020, bank sentral pun memangkas bunga acuan jadi 4,75%. Pemangkasan ini terus berlanjut, meski tidak terjadi setiap bulannya.

Sejak RDG BI 18 Februari 2021, suku bunga acuan pun tersisa 3,50% dan bertahan hingga pekan kedua April 2022 ini.

Logikanya, suku bunga bank yang rendah membuat orang ogah menyimpan dana di bank. Gak dapat apa-apa bro! Dana elu bisa kemakan biaya administrasi loh. Gitu kata mereka

Makanya banyak perusahaan Jepang yang mencari keuntungan investasi di luar negeri. Indonesia boleh jadi salah satu negara tujuan korporasi Jepang mencari yield investasi tinggi.

Namun, yang paling penting kata pak Dubes Kanasugi Kenji, orang Jepang itu senang berwisata ke Indonesia.

Hotel-hotel di lokasi pariwisata Indonesia memang memanjakan turis. Ruangannya besar, lebih gede dari kamar di Imperial Hotel Tokyo.

“Yang paling penting, turis Jepang itu big spender,” kata pak Dubes, kalem.

Ini nih yang bikin kita tetap senyum…..


Fahmi Achmad

17 April 2022

 

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi