Pajak Karbon dan Ekonomi Sirkular


Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.




Pemerintah telah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap batu bara senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk menekan emisi karbon di Indonesia.
Pengenaan pajak karbon ini berlaku mulai 1 April 2021. Ketentuan ini UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru saja mendapatkan pengesahan dari DPR.
Pengenaan pajak ini diambil untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC). Pajak karbon ditetapkan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia. 
Aturan pengenaan pajak karbon bisa dipandang sebagai salah satu bukti konkrit atas komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2 sesuai dengan ratifikasi Perjanjian Paris 2015.
Sesuai dengan Perjanjian Paris, negara kita harus memenuhi target pengurangan emisi. Salah satunya melalui peningkatan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23% pada 2025.
Hingga 2020, angka capaian bauran energi baru dan terbarukan mencapai sekitar 11%. Angka tersebut naik dua kali lipat jika dibandingkan dengan capaian pada 2015. Namun, pencapaian itu masih jauh dari target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.
Kita memandang kebijakan pajak karbon ini merupakan terobosan yang baik dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. Namun, laiknya kebijakan baru, masih ada beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
Dari sisi tariff pajak karbon misalnya, penetapan Rp30 per kilogram CO2e boleh jadi merupakan langkah kompromi pemerintah dengan pelaku industry batu bara guna menghindari kenaikan harga listrik di tingkat konsumen.
Sebelumnya dalam draf UU tersebut, tariff pajak karbon disiapkan sebesar Rp75 per kilogram CO2e.
Dengan penetapan Rp30 per kg CO2e, tariff pajak karbon di Indonesia jauh lebih rendah dari Singapura yang memiliki tarif US$3,71 per ton C02e atau US$0,0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.
Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura. Pemerintah tentu harus memikirkan potensi penyesuaian tariff pajak karbon di masa mendatang.
Keberimbangan sasaran kebijakan pajak karbon juga menjadi sorotan tersendiri. Pasal 13 Ayat 5 UU HPP menjelaskan bahwa subyek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon. Artinya, subyek pajak karbon adalah konsumen.
Jika produsen batu bara menjual batu bara ke industri lain akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon dan bukan subyek pajak karbon.
Kondisi ini akan membuat pemerintah dituding hanya berpihak kepada produsen batu bara dan tidak tepat sasaran dalam menerapkan pengenaan pajak karbon dari sisi permintaan.
Padahal pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan, yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen tetapi juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi.
Peran pajak karbon tentu saja sangat penting dalam mendukung upaya Indonesia sebagai salah satu negara yang mencanangkan target karbon netral pada 2060. 
Semua itu harus diimbangi dengan pengembangan tekonologi EBT secara masif agar kondisi karbon netral dapat tercapai.
Tanpa pengembangan teknologi EBT, kondisi ini hanya akan membuat masyarakat harus membayar harga yang lebih tinggi untuk penggunaan energi fosil.
Namun, disadari atau tidak, pengembangan teknologi EBT juga masih membutuhkan ketersediaan sejumlah logam hasil tambang seperti grafit, litium, indium, nikel, dan vanadium.
Dampaknya pun jelas, tuntutan untuk mencapai target karbon netral secara global memicu peningkatan permintaan atas logam-logam tersebut, yang berpotensi mendorong terjadinya peningkatan aktivitas penambangan.
Pemerintah harus memikirkan kondisi sirkular ekonomi yang lebih ideal dan berkelanjutan agar proses pencapaian energy hijau menjadi ekonomi hijau, tak hanya sekadar program ‘jalan di tempat’.

Please visit and read 
https://bisnisindonesia.id/

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi