In a good faith...

Polisi : Tuan hakim, itulah orang yang membunuh Barbetje.

Hakim : Ia harus digantung. Bagaimana ia melakukan itu?

Polisi : Dicincang-cincangnya lalu digaraminya.

Hakim : Itu kesalahan besar ...... ia harus digantung.

Lothario : Tuan hakim, saya tidak membunuh Barbetje; saya memberinya makan, pakaian dan saya urus dia baik-baik ...... saya punya saksi-saksi yang bisa menerangkan, bahwa saya orang
baik dan bukan pembunuh .....

Hakim : Kau harus digantung ...... dosamu tambah besar karena kesombonganmu. Tidak pantas
orang yang dituduh beralah, menganggap dirinya seorang yang baik.

Lothario : Tapi tuan hakim ......, ada saksi-saksi yang bisa membuktikan itu ; dan karena
saya dituduh membunuh ......

Hakim : Kau harus digantung. Kau telah mencincang Barbetje, menggaraminya dan kau puas
dengan dirimu sendiri ......
Tiga kesalahan besar.
Siapa kau, hai, perempuan?

Perempuan : Saya Barbetje ......

Lothario : Syukur alhamdulillah ...... tuan hakim, tuan lihat, saya tidak membunuhnya ! ......

Hakim : Hm ......, ya ......, begitu ......, tapi bagaimana dengan penggaraman ? ......

Barbetje : Tidak, tuan hakim, dia tidak menggarami saya ; -- sebaliknya, dia banyak berjasa
kepada saya ...... dia seorang manusia yang mulia !

Lothario : Tuan dengar, tuan hakim, katanya saya seorang yang baik ......

Hakim : Hm ......, jadi kesalahan ketiga masih tetap ada.
Polisi, bahwa orang itu; dia harus digantung.
Dia bersalah karena congkak.
Panitera, kutip dalam dalil-dalil yurisprudensi sesepuh dalam karya Lessing ......*

(Sandiwara yang tidak diumumkan)
* Yang dimaksud ialah sesepuh (patriarch) dalam drama Lessing, Nathan der Weise, yang menolak semua kesaksian yang meringankan dan menjatuhkan hukuman bakar sampai mati kepada seseorang Yahudi.


Dialog di atas merupakan cuplikan dari halaman XX buku MAX HAVELAAR karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker yang ditulis pada 1820. Saya kutip ulang dari buku terjemahan H.B. Jassin cetakan ketujuh 1991, Penerbit Djembatan. Buku lusuh seharga Rp12.000.

Pengadilan Lothario dalam Multatuli itu seperti perwujudan suara-suara sinis terhadap upaya-upaya pengadilan mencari hukum yang sejati.

Entah kenapa, konteks itu pula yang diangkat mas Har, panggilan saya untuk salah satu guru saya di lapangan liputan, wartawan Kompas Suhartono ketika menulis feature pada halaman Nasional di korannya edisi Jumat 11 Desember 2009.

Judulnya saja 'Boediono, Sri Mulyani, dan Lothario Karya Multatuli'. Kasus Bank Century membuat nama Boediono dan Sri Mulyani begitu melejit dalam benak masyarakat Indonesia yang punya memori pendek ini.

Dalam feature itu, mas Har menulis, "Sri Mulyani mengambil hikmahnya dengan peristiwa yang terjadi dalam perjalanan hidupnya sekarang ini. "Kejadian ini mengingatkan saya pada novel Max Havelaar (karya Multatuli), terutama di bagian awalnya tentang pengadilan Lothario dengan Barbertje...," demikian Sri Mulyani."

Di lain alinea, tertulis...

"Hakikat dialog dalam pengadilan Lothario dan Barbetje seperti yang disampaikan Sri Mulyani, berbicara tentang sebuah kesewenang-wenangan penegakan hukum terhadap terdakwa yang tidak bersalah. Karya Multatuli dalam Sandiwara yang Tidak Diumumkan itu juga bermakna sebuah bentuk ketidakdilan karena penolakan hakim terhadap semua kesaksian yang meringankan seseorang, dan bahkan cenderung mencari-cari dan memaksa kesalahan terdakwa untuk tetap menjalani hukumannya.

"Tentu, ini tidak boleh terjadi terhadap Sri Mulyani dan Boediono. Kebenaran memang diharapkan akan benar-benar mengungkapkan semuanya apa adanya menyangkut siapapun dalam kasus Bank Century. Bilamana adanya pihak-pihak tertentu yang ternyata mengambil manfaat terhadap keputusan yang dikeluarkan Sri Mulyani dan Boediono sebagaimana diperkirakan selama ini, tentu keduanya tidak boleh menjadi tumbal atau korban sendirian seperti Lothario."

Sah-sah saja. Kasus Century memang sudah membuat masyarakat menjadi terbelah, ada yang membela dan ada pula yang menuntut.

Semua jelas dengan pretensi. Tidak terkecuali para jurnalis. Coba tanya wartawan yang sering nongkrong di departemen keuangan misalnya, suara mendukung Sri Mulyani Indrawati jelas nyaring di antara suara penuntut lainnya.

Bagaimana dengan jurnalis di Bank Indonesia ? saya yakin pasti juga terbelah sikapnya. Pak Boediono toh tak terlalu 'berakar' karena hanya seumur jagung memimpin BI. Apalagi jarang ada door stop (gaya jurnalis mencegat untuk bertanya) seusai sholat jumat.

Beda rasanya saat masa Burhanuddin Abdullah. BI saat itu sudah punya payung hukum sendiri. Wartawan meskipun tak punya press room tapi akses berita tak sulit.

Burhanuddin terjerat KPK untuk kasus aliran dana ke DPR untuk mempermulus pembahasan UU BI dan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Jelas karena kebijakan dan tak ada aliran dana ke kantongnya.

Pada 29 Januari 2008, saya kebetulan ada di atrium depan lift utama gedung A Syafrudin Prawiranegara saat Burhanuddin diiringi Miranda Swaray Goeltom dan seluruh deputi gubernur muncul memberikan keterangan pers. Ruang lobi yang luas dan lantai satu itu penuh dengan karyawan BI yang tepuk tangan memberikan dukungan kepada jajaran dewan gubernur.

Saya yakin pula, kalau saat ini karyawan Departemen Keuangan juga bersikap sama kepada Sri Mulyani. Sohib saya si Api bilang, "Tetanggaku orang Depkeu sibuk menyusun pembelaan dan keliling Indonesia untuk pencitraan."

Memori saya masih ingat dengan berita pada akhir Agustus 2009. Saat itu, Sri Mulyani harus mengakui kesalahan soal laporan kasus Century kepada Wapres Jusuf Kalla.

Wapres Jusuf Kalla kala itu mengatakan dirinya tidak mengetahui proses bailout dan tidak pernah dilapori sebelumnya oleh pejabat berwenang. Dia menyayangkan penjelasan Menteri Keuangan (kepada sejumlah wartawan melalui pesan singkat elektronik), Kalla telah diberi tahu. "Seakan-akan saya diberi tahu per tanggal 22 November 2008," ujar Kalla.

Menurut Kalla, Sri Mulyani mengatakan Komite Kebijakan Sektor Keuangan memutuskan bail out Bank Century pada 21 November. Lalu, Menteri Keuangan melapor ke Kalla pada 22 November. Sehari setelah laporan atau 23 November, dana talangan ke Century dicairkan. "Padahal sebetulnya tidak," ucapnya.

Kalla menyatakan baru mendapat laporan pada 25 November. Laporan tidak mungkin dilakukan pada 22 November karena saat itu hari Sabtu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Gubernur (Bank Indonesia), Boediono, melaporkan situasi Bank Century.

"Saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis tapi itu perampokan, kriminal karena pengendali bank ini merampok dana bank century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri," kata Kalla.

Dan bu Sri Mulyani mengatakan,

"Pak Wakil Presiden mengatakan tanggal 25, saya rasa beliau benar. Untuk itu dia yang menginstruksikan penangkapan Robert Tantular," kata Sri Mulyani usai rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan di gedung DPR, Senin (31/8).

Ketika ditanya mengapa laporan dilakukan setelah pengambilan keputusan, Sri hanya menjawab, "Tapi berarti benar kan saya melapor. Benar tidak? Lapornya benar." Itu berita kawan saya Agoeng Wijaya, anak Pasuruan yang kerja di Koran Tempo.

Jadi, Opini memang penting. Bahkan salah satu senior saya sempat pusing gara-gara bagaimana 'menjahit' pasokan berita soal kasus Century ini agar menjadi satu tulisan apik, tanpa menyinggung perasaan ibu menteri. Pesanan sana-sini berdering. SUSAH MEMANG MENGABDI KEPADA DUA TUAN.....

Namun, persepsi jauh lebih utama dan sangat penting. "Bagi saya, selama belum ada landasan hukum yang bilang dia salah, saya hantam terus. Ekstrim memang, tapi gaya saya begitu," kata mentor saya lainnya, ketika kami mengobrol pukul setengah satu pagi.

"Kalau sikap elu sendiri gimana, mi?," kawan saya lainnya bertanya.

"Sikap tetap harus ada. Secara aturan, injeksi dana ke Century kan ada hukumnya boleh dari BI, katanya bank itu punya rasio modal positif. Tapi kalau ditanya kedua orang itu salah atau tidak.. yaa biarkan saja pengadilan yang memutuskan," jawab saya coba kelihatan serius.

"Elu bela siapa ?, pasti bela BI karen elu lama meliput di sana, " ujar teman saya lainnya mendesak. Dia tahu Indonesia ini dikenal sebagai negara kelautan, bukan negara hukum.

"Gak juga tuh, bagi gue, kalo memang ada yang salah. yaa sudah bilang salah dan terima risiko," kata saya, ngeles.

"Ah elu memang licik," kata si perempuan.

Namun, suara Burhanuddin, dua tahun lalu itu masih terngiang. "Tentu saja saya tak dapat terus dalam keadaan demikian, tak dapat terus mengumbar perasaan. Saya harus tetap kembali kepada akal sehat dan membuktikan pada waktunya nanti saya tidak bersalah," tuturnya tetap tersenyum. Salut pak.

Semua memang soal kebijakan. Benar dan salah tergantung dari perspektif mana anda melihatnya. Yang penting jangan bermental nasi goreng, kena mecin sedikit aja, langsung jilat sana sini sampai licin.

Selasa malam, 9 Desember, di Straits Kitchen Restaurant, Grand Hyatt Singapura, Hendra Gunawan Dirut Bank DBS Indonesia serius menjelaskan kepada saya, bagaimana kebijakan bailout itu harus dilakukan pemerintah.

"Orang tidak tahu kalau saat itu likuditas di perbankan sangat ketat. Saya saja menahan dari deposito atau mereka saya ancam tarik kreditnya. Bank BUMN gak mau lepas dananya, semua pegang masing-masing," ujarnya.

Pak Hendra ingin menjelaskan kalau Bank Century memang perlu ditalangi untuk menjalankan aktivitas perbankan, karena kalau tidak kepercayaan kepada bank akan hancur dan orang-orang rush, antri ngambil duit di ATM kayak 11 tahun lalu.

Entahlah. Banyak orang memang bukan bankir dan tak peduli apa makna 'kesulitan likuiditas', 'bailout' atau 'dampak sistemik'. Mungkin itu semua dianggap sama seperti siapa yang tahu kapan bajaj itu mau belok ?

"Jangan sinis gitu dong mi... ini kan demi orang banyak juga," kata kawan saya dari Jogja.

"Ah lebay deh mereka," jawab saya, cengengesan.

Saya sebenarnya tak terlalu peduli dengan Sri Mulyani dan Budiono bersalah atau tidak. Bagi saya kenapa pemerintah hanya bermain dengan emosi masyarakat dan LUPA akan tugas melayani orang miskin, pendidikan dan pengobatan murah, membuat infrastruktur dan tugas mulia lainnya.

Saya hanya bisa berharap para pejabat melaksanakan tugas dengan good faith, dengan niat baik dan bekerja dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Jadi jangan naif dan congkak kalau tak ingin bernasib 'buruk' seperti Lothario !

salam
Faa, 13 Des 09

Yanuar Rizky
Yanuar Rizky
Note yang bagus, Saya kenal Pak BA, juga Pak Boed, tapi tidak SMI selain lewat berita..

Kalau bicara integritas Pak Boed seorang sederhana yang saya respek sejak saya jadi mahasiswanya. Pak BA pun menjadi GBI yg menurunkan hyperinflasi 19% ke 7,5% .. Dan lalu, waktu balik arah, beliau cepat naikkan BI rate, dan Surplus OPT moneter tersebut bayar utang IMF..

Saya yakin orang akan bilang, saya akan bias di BA, sejarah membuktikan saya juga mengambil sikap yang sama terhadap kasusnya, yaitu mendorong proses hukum atas transparansi sebuah kasus.. ... See More

BA ketika kasusnya baru ramai begitu menghargai transparansi kasus ini, karena beliau mungkin sama rasanya dgn apa yg terjadi di Bu SMI hari ini.. Sama.. BA bercerita ke saya '13 hari baru jadi GBI, RDG ke 2 saya'..

Tapi, saya ingat betul, ketika saya berkata kepada beliau bahwa proses di DPR harus berubah, mungkin ini cara Nya.. BA berkata 'kalau ini utk kebaikan masa depan, semoga memang demikian, dan bukan kesia2xan'

Sampai malam itu saya dpt sms bahwa Pak BA ditahan, saya menjenguknya pagi harinya.. Jauh dari suasana ruang GBI.. Beliau berada satu deret meja dengan kriminal lain, dia Tegar.. Dan, tak banyak berkata selain saya baca di media pagi hari 'saya tentu menyesal, tapi ini resiko pekerjaan saya, dan kami harus menghormati hukum' .. Pagi itu, Pak BA berkata kpd saya "Kita tak dapat memilih, selain menerima apa yang dipilih Nya"

BA menjalani tahanan, dihukum opini dan waktu, sampai saat ini dia pun jalani banding terus utk "cerita Barbetje" dirinya.. Tapi, resiko pekerjaan telah dijalaninya, dan itu contoh yang baik pula.. Jadi, membahas episode "barbetje" saya rasa Bu SMI pun harus sadar tentang Resiko Pekerjaan dan proses hukum atasnya.. Dan, seperti selalu saya lihat dari seorang BA adalah sah dan meyakinkan (karena yang terima duitnya berkeliaran, yg bongkar kasusnya juga terlibat dan penuh kepura2xan, sehingga kasus ini sia2x pun rasanya jelas tak ada efek jera di DPR meski perlahan mungkin akan terjadi suatu saat)

BA sebagai pribadi warga negara wajar dan harus pula kita hargai berimbang atas situasnya yang "merasa dizhalimi, tapi dia menjalaninya sebagai pilihan Nya yg hrs dijalani dan diperjuangkan" dan Budaya hukum, entah hukum yang tak adil, tapi tetap menghargai hukum apapun itu adalah potret resiko pekerjaan seorang pejabat..Jadi, bagi saya soal personal harus kita proporsionalkan ke budaya "hadipilah" resiko pekerjaan seperti prinsip investasi "high risk high return".. Dan, maaf, bagi saya org kredibel sudah ada yang jalani hukum itulah BA.. Di titik itu, saya berharap siapapun saat ini di Century mari "hadapilah"..

Walluhu'alam bi shawab..
December 13 at 8:40pm
Fahmi Achmad
Fahmi Achmad
mas Yanuar, saya sependapat soal high risk high return dan entahlah gimana kalo semua pejabat terutama menteri pakai PR seperti jumpa pers Menkeu sore tadi...? aneh.. kasian biro humasnya ngapain ya..?
December 13 at 9:01pm
Yanuar Rizky
Yanuar Rizky
hihihi.. dan cara PR nya itulah dibuat ke peenganiayaan dan seprti dibuat kontes "SMI atau ARB".. saya rasa dua2xnya soal kasus dibaliknya, saya sama perlakukan.. karena bukan konteks personalnya, tapi peristiwanya.. entahlah negeri ini seperti jadi negeri PR :(
December 13 at 9:37pm
Edhi Rahmanto
Edhi Rahmanto
A good faith is not enough in our country. Di Indonesia, pejabat yg banyak berbuat (baik) dan membuat terobosan harus bersiap didzalimi. Jadi tidak ada disinsentive untuk pejabat yg gak perform. Pak BA, Pak Boed dan Bu SMI terbukti membawa kestabilan makro 2003-2008, tapi mereka malah mendapat hadiah..Sementara, menteri yg gak ngapa-ngapain malah aman sentosa.
December 14 at 5:22am
Fahmi Achmad
Fahmi Achmad
yap damn rite bos edhi. Manusia memang berpolitik ya
December 14 at 7:42am
Benedict Zighe
Benedict Zighe
Aku berpendapat lain...Secara pribadi Boediono dan SMI itu bersih dan tidak terima upeti atau setoran....Tetapi apakah kebijakan ekonomi yang dipilihnya selama ini berpihak pada masyarakat luas ??? Apakah terutama tidak berpihak pada kelompok atas ??? Bagi orang2 yg tidak mengerti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial-antara kaya miskin... See More- boleh saja membela BO dan SMI ??? Apakah orang2 yg hidup di bawah jembatan atu hidup mengemis itu semata2 karena mereka malas dan bodoh ??? Atau orang2 miskin di desa yg tdk pernah mendapat kesempatan krn pendidikan mahal dan terpaksa menjadi petani,buruh atau TKI ??? Mereka tidak makan inflasi atau kestabilan makro Bung ??? Mana adil orang2 terkaya asetnya meningkat 30-40 persen versi Forbes terbaru sementara anak bangsa lain dianiayai di LN ??? So kata Deng tidak peduli warna kucing yang penting bisa menangkap tikus...Kita tahu orang2 SMI dan BO itu hanyalah begundal kaki tangan asing dan bukan kucing nasionalis yang dimaksudkan Deng...Kedua orang itu tak lebih dari sekedar tikus yang mencuri hak rakyat lewat kebijakan......
December 14 at 12:22pm
Fahmi Achmad
Fahmi Achmad
Sigit:
Selusin kepala tak berdosa
Berteriak hingga serak di dalam negeri yang congkak
Lalu senang dalang tertawa
Ya ha ha
December 14 at 10:09pm
Indri Ariefiandi
Indri Ariefiandi
apakah ada yang ingat hanya di Jaman BA, kita dapat melunasi hutang2 luar negeri........dan itu tentu saja membuat negara pemberi utang menjadi kelabakan karena harus kehilangan bunga mereka selama ini......
December 16 at 8:56pm

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi