Obligasi Bank Sulut
Di tengah gap likuiditas, PT Bank Sulut kembali menggali dana pasar modal melalui emisi surat utang (obligasi). Kuatnya pangsa pasar dinilai menjadi faktor penarik calon investor.
Hingga akhir September 2009, perusahaan tersebut mencatatkan pertumbuhan kredit 29% secara tahunan senilai Rp2 triliun. Bila dibandingkan dengan penyaluran kredit 2003 sebesar Rp426 miliar, angka tersebut menguat 4,9 kali dalam 6 tahun terakhir.
Namun di tengah lonjakan penyaluran kredit, perseroan milik Pemprov Sulawasi Utara yang tahun ini berencana melepas 40% kepemilikannya melalui penawaran saham perdana (initial public offering) itu itu dihadapkan pada ancaman gap likuiditas jangka pendek.
Analis PT Andalan Artha Advisindo (AAA) Securities Helmi Therik mencatat gap yang dipicu ketidaksesuaian struktur kewajiban dengan aktiva yang dimiliki itu mengakibatkan bank pelat merah lokal itu mengalami defisit Rp166 triliun dalam setahun.
Untuk tingkat jatuh tempo di atas 1 tahun, gap maturitas kembali surplus. “Penerbitan obligasi di satu sisi akan menyebabkan gap maturitas dalam jangka pendek berkurang akibat struktur jatuh tempo yang lebih panjang,” paparnya dalam laporan riset per Februari 2010.
Surat utang senilai total Rp500 miliar tersebut terbagi menjadi dua, yakni obligasi senior senilai Rp450 miliar dan obligasi subordinasi sebesar Rp50 miliar. Sebelumnya, perseroan telah tiga kali melepas obligasi senilai total Rp230 miliar.
Bisnis mencatat obligasi tersebut juga diterbitkan di tengah jatuh tempo obligasi perseroan pada September tahun ini, senilai Rp200 miliar.
Dari sisi permodalan, perseroan tidak membutuhkan suntikan dana mendesak mengingat rasio kecukupan modal mereka terpelihara pada kisaran 12%-17% dari 2003 hingga 2009. Level itu melampaui ketentuan Bank Indonesia (BI) yang mensyaratkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) minimum 8%.
Pertumbuhan modal bank tersebut didorong akumulasi laba ditahan menyusul pertumbuhan laba bersih yang terus meningkat dan penambahan modal disetor Pemda Sulut.
“Terjaganya setoran dana dari Pemda Sulut menunjukkan kuatnya dukungan pemegang saham terhadap keberlanjutan bank tersebut sebagai aset strategis mereka,” ujar Helmi.
//Pasar PNS//
AAA menilai Bank Sulut memiliki keunggulan menjaga kualitas aktiva produktif, mengingat besarnya porsi penyaluran kredit konsumsi kepada pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Saat ini, komposisi kredit dalam aktiva produktif mencapai 61%. Dominannya porsi kredit itu menyebabkan profitabilitas bank semakin kuat bila dibandingkan dengan penempatan pada instrumen keuangan lain.
“Terpeliharanya kualitas aktiva itu terkait dengan besanya porsi penyaluran kredit untuk PNS Pemda Sulut. Pembayaran kredit yang langsung dipotong gaji menyebabkan tingkat risiko kredit terkelola dengan baik,” papar Helmi.
Selama 5 tahun terakhir sejak 2003, lanjutnya, NPL Bank Sulut ditekan di bawah level 2% di tengah akselerasi pertumbuhan penyaluran kredit yang cukup agresif. Terakhir, NPL mereka berada di posisi 1,4% atau lebih rendah dari rata-rata NPL BPD sebesar 2,19%.
Sebagai BPD dengan pasar tetap (captive market) PNS, kemampuan bank Sulut mempertahankan pangsa pasar di wilayah Sulut terhitung kuat. Pangsa pasar dana pihak ketiga (DPK) mereka di seluruh provinsi Sulut mencapai 29%, dengan penyaluran kredit mencapai 19% dari pasar kredit yang ada.
Hingga September 2009, pertumbuhan kredit mencapai 29% secara tahunan atau sebesar Rp2 triliun. Bila dibandingkan dengan data penyaluran kredit 2003 yang baru Rp26 miliar, pertumbuhan kredit telah tumbuh sebanyak 4,9 kali dalam enam tahun terakhit.
“Pertumbuhan kredit itu dipicu pertumbuhan kapasitas penyerapan kredit konsumsi, modal kerja, maupun investasi. Hal ini terkait dengan pendapatan perkapita Sulut, khususnya PNS, yang terus tumbuh menjadi nasabah terbesar Bank Sulut,” komentar Helmi.
Perseroan, lanjutnya, terus menjaga posisi likuiditas guna memastikan kegiatan intermediasi bank berjalan normal. Sebesar 36% total aktiva ditempatkan ke Bank Indonesia dan bank lain untuk mengantisipasi permintaan dana jangka pendek.
Kuatnya kinerja Bank Sulut ditopang faktor fundamental yakni perkembangan ekonomi Sulawesi Utara yang tumbuh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada kuartal III/2009, laju pertumbuhan ekonomi berada pada level di atas 7% secara tahunan, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 4%. Konsumsi masyarakat menjadi penopang ekonomi dengan kenaikan 5,7%, di tengah kenaikan aktivitas ekspor 8%.
“Faktor yang memengaruhi naiknya konsumsi masyarakat adalah inflasi yang rendah, turunnya pengangguran, naiknya indeks upah dan nilai tukar pertani [NTP]. Kenaikan upah swasta dan pegawai negeri juga akan memelihara pertumbuhan konsumsi,” ujar Helmi.
Kenaikan konsumsi tersebut, lanjutnya, didukung penurunan pengangguran dari posisi 12,4% pada 2007 menjadi 10,6% dari total angkatan kerja. Membaiknya NTP juga menjadi variabel penting bagi Bank Sulut, mengingat sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 40% jumlah angkatan kerja kawasan tersebut.
“Fenomena usaha kecil menengah menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan sekaligus menjadi sumber penghasilan warga,” ujarnya. (arif.gunawan@bisnis.co.id)
Hingga akhir September 2009, perusahaan tersebut mencatatkan pertumbuhan kredit 29% secara tahunan senilai Rp2 triliun. Bila dibandingkan dengan penyaluran kredit 2003 sebesar Rp426 miliar, angka tersebut menguat 4,9 kali dalam 6 tahun terakhir.
Namun di tengah lonjakan penyaluran kredit, perseroan milik Pemprov Sulawasi Utara yang tahun ini berencana melepas 40% kepemilikannya melalui penawaran saham perdana (initial public offering) itu itu dihadapkan pada ancaman gap likuiditas jangka pendek.
Analis PT Andalan Artha Advisindo (AAA) Securities Helmi Therik mencatat gap yang dipicu ketidaksesuaian struktur kewajiban dengan aktiva yang dimiliki itu mengakibatkan bank pelat merah lokal itu mengalami defisit Rp166 triliun dalam setahun.
Untuk tingkat jatuh tempo di atas 1 tahun, gap maturitas kembali surplus. “Penerbitan obligasi di satu sisi akan menyebabkan gap maturitas dalam jangka pendek berkurang akibat struktur jatuh tempo yang lebih panjang,” paparnya dalam laporan riset per Februari 2010.
Surat utang senilai total Rp500 miliar tersebut terbagi menjadi dua, yakni obligasi senior senilai Rp450 miliar dan obligasi subordinasi sebesar Rp50 miliar. Sebelumnya, perseroan telah tiga kali melepas obligasi senilai total Rp230 miliar.
Bisnis mencatat obligasi tersebut juga diterbitkan di tengah jatuh tempo obligasi perseroan pada September tahun ini, senilai Rp200 miliar.
Dari sisi permodalan, perseroan tidak membutuhkan suntikan dana mendesak mengingat rasio kecukupan modal mereka terpelihara pada kisaran 12%-17% dari 2003 hingga 2009. Level itu melampaui ketentuan Bank Indonesia (BI) yang mensyaratkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) minimum 8%.
Pertumbuhan modal bank tersebut didorong akumulasi laba ditahan menyusul pertumbuhan laba bersih yang terus meningkat dan penambahan modal disetor Pemda Sulut.
“Terjaganya setoran dana dari Pemda Sulut menunjukkan kuatnya dukungan pemegang saham terhadap keberlanjutan bank tersebut sebagai aset strategis mereka,” ujar Helmi.
//Pasar PNS//
AAA menilai Bank Sulut memiliki keunggulan menjaga kualitas aktiva produktif, mengingat besarnya porsi penyaluran kredit konsumsi kepada pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Saat ini, komposisi kredit dalam aktiva produktif mencapai 61%. Dominannya porsi kredit itu menyebabkan profitabilitas bank semakin kuat bila dibandingkan dengan penempatan pada instrumen keuangan lain.
“Terpeliharanya kualitas aktiva itu terkait dengan besanya porsi penyaluran kredit untuk PNS Pemda Sulut. Pembayaran kredit yang langsung dipotong gaji menyebabkan tingkat risiko kredit terkelola dengan baik,” papar Helmi.
Selama 5 tahun terakhir sejak 2003, lanjutnya, NPL Bank Sulut ditekan di bawah level 2% di tengah akselerasi pertumbuhan penyaluran kredit yang cukup agresif. Terakhir, NPL mereka berada di posisi 1,4% atau lebih rendah dari rata-rata NPL BPD sebesar 2,19%.
Sebagai BPD dengan pasar tetap (captive market) PNS, kemampuan bank Sulut mempertahankan pangsa pasar di wilayah Sulut terhitung kuat. Pangsa pasar dana pihak ketiga (DPK) mereka di seluruh provinsi Sulut mencapai 29%, dengan penyaluran kredit mencapai 19% dari pasar kredit yang ada.
Hingga September 2009, pertumbuhan kredit mencapai 29% secara tahunan atau sebesar Rp2 triliun. Bila dibandingkan dengan data penyaluran kredit 2003 yang baru Rp26 miliar, pertumbuhan kredit telah tumbuh sebanyak 4,9 kali dalam enam tahun terakhit.
“Pertumbuhan kredit itu dipicu pertumbuhan kapasitas penyerapan kredit konsumsi, modal kerja, maupun investasi. Hal ini terkait dengan pendapatan perkapita Sulut, khususnya PNS, yang terus tumbuh menjadi nasabah terbesar Bank Sulut,” komentar Helmi.
Perseroan, lanjutnya, terus menjaga posisi likuiditas guna memastikan kegiatan intermediasi bank berjalan normal. Sebesar 36% total aktiva ditempatkan ke Bank Indonesia dan bank lain untuk mengantisipasi permintaan dana jangka pendek.
Kuatnya kinerja Bank Sulut ditopang faktor fundamental yakni perkembangan ekonomi Sulawesi Utara yang tumbuh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada kuartal III/2009, laju pertumbuhan ekonomi berada pada level di atas 7% secara tahunan, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 4%. Konsumsi masyarakat menjadi penopang ekonomi dengan kenaikan 5,7%, di tengah kenaikan aktivitas ekspor 8%.
“Faktor yang memengaruhi naiknya konsumsi masyarakat adalah inflasi yang rendah, turunnya pengangguran, naiknya indeks upah dan nilai tukar pertani [NTP]. Kenaikan upah swasta dan pegawai negeri juga akan memelihara pertumbuhan konsumsi,” ujar Helmi.
Kenaikan konsumsi tersebut, lanjutnya, didukung penurunan pengangguran dari posisi 12,4% pada 2007 menjadi 10,6% dari total angkatan kerja. Membaiknya NTP juga menjadi variabel penting bagi Bank Sulut, mengingat sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 40% jumlah angkatan kerja kawasan tersebut.
“Fenomena usaha kecil menengah menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan sekaligus menjadi sumber penghasilan warga,” ujarnya. (arif.gunawan@bisnis.co.id)
Comments