Gorengan Chris Giacobbe dan Harga Minyakita

Saya suka mendengar banyolan salah satu komika bule yang tampil di ajang nasional.  Namanya Christian Giacobbe atau yang akrab dipanggil Chris. Dia merupakan komika asal Italia yang mengikuti audisi SUCI X dari Bali.

Di salah satu acara belum lama ini, Chris katakan orang Indonesia ini gemar menggoreng apapun (deep frying any thing). "You have nasi digoreng, You have tempe digoreng." Punch linenya, "You have politic ..... never mind.."

https://www.youtube.com/watch?v=AuFl9XdYoiY

So goreng menggoreng yang disebut Chris itu jelas membutuhkan satu komoditas utama, Minyak Goreng.

Sudah lama kita tahu bahwa minyak goreng termasuk dalam sembilan jenis kebutuhan pokok (sembako).  Artinya, keberadaan minyak goreng dengan harga terjangkau tak bisa lepas dari kebutuhan Masyarakat setiap hari.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh BPS pada 2022, perhitungan kebutuhan konsumsi minyak goreng nasional per kapita adalah sebesar 1,04 liter per bulan.  Dengan estimasi jumlah penduduk sekitar 278 juta jiwa, diperkirakan kebutuhan konsumsi minyak goreng nasional mencapai 260.000 ton per bulan.



Dari sisi ketersediaan, pemerintah memang telah menyatakan rata-rata penyaluran bulanan minyak goreng rakyat sebesar 271.000 ton per bulan, masih di atas kebutuhan konsumsi nasional minyak goreng setiap bulan.

Meski begitu dari sisi harga, di beberapa wilayah, harga minyak goreng rakyat dengan merek kemasan Minyakita beranjak mahal. Minyakita dijual dengan harga sangat beragam mulai dari Rp15.000— Rp17.000 per liter.

Padahal, mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 41 Tahun 2022 tentang Minyak Goreng Kemasan Rakyat, harga eceran tertinggi (HET) Minyakita ditetapkan Rp14.000 per liter. 

Harga itu berlaku untuk produk yang didistribusikan melalui pasar rakyat, toko swalayan, dan sarana Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) atau lokapasar.

Harga Minyakita dan minyak goreng curah berada di atas HET ditenggarai karena hal-hal seperti panjangnya rantai distribusi, juga biaya transportasi, terutama di wilayak tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Ini adalah pekerjaan rumah pemerintah yang seakan tak kunjung usai.

Dari sisi suplai, para produsen yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan produksi dan distribusi Minyakita tidak menjadi persoalan. Berdasarkan catatan GIMNI, ada sekitar 2,78 juta ton penjualan produk minyak goreng pada tahun ini.

Bagi produsen, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan disebabkan faktor cuaca seperti banjir yang menyebabkan terjadinya gangguan pada suplai dan distribusi.

Selain itu, ada tudingan terhadap pelaku usaha di level pedagang eceran. Mereka dituding banyak yang melakukan aksi ambil untung dengan mengambil marjin terlalu tinggi.

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) tentu tak mau dituding begitu saja. Mereka memang memilih menahan suplai penjualan minyak goreng sembari menanti penyesuaian HET yang sempat diwacanakan pemerintah guna menghindari risiko jual rugi. 

Risiko jual rugi ini muncul setelah pelaku usaha mempertimbangkan sejumlah komponen pengeluaran, mulai dari biaya pengilangan, aktivitas perkebunan, ongkos produksi, dan lain-lain.

Sikap mereka ini dilakukan mengantisipasi lonjakan permintaan saat Ramadan yang tinggal menghitung pekan.

Bisa dibayangkan beberapa pekan lagi, harga minyak goreng akan melejit dan tekanan terhadap pemerintah di ‘bulan-bulan politik’ ini akan semakin kuat.

Kita tentu tak ingin mengulang peristiwa pada 2022 silam. Ketika pemerintah meluncurkan program minyak goreng kemasan sederhana, yang terjadi justru kelangkaan minyak goreng di pasaran.

Saat itu, 3 bulan setelah program minyak goreng kemasan sederhana diumumkan, pemerintah menggulirkan proyek bantuan sosial (bansos) dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng.

Bansos itu diberikan dengan besaran Rp100.000 per orang selama periode April, Mei, dan Juni 2022 dengan pertimbangan harga minyak goreng telah naik cukup tinggi sebagai dampak dari lonjakan harga crude palm oil (CPO) di pasar global.

Kekisruhan kebijakan tentu jangan sampai terulang. Pola lama para spekulan yang kerap menaikkan harga menjelang bulan puasa akibat keterbatasan suplai barang tampaknya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah

Pemerintah bisa menata kembali penyaluran subsidi tepat sasaran untuk dapat menjaga HET Minyakita di level Rp14.000 per liter atau berapa harga idealnya.

Kita berharap pasokan dan harga minyak goreng yang terkendali diupayakan pemerintah berkolaborasi dengan semua pihak, akan mampu menjaga kestabilan inflasi dan daya beli masyarakat sehingga tidak menghambat gerak laju roda ekonomi nasional.

Setidaknya, jangan sampai goreng-mengoreng seperti kalimat Chris, membuat minyak goreng tak lagi bisa dinikmati wong cilik.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi