Semua Pasti Akan Berpulang

Pertanyaan itu beberapa kali terucap. "Kenapa di dalam kamar kok ada saluran pembuangan air?" tanya istri saya setiap kami pulang ke rumah neneknya Ale.

Orang-orang di rumah itu hanya tersenyum, penuh arti.

Bagi yang tak biasa, memang aneh. Di dalam kamar, bukan kamar mandi, justru dibuat ada saluran pembuangan air. Itu ada di setiap kamar, bukan hanya kamar tidur yang kami tempati.

Jawaban itu muncul sepekan sebelum Lebaran. 15 September 2009 kami berduka, neneknya Ale wafat. Kami sudah ikhlas karena setiap setiap yang bernafas pasti akan menghadapi maut-nya.

Istri saya akhirnya tahu juga kenapa ada saluran air dan tak kelihatan karena disamarkan di bawah lemari pakaian atau meja di dalam kamar tidur. Dia, adik perempuan saya dan kakak ipar saya beserta sepupu perempuan lainnya memandikan jenazah.

Memandikan jenazah memang berhukum wajib dalam Islam. Prosesi pemandian itu dilakukan di dalam kamar. Sekeliling mereka ditaburi pasir yang berbentuk bendungan kecil dan bermuara pada saluran pembuangan air tersebut.

Di kampung saya, Tidore Maluku Utara, memandikan jenazah sama seperti di daerah lain. Namun, memang sedikit berbeda dengan peralatan yang digunakan. Di Jawa, ada yang menggunakan batang pohon pisang sebagai dipan alas mandi.

Ada pula yang sudah lazim di perkotaan, setiap mesjid memiliki fasilitas tempat mandi jenazah berbentuk setengah tabung berukuran manusia dengan saluran air di bawahnya dan tersambung dengan selang besar yang panjang.

Esoknya, 16 September 2009, tugas kami 4 lelaki putranya menurunkan jenazah ke liang lahat, membuka ikatan kafan dan mengumandangkan adzan sebelum papan dan tanah itu menutupi kubur.

"Tadi nguburin mama pakai apa?" tanya paman saya.

"Kan cuma pakai kafan," jawab saya, tak mengerti maksudnya.

"Nah itu dia, sehebat-hebatnya manusia selama hidup tak berarti apa-apa. Ketika meninggal dunia, hanya berbalut kain kafan putih 14 meter, bukan mobil, bukan emas, duit atau lainnya," kata sang paman,
tanpa bermaksud menggurui.

"Iya," kata saya lirih without reserve.

Nasihat dan petuah dari orang-orang yang lebih tua memang diperlukan bagi kita yang setiap saat selalu merasa tak pernah "menapak di muka bumi".

Silahkan berlomba-lomba menjadi "orang" mau di kota atau di kampung sendiri tetapi amal baik dan ibadah sholat tak boleh ditinggalkan karena hanya itu yang jadi pembeda rapor seseorang di mata Tuhan, mau dia calon menteri atau bukan.

"Aku tahun ini udah ditinggalkan tiga orang," kata mas Yunan, one of my senior.

"Turut berduka mas," saya jawab, prihatin.

"Kita musti sering nengokin rumah di kampung," katanya.

"Emang kenapa mas?" kata saya tak paham.

"Biasanya kalo orang tua udah berpulang, bisa ada perpecahan di keluarga," ujarnya.

"Iya sih, saya kira juga bisa begitu," saya menimpali.

"Bisa saja adik-adik pada berselisih paham. Jangan sampai kayak begitu. Makanya kita harus rajin pulang, meski cuma sebentar untuk menengok keluarga," katanya.

"Iya mas setuju," saya sepenuhnya tak membantah.

Orang bilang manusia mati meninggalkan nama. Dan saya percaya jika anak Adam mati, putus sudah segala upaya kecuali amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang salih/salihah.

Hanya Allah SWT yang tahu.


(Mengenang, nyokap, mama, ibu, orang tua, nenek, guru kami yang berpulang sewindu silam. Doa terbaik dari kami anak-anakmu)





Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi