Jangan Hanya Andalkan Bunga Murah


Terjepit dan serba salah. Kondisi itu menggambarkan situasi di industri keuangan saat ini, suku bunga tinggi dikritik, suku bunga melandai dan cenderung rendah pun tetap saja menuai keluhan.

Sejatinya, pergerakan suku bunga perbankan memang harus disikapi secara hati-hati. Dalam hal ini kebijakan suku bunga berada di tangan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang berfungsi menjaga nilai rupiah.

Ketika nilai rupiah terhadap barang dan jasa naik atau terjadi inflasi, suku bunga bank yang tinggi diharapkan dapat menarik kembali uang beredar ke dalam sistem keuangan. Begitu pula sebaliknya, bunga rendah diperlukan untuk menggerakkan ekonomi.

Dalam tataran praktis, suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai acuan bagi perbankan menetapkan suku bunga bagi penempatan dana simpanan maupun penyaluran dana pinjaman.

Dalam 2 bulan terakhir, suku bunga acuan telah dipangkas sekitar 150 basis poin (bps). Di bank umum, respons terbesar terjadi di pemangkasan suku bunga deposito sebesar 147 bps. Adapun bunga kredit rata-rata baru turun sebesar 114 bps sampai 115 bps.
Suku bunga yang rendah ternyata juga membuat sebagian bankir-bankir galau. Bunga rendah membuat bank-bank terutama menengah ke bawah cukup kelimpungan merangkul penyimpan dana.

Penurunan bunga kredit belum selaras dengan penurunan bunga acuan karena ada beberapa bank yang memiliki loan to deposit ratio (LDR) di atas 90%, yang membutuhkan penghimpunan dana.

Dalam penghimpunan dana itu, bank pun terpaksa mengambil dana dari para ‘petani’ bunga deposito perbankan yang membuat biaya dana berpotensi naik.

Selama ini para petani bunga itu sebagian besar berasal dari korporasi besar dan BUMN, dan mereka kerap membandingkan imbal hasil dari deposito antara satu bank dengan bank lainnya.

Di sisi lain, rezim bunga rendah juga terjadi di kredit program. Kali ini, perbankan juga harus memperhatikan keputusan pemerintah yang berencana memangkas bunga kredit usaha rakyat atau KUR dari 9% menjadi 7%.

Fasilitas KUR diberikan kepada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang feasible dan belum bankable.

Dari satu sisi, penurunan bunga KUR sangat berpengaruh terhadap benchmarking bunga kredit terhadap sektor UMKM. Bank-bank kini tak bisa lagi mematok bunga kredit mikro setinggi-tingginya.

Bagi bank-bank yang selama ini menangguk keuntungan margin besar di kredit mikro, KUR jelas, sedikit banyak, telah menggerus segmen pasar kredit untuk pelaku usaha mikro maupun kecil dan menengah.

Apalagi, pemerintah juga memberikan kemudahan guna mendorong peningkatan jumlah debitur baru, khususnya yang berasal dari kalangan pengusaha pemula, dengan membuat skema penyaluran kredit melalui kelompok usaha dengan sistem pembayaran tanggung renteng.

Dengan bunga 9% saja, fasilitas KUR langsung diserap oleh 2,7 juta debitur. Hingga Agustus 2017, penyerapan dana KUR mencapai Rp61,14 triliun, atau 55,6% dari target penyaluran sebesar Rp110 triliun sepanjang tahun ini.

Bunga kredit program yang satu digit itu jelas menjadi faktor utama bagi KUR lebih laris manis ketimbang kredit komersial. Bank dengan segmentasi khusus seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pun harus memikirkan strategi baru.

BPR jelas tak mampu bersaing dengan bank umum yang berani memasang bunga kredit rendah. Skema linkage dan channeling pun tak bisa berbuat banyak.

Kita melihat tantangan BPR tak hanya suku bunga yang murah dari KUR. Mereka juga harus menerima tantangan dari pelaku usaha teknologi finansial (tekfin) dan usaha pergadaian yang mengandalkan kecepatan penyaluran dana.

Dengan segala kompleksitas tersebut, kita melihat prioritas saat ini adalah menggerakkan ekonomi nasional agar laju pertumbuhannya terus tinggi. Tentunya, semua itu membutuhkan kucuran dana murah sebagai pelumasnya.

Penurunan suku bunga KUR akan membantu meningkatkan permintaan terhadap kredit wong cilik ini. Dampaknya dapat mendorong pertumbuhan segmen usaha mikro dan kecil.

Kita juga berharap bankir lebih kreatif dalam diversifikasi pendanaan. Strategi harus dibuat dalam memanfaatkan pendanaan nonkonvensional untuk berkelit dari dilema suku bunga tersebut.

Biar bagaimanapun, suku bunga yang rendah adalah keniscayaan yang diharapkan akan mendorong perbankan untuk lebih efisien sehingga dapat memberikan bunga yang kompetitif, baik untuk simpanan maupun pinjaman.


NOTE:
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia Edisi Selasa 10 Oktober 2017

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi