Koperasi Simpan Pinjam, Bisnis yang Menguntungkan?

 Usaha perkoperasian di Tanah Air tengah dilanda gonjang-ganjing kepercayaan. Sejumlah kasus koperasi, terutama jenis layanan usaha simpan pinjam, menjadi sorotan publik.

Kasus yang melibatkan koperasi simpan pinjam, jika dilihat dari catatan perkara di pengadilan, muncul di PN Jakarta Selatan, PN Semarang, dan PN Surabaya. Beberapa di antaranya melibatkan koperasi dengan skala usaha besar.

Bahkan, baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan ada kurang lebih 12 koperasi yang diduga terkait dengan tindakan pencucian uang. 

Pola transaksi dari belasan koperasi yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang tersebut, menggunakan skema Ponzi dari dana nasabah. Uang nasabah itu dipakai untuk kepentingan pribadi pengurus dan terindikasi dialirkan ke luar negeri.

Rentetan perkara yang melibatkan usaha koperasi menjadi cermin masih ada celah dan kelemahan dari aspek tata kelola dan pengawasan usaha koperasi di Tanah Air. Padahal, koperasi dianggap sebagai sokoguru ekonomi yang memiliki misi menyejahterakan anggotanya.

Hingga kini, layanan usaha koperasi di Indonesia mencapai lebih dari 120.000 koperasi dengan total aset yang terhimpun mencapai Rp250,98 triliun. 

Total volume usaha koperasi tercatat sebesar Rp182,35 triliun. Volume usaha koperasi itu meningkat lebih dari 170% dibandingkan dengan 2016 yang tercatat masih Rp67,5 triliun.

Keberadaan koperasi di Indonesia sebagai sumber pembiayaan masyarakat memang tak bisa diabaikan.

Apalagi, masyarakat yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan (unbankable) masih cukup besar. Selain itu, pelaku usaha mikro juga kerap mengeluh sulit untuk memperoleh pembiayaan.

Berdasarkan riset Bank Indonesia, koperasi masih menjadi entitas keuangan yang diandalkan masyarakat untuk mengakses pinjaman setelah perbankan dan perusahaan pembiayaan (leasing). 

Namun, kasus-kasus koperasi simpan pinjam tak bisa dibiarkan dan harus diberantas. Kita melihat pemerintah pun bukannya tinggal diam. Respons pemerintah relatif baik terutama dari sisi upaya meningkatkan transparansi bisnis koperasi. 

Kementerian Koperasi & UKM mewajibkan koperasi untuk melapor secara periodik dari semula laporan semesteran, menjadi laporan kuartalan.

Laporan itu mencakup, informasi usaha, neraca keuangan, dan lain sebagainya seperti prospektus keuangan yang terdapat pada perusahaan publik. 

Dalam setiap penilaian kesehatan, koperasi simpan pinjam juga harus melampirkan audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh Kemenkop & UKM dan tidak diperkenankan menunjuk KAP sendiri.

Jika semua langkah pelaporan tersebut tidak dilakukan oleh pihak koperasi, maka akan diberi sanksi berupa tidak diberikan izin usaha baru, pengembangan usaha, dan penilaian kesehatan koperasi. Tegas memang.

Namun, regulasi usaha koperasi juga masih disoroti banyak pihak. Sejauh ini keberadaan layanan koperasi diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). 

Salah satu hal yang diatur dalam UU PPSK tentang koperasi yang menghimpun dan menyalurkan dana selain dari anggota koperasi bersangkutan dan menghimpun dana dari koperasi lain atau open loop. Pengawasan kelembagaan terkait dengan koperasi dengan model open loop itu, akan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bagi para pelaku jasa koperasi, mereka sepakat perlu ada penguatan pengawasan dan pembinaan, tetapi seharusnya diatur pada UU Perkoperasian, bukan oleh UU PPSK. Bahkan, mereka mengusulkan otoritas pengawasan khusus koperasi, layaknya OJK di sektor keuangan.

Kiranya seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama kembali untuk menyempurnakan tata kelola dan pengawasan usaha koperasi di Tanah Air. Tentu semua itu dilakukan dengan semangat menjadikan koperasi yang sehat, anggota kuat, dan ekonomi rakyat berdaulat.


Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi