Rating AS dan Suku Bunga Bank Indonesia

Tekanan eksternal nampaknya masih berlanjut terhadap pasar keuangan Indonesia dan berpotensi mengganggu ekonomi nasional. 

Fitch Ratings telah menurunkan peringkat utang Amerika Serikat (AS) dari rating teratas AAA menjadi AA+. Lembaga pemeringkat kredit itu memangkas peringkat kredit pemerintah AS menyusul kekhawatiran atas keadaan keuangan negara dan beban utangnya.

Bagi suatu negara apalagi sebesar Negeri Paman Sam Amerika Serikat, pemangkasan peringkat tersebut berdampak negatif karena investor cenderung melihatnya sebagai investasi yang lebih berisiko.

Hal itu dikhawatirkan berujung pada kebijakan bank sentral AS untuk kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan. Saat ini, tingkat suku bunga The Fed berada di rentang 5,25%—5,50%, posisi tertinggi selama lebih dari dua dekade.

Apalagi The Fed juga dibebani target inflasi yang sulit dipenuhi karena tantangan ketahanan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang belum sesuai dengan ekspektasi.

Kondisi dilematis ekonomi AS bisa berdampak pada Indonesia. Tingkat suku bunga di AS yang tinggi akan menekan konsumsi domestik yang pada akhirnya berdampak pada permintaan impor yang lebih rendah, termasuk dari Indonesia.

Dengan demikian pemerintah harus mewaspadai laju ekspor nasional terutama ke pasar AS yang trennya masih menurun. Ekspor produk tekstil, furnitur, dan produk karet Indonesia ke pasar Amerika Serikat akan terganggu.

Potensi perlambatan ekspor ke negara besar seperti Amerika Serikat, jika tidak disiasati oleh pemerintah, dikhawatirkan dapat menekan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan.

Di sisi lain, pemangkasan peringkat credit rating Amerika Serikat juga berdampak pada pasar keuangan Indonesia.

Bursa Efek Indonesia seharian berada di zona merah karena sikap hati-hati investor terhadap kemungkinan kenaikan lanjutan suku bunga The Fed. Nilai tukar rupiah pun terdepresiasi di atas Rp15.160-an per dolar AS.

Kondisi pasar nilai tukar ini sedikit anomali karena Amerika Serikat juga pernah mengalami penurunan rating oleh S&P dan dampaknya nilai tukar dolar AS melemah. Namun, kali ini dolar AS malah menguat terhadap mayoritas mata uang dunia.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa volatilitas global masih bertahan dalam jangka menengah. Tentu ini harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah dan otoritas keuangan di Tanah Air.

Namun demikian volatilitas arus modal asing diprakirakan akan semakin terbatas. Selain karena telah dilakukan besar-besaran pada tahun lalu, arus modal asing diyakini kembali masuk ke Indonesia jika The Fed menyatakan sudah cukup dengan kenaikan suku bunga.

Selain itu, indikator domestik yang stabil, seperti tingkat inflasi, akan membuat Indonesia masih menjadi salah satu tujuan aliran modal asing.

Dalam pertemuan dua hari lalu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik didukung sejumlah indikator yang meningkat dan stabil

Konsumsi rumah tangga meningkat, aktivitas manufaktur dalam tren ekspansif, nilai tukar yang terkendali dan posisi inflasi yang kembali ke dalam sasaran lebih cepat dari prakiraan.

Tentunya kita mendukung pemerintah sebagai otoritas fiskal untuk terus mengoptimalkan APBN sebagai shock absorber dalam menghadapi turbulensi keuangan global yang terus berlanjut.

Selain itu, dukungan juga diberikan kepada Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kita berharap koordinasi dan kolaborasi serta sinergi pemerintah dan otoritas keuangan dapat meminimalkan risiko perekonomian nasional dari efek ketidakpastian pasar global.



Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi