Ayo back to basics

Tak sulit mengiyakan betapa perbankan nasional terhenyak dengan kedatangan krisis finansial global di ruang tamunya. Banyak kerugian terutama dari transaksi derivatif membuat laba bank pun terkuras.

Sedikit mengingatkan bagaimana pada dua tahun terakhir, pejabat bank sentral begitu optimistis pesawat ekonomi sudah terbang dengan 2 mesin, kemajuan sektor finansial di kiri dan pergerakan sektor riil di kanan sayap.

Kini, boleh dikatakan krisis itu membuat pesawat ekonomi kita mengalami turbulensi yang cukup mengganggu. Perbankan dan pasar modal lesu, ekspor-impor pun tak bergairah.

Namun, optimisme Bank Indonesia tak lenyap begitu saja. Imbauan positif disuarakan bahwa krisis selalu membawa peluang dan tinggal bagaimana kesempatan tersebut dimanfaatkan para bankir.

Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam pidato tahunan perbankan pada akhir Januari lalu menekankan pentingnya bagi perbankan nasional di tengah krisis global keuangan seperti saat ini untuk kembali ke khittah, “back to basics”.

Dan, baru-baru ini, ajakan Boediono tersebut digaungkan kembali oleh Biro Humas BI dengan info terbaru di website resminya. Ternyata ajakan kembali ke khittah juga berlaku di Amerika Serikat, negara di mana krisis yang terjadi sekarang ini berawal.

Frederick Holmes, seorang Professor of Medicine Emeritus dari University of Kansas menulis dalam surat pembaca yang dimuat dalam majalah The Economist edisi 14-20 Februari 2009.

Dalam suratnya, ia menyatakan kepuasannya karena selama 40 tahun telah menjadi nasabah dari suatu bank lokal di Kansas City, AS yang beroperasi secara konservatif.

Dia katakan, ”Despite the death knell sounded throughout the media, most people and most banks did not encumber themselves with mountains of unsecured debt. In the conservative heartland of America we have avoided the razzle-dazzle of ‘sophistication and computer-modelling’ when managing our finance”.

Sementara itu, di pihak lain, pimpinan eksekutif bank tersebut berusaha menenangkan para nasabahnya yang khawatir terhadap kondisi bank dalam krisis keuangan saat ini dengan membuat pernyataan: ”When the siren song of the subprime-mortgage market came along, we took the long view and turned a deaf ear.”

Pernyataan ini dimungkinkan karena bank tersebut tidak memiliki subprime mortgages yang membahayakan kondisi bank. Terbukti, praktik konservatif yang dijalankan oleh bank tersebut telah menyelamatkannya dari dampak krisis keuangan yang begitu hebat.

Apa memang demikian solusinya? Menurut Boediono, modernitas dan liberalisasi sistem keuangan yang ditandai dengan berkembangnya produk perbankan tak serta-merta membawa kemaslahatan bangsa apabila tak diiringi realitas sektor riil.

Kembali ke khithah bagi industri keuangan dipandang Dewan Gubernur BI sebagai titik tolak kebangkitan ekonomi nasional.

“Pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Salah satu pelajaran yang paling mendasar dari krisis ini adalah pentingnya bagi kita semua kembali ke khittah, back to basics,” begitu ujar Boediono kala berpidato di Bankers Dinner di Jakarta, 30 Januari.

Perkembangan yang luar biasa pada sektor keuangan dalam satu dasawarsa terakhir bersumber dari inovasi produk keuangan dan lembaga keuangan yang ditopang oleh revolusi dalam teknologi informasi serta liberalisasi sistem keuangan.

Namun, kemajuan itu tidak didukung oleh landasan aset atau kegiatan ekonomi yang jelas (underlying transactions), sehingga hanya menciptakan sistem dan jalur cepat bagi sekelompok orang untuk menjadi kaya.

“Kegiatan yang lepas dari underlying transactions kemudian berkembang menjadi gelembung atau bubbles. Karena dinamika interns sendiri, gelembung semakin membesar, dan akhirnya pecah. Dan krisis terjadi. Singkatnya krisis pada hakikatnya adalah konsekuensi dari kegagalan mengelola risiko, pada tingkat mikro dan makro," paparnya.

Berkah terselubung

Pandangan tentang ketertinggalan Indonesia dalam mengintegrasikan sektor keuangan dengan jaringan keuangan global adalah blessing in disguise, karena telah menyelamatkan bangsa ini dari dampak krisis yang lebih serius diamini oleh Boediono.

Apalagi, korban ‘kita’ dari krisis itu sudah banyak. BI bahkan harus merelakan Bank Indover yang merugi besar untuk dilikuidasi sebelum dijual ke investor. Belum lagi kalau kita bicara kerugian investor ritel yang terkait dengan simpanan berbalut investasi yang di jual di bank.

Kasus nasabah Bank Century yang merugi karena mengadu nasib dengan investasi kelolaan Antaboga Delta Sekuritas menjadi perhatian seluruh pihak. DPR bahkan menyoroti tajam pengawasan penjualan produk-produk investasi yang bukan ranah perbankan tersebut.

Bagi Boediono dan kolega di bank sentral, kondisi itu menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk tidak terlalu bersemangat untuk 'maju' atau ingin dianggap maju sebelum mengerti benar risiko yang ditimbulkan dari tata kelola yang kurang baik.

Ajakan kembali khittah seakan melahirkan tanda tanya apakah rencana bank sentral mengarahkan perbankan menuju sistem perbankan dengan layanan universal (universal banking), akan terwujud?

Setidaknya, bank sentral tetap harus kerja keras bersama pemangku kepentingan lainnya agar turbulensi perbankan nasional tidak menenggalamkan ekonomi nasional dalam suatu resesi.

Langkah yang perlu dilakukan ada tiga elemen, yakni melewati masa keketatan kredit global dengan selamat, menjaga agar kegiatan ekonomi tak terlalu merosot dalam jangka pendek dan mempersiapkan agar kondisi perekonomian nasional kembali pada jalur yang berkesinambungan.

Stimulus fiskal mungkin menjadi kunci utama tetapi bank seharusnya bisa menangkal kemerosotan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek dengan fungsi intermediasi, dan tentunya bunga yang rendah.

(fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi