Puncak Pandemi Covid di Juni 2021 dan Tanda Tanya Pemulihan Ekonomi

Upaya untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini sepertinya masih belum menunjukkan hasil yang menenangkan hati kita. Penyebaran virus Corona terutama varian baru merebak kian luas setelah masa libur panjang dan disiplin masyarakat yang lemah.

Ketidakpatuhan terhadap anjuran protokol kesehatan ditambah tuntutan ekonomi membuat masyarakat seakan abai terhadap penyebaran virus Covid-19. 

Banyak daerah di Pulau Jawa yang akhirnya menjadi zona merah. Rumah sakit darurat covid di Kemayoran Jakarta pun penuh. Ketersediaan tempat tidur di mayoritas rumah sakit nyaris kosong dan tak mampu lagi menerima pasien.

Pemerintah pun secara resmi memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro kembali dari15—28 Juni 2021. PPKM mikro kali ini merupakan tahap ke-10 yang diberlakukan di 34 provinsi di Tanah Air.

Bahkan, guna mengurangi tingkat penularan Covid-19, operasional pusat perbelanjaan seperti mal dan pasar maksimal hingga pukul 20.00 WIB.

Pembatasan jam operasional ini juga disertai dengan pembatasan pengunjung paling banyak 25 persen dari kapasitas selama periode 22 Juni 2021 hingga 5 Juli 2021.

Tentu saja, keadaan tersebut membuat keyakinan terhadap pemulihan ekonomi nasional menjadi goyah. Nuansa kekhawatiran akan kelesuan perekonomian semakin besar. Meski demikian peran pemerintah, baik pusat dan daerah, tetap sangat diandalkan.

Sejak tahun lalu, pemerintah pusat begitu besar mencurahkan anggaran agar dapat mengungkit roda ekonomi nasional bergulir lebih cepat.

Hingga 11 Juni 2021 realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sudah 31,4% atau Rp219,6 triliun dari total Rp699,4 triliun.

Dana-dana tersebut antara lain dikucurkan untuk sektor kesehatan Rp35,41 triliun, perlindungan sosial Rp64,04 triliun, program prioritas Rp37,1 triliun, dukungan UMKM dan korporasi Rp41,73 triliun, dan insentif usaha Rp41,73 triliun. Belum lagi alokasi dana ratusan triliun rupiah untuk sector lainnya.

Selain program PEN, pemerintah juga tetap memberikan stimulus fiskal dan stimulus yang dianggap memiliki efek berganda seperti untuk sektor otomotif dan property.

Dengan adanya fleksibilitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021, ruang untuk insentif dari pemerintah pusat masih longgar. Namun, peran memacu ekonomi tak bisa sepenuhnya bersandar pada pemerintah pusat.

Kontribusi pemerintah daerah juga harus dioptimalkan. Dalam 6 bulan pertama tahun ini, banyak pemerintah daerah yang belum memaksimalkan dana dan anggarannya untuk pembangunan.

Data dari Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan rata-rata serapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) baru 26% oleh provinsi dan 23% oleh kabupaten/kota.

APBD harus dibelanjakan sesegera mungkin untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Terlebih, uang yang beredar di masyarakat merupakan hasil belanja sektor produktif dan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.

Belanja pemda lewat APBD juga dapat memancing swasta untuk turut bergulir dalam pergerakan ekonomi.

Selama ini ada kecenderungan realisasi penyerapan APBD belum seperti yang diharapkan.  Pemerintah daerah masih gemar mengalokasikan kemampuan fiskalnya untuk belanja pegawai ketimbang belanja infrastruktur. 

Jika pun digunakan untuk pembangunan infrastruktur, realisasi APBD kerap dilaksanakan di akhir tahun.  Kebiasaan tersebut diubah pada masa pandemi, untuk membangkitkan ekonomi nasional secara bersama.

Dana daerah yang belum optimal digunakan itu terlihat dari sikap pemda yang memilih untuk menggunakan sisa anggaran tahun sebelumnya. Sumber pendanaan untuk pembangunan daerah masih dari SiLPA (sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan).

Berdasarkan catatan Kemenkeu, anggaran SiLPA mendominasi sebesar 63,4 persen dari total APBD nasional. Di sisi lain, penggunaan penerimaan pinjaman daerah/obligasi daerah masih sangat kecil, yakni hanya 0,14 persen.

Padahal dana APBD tersebut tidak mudah untuk dikumpulkan. Pemda kesulitan menghimpun pendapatan asli daerah atau PAD dari pajak maupun retribusi karena ekonomi lesu terimbas pandemic Covid-19.

Pusat menyadari bahwa pemda butuh tambahan atau alternatif pembiayaan tambahan selain dari transfer keuangan dan dana desa (TKDD), maupun pendapatan asli daerah (PAD). Karena itu, sejak tahun lalu ada fasilitas pinjaman dana PEN untuk daerah sebesar Rp20 triliun. 

Pemda pun harusnya lebih proaktif dan melakukan inisiatif dalam mencari sumber pendanaan untuk pembiayaan di luar APBD. Pemda bisa saja mencoba skema penggunaan penerimaan pinjaman daerah/obligasi daerah yang porsinya slama ini masih 0,1% dari penggunaan dana daerah.

Tentu kita berharap koordinasi fiscal antara pemerintah pusat dan daerah lebih erat lagi sehingga optimisme dalam outlook pertumbuhan ekonomi 2021 dan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 lebih nyata dirasakan langsung oleh masyarakat.


(please visit and read https://bisnisindonesia.id/)

 

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi