Reposisi kebun inti Sampoerna Agro
Kebun plasma (kemitraan) PT Sampoerna Agro Tbk memang memiliki manfaat ke masyarakat jauh lebih besar dari lahan inti. Namun, jika porsi tidak seimbang, margin laba dinilai menjadi korban.
Di antara emiten sawit nasional, perusahaan milik grup Sampoerna ini bisa dibilang memiliki persentase kebun plasma terbesar. Sekitar 55% lahan tertanam mereka saat ini merupakan kebun plasma, yang menyumbang 72% biaya produksi.
Fakta tersebut dinilai bisa mengancam margin bersih perseroan, meski pada saat bersamaan justru menyumbang profil pertumbuhan kuat, dengan rerata produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) per tahun tumbuh 9,9% dalam 2 tahun.
Analis PT Credit Suisse Securities Teddy Oetomo pun tidak segan menaikkan target harga saham perseroan di pasar berkode SGRO. Ekspektasi kenaikan harga CPO 2010 dan pemeringkatan ulang PER 2010 pasar Indonesia menjadi 17,5 kali menjadi pemicu utama.
“Kami mempertahankan peringkat outperform saham SGRO. Saham ini berkorelasi positif kuat dengan harga CPO, dengan tiap kenaikan RM100 per ton mendongkrak laba sebesar 8,8%,” tuturnya dalam laporan riset per 4 Januari 2010.
Credit Suisse menaikkan target harga saham SGRO dari Rp2.600 menjadi Rp3.100, berdasarkan valuasi PER 2010 sebesar 15,5 kali, diskon 6% dan 11% dibandingkan dengan PER 2010 saham PT London Sumatera Plantations Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Namun, broker asing tersebut menilai Sampoerna Agro masih dibayangi risiko volatilitas produksi tinggi yang mengimplikasikan laba lebih rendah. Besarnya kontribusi plasma dinilai memperendah margin mereka dibandingkan dengan perusahaan sejenis.
“Kami percaya volatilitas tinggi produksi Sampoerna Agro dipicu kecilnya perkebunan mereka. Besarnya kontribusi kebun plasma mengimplikasikan margin EBITDA perseroan bisa terus di bawah perusahaan pesaingnya,” papar Teddy.
Namun, dia mengakui kondisi seperti sekarang terhitung masih menawarkan profil pertumbuhan tertinggi di antara emiten perkebunan nasional. “Kami mengekspektasikan produksi CPO tumbuh rata-rata 9,9% per tahun untuk 2 tahun ke depan, melampaui pertumbuhan LSIP sebesar 5,1%, dan AALI sebesar 0,6%,” ujarnya.
Peluang tumbuh
Dalam laporan riset terpisah, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat margin perseroan sejauh ini masih terjaga. Meski pendapatan per September 2009 turun 36,2% menjadi Rp1,19 triliun, tetapi secara triwulanan menguat 55% dengan pelemahan tipis margin kotor dari 37,5% menjadi 36,2%.
“Kami melihat saham SGRO bisa mempertahankan margin dengan cukup baik. Kinerja yang melemah secara tahunan disebabkan penurunan rata-rata harga jual sebesar 20% secara tahunan,” paparnya dalam laporan per 5 November 2009.
Prospek pertumbuhan terbuka lebar mengingat total kebun dengan tanaman siap panen saat ini mencapai 68%. Rata-rata usia panen berkisar 10,3 tahun yang relatif berada pada usia menengah dengan yield produksi tinggi..
Usia panen yang relatif masih muda pada umur 10 tahun juga memberikan ruang luas bagi perseroan memperkuat produksi panen dan memenuhi permintaan pasar beberapa tahun ke depan.
“Tanah cadangan belum tertanam saat ini mencapai 116.500 hektare, yang akan memperkuat potensi pertumbuhan organik, sehingga kami masih melihat perseroan memiliki banyak ruang berekspansi,” ujar Herman.
Kondisi tersebut didukung potensi reklasifikasi lahan belum masak, yang bisa mendorong volume produksi tandan buah segar (fresh fruit bunch/ FFB) menjadi 1,61 juta ton pada 2012 atau naik 36% dari 2009.
Herman mendukung rencana manajemen Sampoerna Agro mengurangi proporsi lahan plasma karena biaya produksi plasma tiga kali lebih tinggi dari biaya produksi lahan inti. Lahan plasma sendiri mengontribusi sekitar 72% dari total biaya produksi.
Dia mencatat perseroan kini fokus menghemat biaya ke depan dan menyeimbangkan persentase lahan inti guna memperbaiki margin. “Kontribusi lahan plasma yang lebih rendah akan memperbaiki margin operasional secara bertahap menjadi 35% pada 2013, dari posisi 2009 sebesar 26%,” ujarnya.
Harga CPO
Credit Suisse menilai bisnis Sampoerna Agro sangat ditopang harga CPO. Mereka percaya saham SGRO di pasar masih menarik, berdasarkan prospek harga CPO yang menguat pada triwulan I/2010.
“Kami yakni pada posisi harga sekarang, Sampoena Agro menawarkan valuasi menarik. Saham berkode SGRO tersebut ditransaksikan pada PER 2010 sebesar 13,3 kali, mengimplikasikan PER 2010 terendah di antara emiten lain yang kami analisis,” ujar Teddy.
Di sisi teknis, AAA Securities menilai saham Sampoerna Agro layak dibeli dengan target harga Rp2.880 per saham, berdasarkan pertimbangan teknis mulai maraknya perdagangan saham berkode SGRO tersebut di pasar.
Herman optimistis saham tersebut masih menarik ditransaksikan, dan melihat peningkatan kesadaran investor atas saham tersebut sehingga volume transaksi pulih. Saham SGRO memang tidak selikuid AALI dan LSIP, karenanya kami masih melihat pasar masih mendiskon saham tersebut.
“Kami masih melihat SGRO memiliki potensi kenaikan karena harga sekarang tercatat lebih rendah dibandingkan dengan harga perdana sebesar Rp2.340 per saham,” ,” ujarnya.
Saham perseroan juga belum cukup mahal dibandingkan dengan perusahaan sejenis di industri. Padahal, perusahaan tersebut membukukan rekam jejak kuat dengan dukungan grup Sampoerna.
Dengan prospek demikian, akankah harga saham di pasar menguat seiring dengan perbaikan margin dari reposisi kebun plasma? Jawabannya tidak sederhana. Bagi beberapa orang, kemitraan kadang bukan persoalan kapitalisasi, namun lebih kepada nilai (value).
Apalagi, bisnis CPO sampai sekarang merupakan bisnis minyak nabati berbiaya produksi terefisien dan produksi panen tertinggi rata-rata 17 ton-20 ton FFB per hektare dibandingkan dengan minyak nabati lain.(arif.gunawan@bisnis.co.id)
Di antara emiten sawit nasional, perusahaan milik grup Sampoerna ini bisa dibilang memiliki persentase kebun plasma terbesar. Sekitar 55% lahan tertanam mereka saat ini merupakan kebun plasma, yang menyumbang 72% biaya produksi.
Fakta tersebut dinilai bisa mengancam margin bersih perseroan, meski pada saat bersamaan justru menyumbang profil pertumbuhan kuat, dengan rerata produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) per tahun tumbuh 9,9% dalam 2 tahun.
Analis PT Credit Suisse Securities Teddy Oetomo pun tidak segan menaikkan target harga saham perseroan di pasar berkode SGRO. Ekspektasi kenaikan harga CPO 2010 dan pemeringkatan ulang PER 2010 pasar Indonesia menjadi 17,5 kali menjadi pemicu utama.
“Kami mempertahankan peringkat outperform saham SGRO. Saham ini berkorelasi positif kuat dengan harga CPO, dengan tiap kenaikan RM100 per ton mendongkrak laba sebesar 8,8%,” tuturnya dalam laporan riset per 4 Januari 2010.
Credit Suisse menaikkan target harga saham SGRO dari Rp2.600 menjadi Rp3.100, berdasarkan valuasi PER 2010 sebesar 15,5 kali, diskon 6% dan 11% dibandingkan dengan PER 2010 saham PT London Sumatera Plantations Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Namun, broker asing tersebut menilai Sampoerna Agro masih dibayangi risiko volatilitas produksi tinggi yang mengimplikasikan laba lebih rendah. Besarnya kontribusi plasma dinilai memperendah margin mereka dibandingkan dengan perusahaan sejenis.
“Kami percaya volatilitas tinggi produksi Sampoerna Agro dipicu kecilnya perkebunan mereka. Besarnya kontribusi kebun plasma mengimplikasikan margin EBITDA perseroan bisa terus di bawah perusahaan pesaingnya,” papar Teddy.
Namun, dia mengakui kondisi seperti sekarang terhitung masih menawarkan profil pertumbuhan tertinggi di antara emiten perkebunan nasional. “Kami mengekspektasikan produksi CPO tumbuh rata-rata 9,9% per tahun untuk 2 tahun ke depan, melampaui pertumbuhan LSIP sebesar 5,1%, dan AALI sebesar 0,6%,” ujarnya.
Peluang tumbuh
Dalam laporan riset terpisah, analis PT AAA Securities Herman Koeswanto mencatat margin perseroan sejauh ini masih terjaga. Meski pendapatan per September 2009 turun 36,2% menjadi Rp1,19 triliun, tetapi secara triwulanan menguat 55% dengan pelemahan tipis margin kotor dari 37,5% menjadi 36,2%.
“Kami melihat saham SGRO bisa mempertahankan margin dengan cukup baik. Kinerja yang melemah secara tahunan disebabkan penurunan rata-rata harga jual sebesar 20% secara tahunan,” paparnya dalam laporan per 5 November 2009.
Prospek pertumbuhan terbuka lebar mengingat total kebun dengan tanaman siap panen saat ini mencapai 68%. Rata-rata usia panen berkisar 10,3 tahun yang relatif berada pada usia menengah dengan yield produksi tinggi..
Usia panen yang relatif masih muda pada umur 10 tahun juga memberikan ruang luas bagi perseroan memperkuat produksi panen dan memenuhi permintaan pasar beberapa tahun ke depan.
“Tanah cadangan belum tertanam saat ini mencapai 116.500 hektare, yang akan memperkuat potensi pertumbuhan organik, sehingga kami masih melihat perseroan memiliki banyak ruang berekspansi,” ujar Herman.
Kondisi tersebut didukung potensi reklasifikasi lahan belum masak, yang bisa mendorong volume produksi tandan buah segar (fresh fruit bunch/ FFB) menjadi 1,61 juta ton pada 2012 atau naik 36% dari 2009.
Herman mendukung rencana manajemen Sampoerna Agro mengurangi proporsi lahan plasma karena biaya produksi plasma tiga kali lebih tinggi dari biaya produksi lahan inti. Lahan plasma sendiri mengontribusi sekitar 72% dari total biaya produksi.
Dia mencatat perseroan kini fokus menghemat biaya ke depan dan menyeimbangkan persentase lahan inti guna memperbaiki margin. “Kontribusi lahan plasma yang lebih rendah akan memperbaiki margin operasional secara bertahap menjadi 35% pada 2013, dari posisi 2009 sebesar 26%,” ujarnya.
Harga CPO
Credit Suisse menilai bisnis Sampoerna Agro sangat ditopang harga CPO. Mereka percaya saham SGRO di pasar masih menarik, berdasarkan prospek harga CPO yang menguat pada triwulan I/2010.
“Kami yakni pada posisi harga sekarang, Sampoena Agro menawarkan valuasi menarik. Saham berkode SGRO tersebut ditransaksikan pada PER 2010 sebesar 13,3 kali, mengimplikasikan PER 2010 terendah di antara emiten lain yang kami analisis,” ujar Teddy.
Di sisi teknis, AAA Securities menilai saham Sampoerna Agro layak dibeli dengan target harga Rp2.880 per saham, berdasarkan pertimbangan teknis mulai maraknya perdagangan saham berkode SGRO tersebut di pasar.
Herman optimistis saham tersebut masih menarik ditransaksikan, dan melihat peningkatan kesadaran investor atas saham tersebut sehingga volume transaksi pulih. Saham SGRO memang tidak selikuid AALI dan LSIP, karenanya kami masih melihat pasar masih mendiskon saham tersebut.
“Kami masih melihat SGRO memiliki potensi kenaikan karena harga sekarang tercatat lebih rendah dibandingkan dengan harga perdana sebesar Rp2.340 per saham,” ,” ujarnya.
Saham perseroan juga belum cukup mahal dibandingkan dengan perusahaan sejenis di industri. Padahal, perusahaan tersebut membukukan rekam jejak kuat dengan dukungan grup Sampoerna.
Dengan prospek demikian, akankah harga saham di pasar menguat seiring dengan perbaikan margin dari reposisi kebun plasma? Jawabannya tidak sederhana. Bagi beberapa orang, kemitraan kadang bukan persoalan kapitalisasi, namun lebih kepada nilai (value).
Apalagi, bisnis CPO sampai sekarang merupakan bisnis minyak nabati berbiaya produksi terefisien dan produksi panen tertinggi rata-rata 17 ton-20 ton FFB per hektare dibandingkan dengan minyak nabati lain.(arif.gunawan@bisnis.co.id)
Comments