Meikarta, Apartemen, dan Mimpi yang Belum Terbeli

Ada dua yang menarik perhatian publik, setidaknya dalam sepekan terakhir, yang pertama adalah Meikarta dan yang kedua adalah kasus pemilik dengan pengembang apartemen yang ditempatinya.

Mari bicara soal Meikarta, suatu proyek ambisius di bidang properti yang digagas grup Lippo, yang tidak bisa dipandang sebelah mata.



Yang dijual adalah aset hunian, bukan rumah tapak, melainkan apartemen, yang dalam bahasa saya artinya rumah tumpuk, rumah susun.

Meikarta—yang berasal dari nama Mei, istri Mochtar Riady— digadang-gadang akan menggantikan Jakarta, sebagai kota metropolitan, Megapolitan atau juga hyperpolitan. Intinya kota ‘serba wah’.

Strategi penjualan Meikarta bulan ini begitu masif. Semua media, mulai dari koran, radio, televisi hingga multimedia, ada penjualan Meikarta. Nilai kontraknya? Ratusan miliar rupiah pastinya, mungkin juga lebih, entahlah.

“Di pasar dekat rumah gue juga ada loh. Di stasiun Cisauk juga ada” kata Krizia, alumni IISIP, yang rumahnya di Bogor.

Setidaknya sejak 3 bulan terakhir, penjualan Meikarta memang begitu masif. Dan nama itu, mulai bergema di benak saya, serta mungkin Anda juga. Meikarta.



Grup Lippo bahkan diperkirakan telah meraup volume penjualan dari 16.800 unit apartemen Meikarta tahap I senilai Rp 8 triliun.

http://properti.kompas.com/read/2017/07/06/161256721/dari.penjualan.16.800.apartemen.meikarta.lippo.raup.rp.8.triliun

“Kami perkirakan volume penjualan yang diraup senilai Rp 8 triliun. Tinggal dikali saja dari total 16.800 unit yang terjual dengan harga diskon Rp 7 juta per meter persegi,” ujar CEO Meikarta, Ketut Budi Wijaya Ketut.

Sebagian besar dari belasan ribu unit yang terjual itu, kata Ketut, merupakan apartemen kelas menengah dan menengah bawah atau middle and middle low class.

Hingga saat ini, perkembangan Meikarta sampai pada tahap pembangunan infrastruktur, taman, dan fasilitas umum lainnya yang dibangun bersamaan.

Meikarta menempati area seluas 500 hektare di timur Cikarang, Jawa Barat. Rencananya, Lippo Group akan mengembangkan 100 gedung tinggi dengan ketinggian masing-masing gedung sekitar 35 hingga 45 lantai.

Ke-100 gedung itu terbagi dalam peruntukan hunian sebanyak 250.000 unit, perkantoran strata title, 10 hotel bintang lima, pusat belanja dan area komersial seluas 1,5 juta meter persegi.

Fasilitas yang akan melengkapinya antara lain pusat kesehatan, pusat pendidikan dengan penyelenggara dalam dan luar negeri, tempat ibadah, dan lain-lain.

"Tahap pertama, dibangun seluas 22 juta meter persegi bangunan dengan nilai investasi Rp278 triliun," kata Chairman Lippo Group Mochtar Riady.

Sementara secara total, luas bangunan yang akan dikembangkan imperium bisnis ini adalah 50 juta meter persegi.



Intinya adalah kita sekarang hidup di zaman modern yang menawarkan segala sesuatunya ringkas, padat, kompak dan menguntungkan.
Begitu pula dengan tempat hunian, rumah tapak layaknya milik orang tua kita menjadi komoditas yang begitu mahal. Lahan yang semakin sempit ditambah permintaan yang tinggi itu sama dengan tumpukan uang yang bikin pusing alias harga selangit.

Mimpi memiliki hunian yang nyaman, dekat dengan tempat kerja, mudah dijangkau, modern, relatif bisa terbeli, membuat orang saat ini menjadikan rumah tumpuk, alias apartemen sebagai sasaran aset mereka.

Sejak 10 tahun lalu, kala pak Jusuf Kalla jadi wakil presiden pertama kali, beliau selalu menyebut-nyebut soal pembangunan 1.000 tower rumah susun. Belum lagi pihak swasta yang berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi apartemen di Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor.

Semua laku? Mayoritas sih... intinya banyaklah yang terjual. Namun, tak semua apartemen yang terjual itu menjadi tempat hunian. Kini apartemen adalah aset investasi di mana uang menjadi ternak yang berkembang dengan sendirinya.

Nyatanya, pasokan hunian belumlah mencukupi kebutuhan masyarakat.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa di Indonesia, kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat berkisar antara 820.000 hingga 1 juta rumah per tahunnya.

http://www.bareksa.com/id/text/2017/03/27/sri-mulyani-backlog-perumahan-makin-meningkat-bagaimana-solusinya/15192/analysis

Kebutuhan ini bisa dipenuhi sekitar 40% oleh private sector, sedangkan yang berasal dari intervensi pemerintah hanya sekitar 20%. Sisanya, yaitu sebanyak 40 % tidak dapat terpenuhi sehingga menjadi yang disebut dengan backlog.

"Dari jumlah yang belum terpenuhi tersebut, sebesar 40 % mampu membeli rumah tetapi perlu adanya bantuan pemerintah berupa subsidi, dan 20 % lainnya sama sekali tak mampu memiliki rumah.” kata Menkeu dalam paparannya pada acara Investor Gathering 2017 di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (27 Maret 2017).

Selisih kebutuhan masyarakat tersebut akan terus menumpuk hingga ke tahun-tahun selanjutnya. Kalau setiap tahun dibutuhkan sekitar 1 juta rumah dan hanya 60 % yang bisa dipenuhi baik dari private maupun intervensi pemerintah, maka akan selalu ada backlog.

Saat ini estimasinya ada 10-12 juta backlog rumah. Angka ini akan terus bertambah besar bila tidak diselesaikan.
Penyebabnya, masyarakat tak mampu membeli rumah seiring harganya yang terlalu tinggi. Pemerintah pernah melansir, mayoritas penduduk Indonesia dengan segmen menengah bawah hanya mampu untuk melakukan cicilan rumah sebesar Rp500.000 per bulan.

http://bisnis.liputan6.com/read/3044139/land-bank-bisa-jadi-solusi-atasi-backlog-perumahan-di-ri

Nah, dengan kondisi urbanisasi yang kian tak terstruktur. Masyarakat yang tentu mengejar ‘gula’ hingga ke ibukota. Di Jakarta, kepemilikan apartemen sudah menjadi kebutuhan primer, layaknya kebutuhan papan.



Demand yang tinggi plus minim pasokan, layaknya balon, suatu saat akan meledak. Akhirnya posisi pembeli menjadi tak berkuasa.
Konflik sosial menjadi keniscayaan yang bisa saja akan terus terjadi antara penghuni apartemen dan pengembang atau pengelolanya. Kondisi itu tak hanya di Indonesia, terjadi pula di belahan dunia lain, jamaknya kota-kota modern.

Salah satu yang kini jadi pembicaraan masyarakat adalah kasus yang menimpa Muhadkly MT atau akrab disapa Acho.

http://bisnis.liputan6.com/read/3049228/kasus-acho-manajemen-green-pramuka-gelar-rapat-internal

Namun, kita tidak perlu membahas kejadian yang telah menjadi kasus hukum tersebut. Biarlah penyelesaiannya diserahkan kepada ikhtiar kedua pihak.

Nah, terlepas dari kasus tersebut, semua pihak memang harus tahu dahulu hak dan kewajibannya sebagai penghuni apartemen.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merilis data bahwa pengaduan para penghuni apartemen dan perumahan menduduki peringkat kedua dengan persentase 18% dari total pengaduan ke YLKI.

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/08/06/20204821/imbauan-ylki-untuk-pemilik-unit-apartemen-terkait-kasus-green-pramuka

Banyaknya kasus yang berkaitan dengan penghuni apartemen atau hunian lainnya telah mendorong YLKI meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Perumahan, bersikap tegas atas pelanggaran terhadap hak konsumen atau penghuni yang dilakukan pengembang.

"Mereka tidak boleh lepas tanggung jawab terhadap maraknya kasus tersebut dan kami mendesak Dinas Perumahan Pemprov DKI untuk proaktif memfasilitasi mediasi antara konsumen dengan developer untuk dapat dicari penyelesaian di luar pengadilan (out of court setlement)," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (6/8/2017).

Tulus mendesak agar Kementerian PUPR meninjau kembali semua klausul yang dibuat pengembang, baik klausul dalam PPJB (perjanjian pengikatan jual beli) atau AJB (akta jual beli) rumah susun dan klausul dalam kontrak pengelolaan. Tulus meminta agar pengembang maupun pengelola tak lagi mengintervensi penghuni dalam pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).

"Intervensi yang biasa dilakukan oleh pengelola biasanya melalui tekanan psikis, diskriminasi perlakuan, hingga perampasan HAM konsumen. Pengelola idealnya ditunjuk dan dipilih oleh P3SRS. Jadi akan profesional dan tunduk perintah P3SRS bukan sebaliknya," kata dia.

Selain tidak mengintervensi pembentukan P3SRS, Tulus juga mendesak semua pengembang agar menjunjung tinggi etika dalam bisnis dan mematuhi regulasi, termasuk regulasi di bidang konsumen khususnya dalam berpromosi serta beriklan.

Tulus juga meminta kepada semua konsumen agar terus menyuarakan pendapatnya dan terus bersikap kritis. Jangan karena kejadian yang menimpa Acho, konsumen atau penghuni justru ciut nyalinya dalam mengkritik pengembang.

"Namun konsumen tetap harus waspada dan hati-hati. Misalnya, tetap berkomunikasi dengan pihak pelaku usaha/pelaku usaha/pengelola, sebelum kasusnya ditulis di media sosial dan dari sisi fakta hukum, yang disampaikan konsumen bukan fiktif, hoax," tambah dia.

Bagi saya, memiliki hunian, apapun itu, adalah hak semua orang. Namun, hak juga diikuti dengan kewajiban.
Selama semua pihak menyadari dan menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya, rasanya apartemen merupakan produk modern yang layak dimiliki.

Saya sendiri mau beli apartemen? Kan sudah punya rumah tapak, tapi mau sih mau, ya tergantung ada duitnya atau tidak.

Comments

Unknown said…
Heloo ... following information about the development of property development in jakarta especially south jakarta, Agung Sedayu Group presents the region Superblok new brand fatmawati city center with a total area of 22 hectares with complete facilities and concepts Smart City in jakarta, Indonesia.

fatmawati city center
fatmawati city center harga
fatmawati city center price list
fatmawati city center harga dan price list
fatmawati city center apartemen
show unit fatmawati city center price list

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi