Boediono, bank dan mesin ekonomi

Boediono, bank dan mesin ekonomi

Perekonomian kita sudah melaju dengan menggunakan kedua mesinnya –– mesin stabilitas dan mesin pertumbuhan. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak penumpang di dalamnya dan penonton di luarnya yang sedang dikejutkan oleh percepatan yang sedang terjadi.
Kalimat itu disampaikan Burhanuddin Abdullah pada acara tahunan Bankers’ Dinner 18 Januari lalu di hadapan Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Meneg UKM & Koperasi Suryadharma Ali, para bankir dan pemimpin media massa.
Stabilitas dan pertumbuhan menjadi dua kata kunci yang entah menjadi sasaran atau hanya alat yang digunakan Burhanuddin selama lima tahun mengawal arah kebijakan bank sentral.
Bagi jajaran Dewan Gubernur BI, koordinasi kebijakan one-two dengan pemerintah terutama Kantor Menko Perekonomian dan Depkeu di Lapangan Banteng turut menentukan keberhasilan kerjasama fiskal-moneter.
Kini, Burhanuddin menjalani proses hukum bersama KPK dan Boediono terpilih sebagai penggantinya. Tak perlu pikir panjang untuk mengetahui apa yang menjadi tugas berat Boediono dalam 100 hari kepemimpinannya di kantor yang beralamat Jl. MH Thamrin No.2.
Gaung kenaikan harga BBM jilid III dan upaya menjaga inflasi menjadi pekerjaan rumah bagi si Mr Cool atau Mr Paket ini.
Selama lima tahun terakhir, administered price semacam kenaikan harga BBM menjadi pengganggu terhadap upaya Bank Indonesia untuk menjaga inflasi pada tingkat yang kondusif guna mempercepat gerak roda perekonomian melalui inflation targeting.
Ambil contoh kejadian pada 2005. Pada Juli tahun itu, BI untuk pertama kali menerapkan kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Intinya BI menggunakan BI Rate sebagai referensi suku bunga nasional dalam pengendalian monter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.
Tak hanya itu, kebijakan moneter yang antisipatif dilakukan seraya penguatan koordinasi dengan pihak Lapangan Banteng.
Apa lacur, pemerintah pada tahun itu tak kuat menahan kas negara agar tidak jebol dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Kalkulasi ulang soal subsidi minyak dalam APBN berujung pada keputusan tidak populer menaikkan harga BBM.
Dampak moneter jelas langsung terlihat. Data BPS menunjukkan inflasi pada Oktober melonjak menjadi 17,89% dari bulan sebelumnya 9,06%. Ujungnya, BI Rate dinaikkan 100 basis poin di usia bulan ketiganya.
Tak hanya itu, bank sentral tetap mengandalkan kebijakan antisipatif dengan kembali mengerek BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25% pada Rapat Dewan Gubernur BI 1 November 2005.
Pada Desember 2005, inflasi jelas melonjak dengan adanya liburan hari raya dan akhir tahun menjadi 18,38%. Dewan Gubernur BI pun menaikkan BI Rate 50 basis poin menjadi 12,75%.
Secara mikro, kenaikan BI Rate memiliki arti kenaikan bunga cicilan pinjaman masyarakat ke bank. Suku bunga kredit pun melonjak sedangkan kenaikan suku bunga simpanan tak seimbang karena terhalang penjaminan LPS.
Memasuki 2006, tekanan inflasi sedikit mereda sehingga BI Rate pun ditetapkan tak berubah sebesar 12,75% selama kuartal I. Bahkan hingga Oktober, sinyal peredaan gejolak harga membuat BI berani memangkas BI Rate rata-rata 50 basis poin tiap RDG.
Mantapnya koordinasi otoritas fiskal-moneter secara one-two seperti kebijakan subsidi dengan pengontrolan suku bunga membuat sektor riil mulai bergerak dan pada Desember 2006 BI Rate menjadi satu digit serta bertengger di posisi 9.75%.
Kondisi stabilitas dengan pertumbuhan di atas 6% praktis membuat bank sentral berada di zona nyaman dan secara bertahap menurunkan BI Rate rata-rata 25 basis poin selama 2007.
Bagi BI, kemampuan pemerintah dalam mengendalikan gejolak harga-harga tersebut melalui berbagai paket kebijakan sektoral telah berkontribusi pada pencapaian inflasi selama 2 tahun terakhir.
Sejarah mungkin berulang, kali ini pemerintah pun kembali tak kuasa dihajar lonjakan harga minyak mentah dan harga BBM pun akan dikerek naik. RDG pada 6 Mei pun langsung reaktif dengan menaikkan BI Rate menjadi 8,25%.
Sebagai Gubernur BI yang baru, Boediono tentu tak tinggal diam mengawal keberhasilan di bidang fiskal untuk diterapkan di lahan baru, meski bukan baru-baru amat. Tapi inflasi dan suku bunga BI Rate bukan satu-satunya yang perlu dikhawatirkan.
Gubernur BI baru perlu melihat dampak nyata kenaikan inflasi bagi kinerja perbankan. Hampir semua dari 128 bank di Tanah Air sulit melepaskan diri dari pengaruh buru suku bunga yang tinggi.
Bankir jadi serba salah. Mempertahankan bunga kredit rendah sama saja tak dapat untung. Ikutan menaikkan suku bunga kredit di tengah persaingan antarbank yang semakin ketat bukan pilihan bijak tapi harus dilakukan untuk menjaga margin laba.
Mimpi buruk bisa saja berulang bila daya beli masyarakat belum mantap dan bunga pinjaman membengkak, tentu hasilnya akan menekan laju kredit baru tahun ini yang diyakini minimal mencapai lebih Rp246 triliun.
Berdasarkan rencana bisnis bank, target pertumbuhan kredit tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu sebesar 22%. Pada 2007, target kredit itu malah terlampaui karena perbankan menorehkan pertumbuhan kredit 25,5%.
Wadirut PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan naiknya harga BBM memicu peningkatan biaya produksi dan debitor sulit menyerap dana perbankan.
“Ini seperti pada 2006, kenaikan kredit cuma setengah dari target semula. ekspansi kredit paling sekitar 10% sampai 12%,” katanya.
Kekhawatiran itu dapat berujung pada pencapaian Loan to deposit ratio (LDR) bisa saja mangkrak atau malah kembali menurun dari posisi 73% saat ini. Bagi bank, makin kecil LDR, potensi insentif pajak pun tak dapat serta masih dikenai keharusan memasok dana untuk mengisi giro wajib minimum (GWM).
Tak hanya kredit, kolektibilitas juga menjadi tantangan. Upaya maksimal perbankan untuk meredam rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) bisa saja sia-saia. Belenggu PP N0.33/2006 bahkan terus menghantui bank-bank persero.
Ketika NPL membesar, tentu penyisihan kerugian aktiva produktif atau cadangan juga membesar. Kondisi itu jelas menyedot capital adequacy ratio (CAR) dan berujung pada meningginya risiko likuiditas.
Dewan Gubernur tak tinggal diam dan pada 15 April merilis paket regulasi yang mengakomodir kepentingan bankir. Paket itu berisi 6 aturan itu mulai dari perhitungan ATMR hingga implementasi Basel II dan lembaga pemeringkatan.
Patut ditunggu paket-paket regulasi moneter dan perbankan berikutnya dari Boediono agar dua mesin ekonomi berfungsi maksimal.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi