Kuncinya Memang di Ekspor

Rabu Pagi 18/1/2018, di WA saya ada pesan masuk pukul 07:49 WIB berupa gambar koran kolom editorial dan dua kata "Terima ksh". Pesan itu dari Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.



Pesan itu bagi saya merupakan apresiasi dari Mirza. Dia tahu benar siapa penulis editorial itu karena materinya adalah yang juga menjadi bahan diskusi terbatas beliau, empat editor media pilihan dan 10 ekonom muda dari alumni FE UI sepekan sebelumnya. Tentu saja, saya menjadi salah satu peserta pertemuan itu.

Di pertemuan itu kami membahas buku Indonesia 2030 yang ditulis 10 ekonom muda itu. Buku itu bagi saya sangat memancing inspirasi untuk berpikir jauh, kita mau seperti apa 15 tahun lagi?

Sebagian dari pemikiran-pemikiran itu saya masukkan dalam tulisan editorial di bawah ini.

Kuncinya di Ekspor

Badan Pusat Statistik (BPS) telah melansir data neraca perdagangan terbaru, yang hasilnya boleh dikatakan menggembirakan. Data BPS memperlihatkan neraca perdagangan kita selama 2017 telah menghasilkan surplus US$11,8 miliar, atau tertinggi sejak 2011.

Secara kumulatif, ekspor Indonesia pada 2017 mencapai US$168,7 miliar atau meningkat 16,22% dibandingkan dengan pencapaian 2016.
Lonjakan tersebut karena tahun lalu semua sektor ekspor seperti minyak dan gas, tambang, pertanian dan industri pengolahan mencatatkan peningkatan signifikan.

Di sisi lain, kinerja kegiatan impor juga tercatat naik 15,66% secara tahunan menjadi US$156,89 miliar. Kenaikan impor dipicu oleh peningkatan permintaan bahan baku dan bahan penolong.

Secara keseluruhan, kinerja ekspor sudah demikian bagus itu ternyata belum juga berdampak pada neraca transaksi berjalan. Angka memang sulit untuk dibantah. Posisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) kita untuk 2017 diperkirakan 1,65%—1,7% dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Sebagai perbandingan pada 2016, posisi defisit transaksi berjalan berada di level 1,8% dari PDB kita. Tentu saja, posisi defisit transaksi berjalan menjadi perhatian tersendiri dalam setidaknya hampir satu windu terakhir.

Bahkan untuk tahun ini dan periode jangka pendek, transaksi berjalan Indonesia diperkirakan masih sulit untuk surplus. Posisi CAD tahun ini pun diperkirakan akan melebar menjadi sebesar 2%—2,5% dari PDB.

Yang jadi persoalan adalah posisi neraca primer dalam transaksi berjalan selalu mencatatkan defisit atau kewajiban. Ini berarti, Indonesia harus mengalirkan dana ke luar negeri, dan nilainya masih saja besar.

Ambil contoh kewajiban primary income pada tahun lalu yang hampir US$30 miliar merupakan dua kali lipat dari surplus neraca perdagangan yang US$11,8 miliar tersebut.

Defisit pada neraca pendapatan primer salah satunya bersumber dari pembayaran kewajiban investasi portofolio. Pembayaran itu berupa bunga atas pinjaman dan surat utang atau investasi. Hal itu jelas terkonfirmasi, misalnya, jika melihat arus modal dana asing di pasar modal.

Posisi indeks harga saham gabungan yang terus tinggi tiap tahun, selalu diikuti peran dana asing sebagai mesin pengerek. Kondisi itu tentu sangat rentan bagi kita ketika pasar Amerika serikat bullish maka selalu diikuti arus keluar dana asing dari Indonesia.

Apalagi defisit pada pendapatan investasi portofolio terus meningkat dari tahun ke tahun karena nilai utang luar negeri yang terus bertambah. Semakin banyak penerbitan utang luar negeri, baik berupa obligasi maupun pinjaman akan meningkatkan pembayaran kewajiban. Pada gilirannya, itu semua dapat meningkatkan defisit transaksi berjalan.

Beban defisit transaksi berjalan yang dipikul Indonesia sejak 2011 ini memang berbeda dengan dengan negara-negara tetangga semisal Thailand dan Malaysia. Sebelumnya, kita memang pernah merasakan manisnya neraca transaksi berjalan yang positif pada dekade 2000-an, yang dipicu kenaikan harga komoditas.

Namun, coba lihat bagaimana Thailand yang serupa dengan kita, justru menangguk untungnya neraca transaksi berjalan yang positif karena perekonomiannya mengandalkan pariwisata dan efek positif global chain di industri manufaktur.

Malaysia lain lagi. Negeri Jiran itu bahkan sudah positif neraca transaksi berjalannya dalam dua dekade terakhir. Pencapaian yang harusnya bisa kita samai, bahkan melampauinya.

Indonesia memiliki banyak peluang dan potensi yang bisa dimanfaatkan untuk menekan CAD serendah-rendahnya. Satu hal utama yang bisa dilakukan adalah memacu ekspor sebesar-besarnya.

Peluang itu ada. Saat ini harga-harga komoditas yang termasuk dalam 10 besar produk ekspor unggulan kita, mulai mencatatkan kenaikan harga secara global. Minyak, gas, batu bara, mineral, hingga sawit kini semakin mahal.

Kita berharap kebijakan keran impor tentu harusnya dipikir betul oleh pemerintah. Masih banyak produk komoditas pertanian kita yang diimpor, meskipun harusnya kita bisa mengandalkan produksi dalam negeri.

Di sisi lain, pemerintah kita harapkan juga memperkuat industri yang berbasis ekspor. Masuknya perusahaan penanaman modal asing harusnya juga berorientasi ekspor sehingga balance of trade juga naik.

Jangan sampai perusahaan asing tersebut justru lebih mengandalkan impor bahan baku/penolong, dan nanti dividennya pun kembali ke negara mereka. Kita justru tekor.

Jika mau ekonomi kita meningkat, mata uang Rupiah kita kuat, tentu tidak ada opsi yang lebih masuk akal selain memaksimalkan seluruh usaha ekonomi yang berbasis ekspor.


Tulisan ini menjadi Editorial Bisnis Indonesia 17 Januari 2018 http://koran.bisnis.com/read/20180117/245/727203/editorial-kuncinya-di-ekspor

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi