M. Munir Haikal dan 11 tahun bersama berkarya

Semua orang punya cerita, apalagi soal kenangan terhadap seseorang yang baru saja meninggal. Hari ini saya mengantarkan sohib satu dekade terakhir, menuju tempat peristirahatan abadi. Tentu jadi ingat orang bilang bahwa De mortuis nil nisi bonum, tentang orang yang meninggal, bicarakan yang baik-baik



Munir, namanya, lengkapnya sih Muhammad Munir Haikal. Pria Lamongan kelahiran 27 Desember 1975. Dia wafat kemarin 4 September 2012 di RS MRCC Siloam Gleaneagles Jakarta setelah berjuang melawan penyakit kanker darah akut 11 bulan terakhir.

Saya kenal dia pertama kali pertengahan 2001. Kala itu kami menjadi segelintir orang yang ikut tes masuk menjadi wartawan di Bisnis Indonesia, koran ekonomi terbaik (dengan penghasilan tertinggi) di negeri ini.

Kala itu, Munir yang masih kurus khas para pejuang, berhasil lolos dan diterima di Bisnis. Saya? kurang beruntung di tengah penyelesaian Thesis S-2 yang nyaris rampung. Komunikasi sempat terhenti nyaris setahun hingga Juni 2003.

Kali ini saya akhirnya beruntung diterima di Bisnis setelah ikut tes lagi loh. Kami bersua tetapi jelas bukan dalam satu desk. Dia di desk finansial, saya di TrenDigital.

Hanya sebulan saya di desk teknologi informasi, kami bergabung di desk finansial di bawah redaktur M. Syahran Lubis dan asisten redaktur Endy Subiantoro, di kantor yang masih berlokasi di Wisma Bisnis Slipi kav 17-A.

Gaya Munir yang khas tak memerlukan waktu lama bagi kami untuk menjadi satu tim yang lumayan solid. Kami berdua kadang bermain sebagai sekondan. Ujian pertama kami adalah liputan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kala itu bermarkas di gedung Danamon (kini gedung Sampoerna Strategic).

Di situ pula, komunitas wartawan finansial berkumpul dan mulai membentuk jaringan. Munir pergi umrah, saya pun menenteng recorder di gedung BPPN menunggu Syarifuddin Temenggung dan para deputinya untuk mendapatkan berita.

BPPN, perbankan, gedung Depkeu, Bank Indonesia dan liputan perbankan menjadi tempat kami mulai berkenalan dengan rekan sepantaran seperti Fajar Kompas, Hatim (investor kini dia di Sindo), Sam Cahyadi (eks Tempo dan Kontan), Raja Suhud dan Jonggi (Media Indonesia), Hasan (Republika), Budi (dulu di Suara Pembaruan), dan banyak lagi kawan-kawan di Forkem.

Orang bilang saya dan Munir bak angka 10, satu kurus dan ndut... masing-masing bisa berdiri sendiri tetapi jadi kesatuan yang penuh di angka 10 itulah.

April 2005, kolaborasi kami berdua berbuah juara III lomba penulisan perbankan syariah... lumayan bisa nraktir kawan-kawan lain.

Tak hanya soal kerjaan, hobi sepak bola juga menjadi kegemaran kami. Munir suka menjadi kiper terutama di lapangan futsal, ajang olah raga yang dibuat Tachy (Zulnasri, calon direktur utama bank terkemuka di Indonesia). Coba saja tanya mas Wid (Widyo KR), mas Bejo (Surabaya Post), mas Edy (Majalah Asuransi), Dradjad (dulu di Investor), Mas Sutrisno, Yeffrie, Turyanto, Syarif Ipung dan Sandy Romulus (Koran Jakarta) dll.

Hatim, Fajar, Sam kadang menjadi Munir sebagai lawan cela-celaan yang mengakrabi. Panggilan "Hai Nyet..." itu sudah biasa mereka lakukan. Bagi Kokom (Nurul Qomariyah, terakhir redaktur pelaksana detikcom), kami ini orang-orang gila tersayang.... (ngakunya sih). Bagi Kokok HD (bos perusahaan PR); kami ini selalu di hati meski menjengkelkan...

Suka duka, senang sedih, lapar kenyang jadi makanan seharian kami.

Di kantor Munir adalah sosok yang sulit dilupakan. Mungkin karena stereotip badannya yang tinggi besar. Saya 184 cm, dia 180 cm, tapi berat badannya 1,5 kali dari saya yang 72 kg. Honda dan Dalsim... kira-kira begitu kalo saya dan dia jalan berdampingan...

Di kantor pula, ada tradisi unik nan akrab. Jika ada makanan, kue kecil atau apa... selalu ada teriakan khas... "Kue... kue!!!" itu tandanya waktu bagi kami semua untuk rebutan... semua pasti dapat ... tetapi rebutan itulah enaknya... dan Munir selalu saja berhasil mendapatkan sepiring penuh lebih dahulu....

Kalau makanan prasmanan... kadang kami bercanda.. "Ayo Nir.. buruan ! jangan ngalangin antriaan".. dia cuma mesem-mesem.

Munir kadang juga bisa iseng.. Pernah si Arif Gunawan, anak Jepara, dikerjain. Kacang yang sudah Munir emut-emut ditaruh kembali di tempatnya dan disodorin ke Arif Gunawan... dan konyolnya tuh kacang masih dimakan juga... yeaaaks... dan itu selalu menjadi cerita 'kemenangan' Munir dalam pelbagai kesempatan.

Dari rumahnya di Tebet Barat III No.2, Munir ke kantor selalu menggunakan bebek Suzuki berpelat nomor AB itu. Kadang ada yang nebeng pulang ama dia.

Pernah si Hanna Prabandari, kini di Pertamina, masih menjadi reporter dan pulang malam. Hanna yang berbadan mungil kecil nebeng dibonceng Munir. Kami bilang, si Hanna terlihat seperti tas mungil di punggung Munir, kalau dilihat dari belakang....

Pernah pula, Munir dibonceng saya dan kawan lainnya. Dulu saya tinggal di Condet dan kadang Munir nebeng naik motor bebek saya. Hasilnya, motor saya dari bebek menjadi kelihatan motor trail.... hahahaha.... syukurnya kata mereka, ban gak pernah kempes loh... hebat.

Tahun lalu, dia ditugaskan ke Australia acara test drive salah satu produsen mobil. Tiba-tiba ada kabar Munir terkapar pingsan di sana, sakit dan tak maksimal ikut acara liputan.

Balik ke Tanah Air, dia sering batuk-batuk. Suatu kali, dia nunjukin ke saya, kakinya yang bengkak dan membiru serta kadang ada bisul di sela-sela lipatan tubuhnya. Dia sakit dan menderita, hanya ditahannya.

Tak lama Munir masuk rumah sakit dan harus melakukan general check-up. Di RS MMC, Munir divonis Leukemia akut. Semua tak percaya... second opinion di RS Medistra, hasilnya sama.. Leukemia.

Hari itu masih pagi, Munir minta bicara empat mata dengan saya. Di ruangan mas CP (Chamdan Purwoko), dia curhat soal penyakitnya. Bagi dia ini vonis berat dan dia tahu maut mengintai.

Munir meminta saya me-review semua polis asuransinya. Saya hanya terdiam dan sekelebat pikiran soal maut, dan tanpa ragu saya minta dia tenang dan dibawakan semua data polisnya. Pengobatan Leukemia jelas butuh biaya tinggi.

Kami memang memiliki asuransi kesehatan dari kantor, tetapi jelas tindakan media untuk obat leukemia butuh biaya tak sedikit. Beruntung, Munir dan istri dan dua anaknya juga memiliki setidaknya dua asuransi dari perusahaan lain. Prudential menjadi salah satu asuransi yang memberikan manfaat maksimal untuk pengobatan Munir di RS. Plafon hingga lebih dari seratus juta bisa didapatnya.

"Kalo gua sih, pengobatan rumah sakit itu peluangnya fifty-fifty," kata Munir kala saya minta dia fokus ke pengobatan dan dampak kemoterapi.

Munir memilih untuk alternatif. Tak ada yang salah, ini soal pilihan dan itu ikhtiar, kata saya mari Bismillah.

Kabarnya tim dokter memprediksi waktunya tak lama. Kami cuekin dan tetap berpikiran positif.

Munir itu tangguh. Keluar masuk rumah sakit, ICU, tetapi tetap mengirimkan berita ke kantor. Coba saja tanya Pradjoto, Maryono (dirut Bank Century), Elvyn G. Massassya (Dirut Jamsostek), Jahja Setiatmadja (Dirut BCA), dan banyak dirut lainnya.

Munir tahu saya selalu koordinasi dengan pihak HRD soal absensi dan asuransi dia. Berulang kali saya merasa terbantukan oleh bu Darlis, manajer SDM yang membantu pengurusan klaim asuransi Munir meskipun beberapa sudah telat.

"Sorry merepotkan," kata Munir.

Suatu ketika diajak Dessy (istrinya) dan anaknya ke rumah saya. Kakinya masih bengkak dan Dessy yang nyetir. Dia memang punya rumah di karawaci dekat rumah saya, yang dikontrakkan ke orang. Saya kadang diminta tolong mengawasi rumahnya.

Pas Lebaran, dia masuk rumah sakit lagi, "Dokter bilang waktunya paling 8 bulan, kini udah 10 bulan.. alhamdulillah," kata Munir.

Jumat sore, 31 Agustus kami lagi rapat di kantor. Selepas magrib saya dapat kabar, Munir kembali ke rumah sakit.

Senin sore, 3 September, saya kaget melihat Munir tak sadarkan diri bertahan dengan alat bantu pernafasan di ruang ICU itu. Cairan kini membanjir di dalam tubuhnya, pertanda organ vital pun malfungsi. Saya jadi ingat almarhumah ibu saya yang juga pernah begitu. Feeling ini tak akan lama.

Selasa siang, mata saya tiba-tiba gatal memerah. Tak lama kabar duka pun menyeruak, Munir telah tiada.

Tadi malam itu, nulis namamu di papan nisan itu sangat menyesakkan hati...

Aaah bro, barisan kalimat ini tak cukup menggambarkan tentang kita dalam satu dekade terakhir.

Rest in peace kawan.... tolong pesan kavling di surga sana.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi