Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), Kok Masih Banyak yang Bandel?

Sudah setahun berlalu, kebijakan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) diterapkan pemerintah terhadap para eksportir. Namun, belum seluruh eksportir mematuhi aturan tersebut. Bahkan jumlah perusahaan pelanggar justru makin besar.



Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, per Senin (25/3), ada sebanyak 16 eksportir yang masih mendapatkan sanksi karena melanggar ketentuan penempatan DHE itu. Jumlah pelanggar itu bertambah dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya tujuh eksportir.

Evaluasi memang terus dilakukan pemerintah dengan semakin tingginya tingkat pelanggaran eksportir tersebut. Pemerintah bahkan telah merevisi aturan pengenaan sanksi denda, melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.73/2023.

Beleid itu menghapus sanksi denda sebesar 0,25%—0,5% dari nilai DHE yang belum ditempatkan di dalam negeri bagi eksportir nakal. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan sanksi berupa penghentian seluruh layanan ekspor bagi eksportir yang tidak patuh.

Sanksi terbaru itu sekilas memberatkan dunia usaha karena larangan ekspor berisiko menghentikan aktivitas bisnis di dalam negeri.

Namun di sisi lain penghapusan sanksi denda justru jadi angin segar bagi eksportir karena tidak menerima konsekuensi langsung yang menambah pengeluaran perusahaan.

Aturan DHE ini sejatinya memiliki tujuan yang sangat membantu perekonomian nasional. Dengan penempatan DHE di dalam negeri maka akan ada peningkatan likuiditas perbankan dari penempatan dana tersebut, penguatan nilai tukar rupiah, hingga aspek keadilan karena dana ekspor nasional tidak diparkir di luar negeri.

Namun, semua tujuan mulia itu akan sulit tercapai jika masih banyak perusahaan yang melanggar ketentuan DHE.

Memang, ada beberapa hal utama yang menjadi penghambat terbatasnya penempatan DHE SDA di dalam negeri. Para pelaku usaha masih mempersoalkan ketentuan ambang batas nilai ekspor serta bentuk insentif.

Kalangan pelaku usaha berharap pemerintah bisa menaikkan ambang batas setidaknya di kisaran US500.000—US$1 juta.

Selain itu, hingga saat ini pemerintah masih belum memberikan insentif yang konkret untuk eksportir di luar penempatan DHE pada instrumen deposito. Harapaknya ada insentif fiskal untuk mengimbangi insentif moneter yang diterima eksportir.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia telah memberikan insentif berupa pemberian bunga sebesar 5,51% untuk DHE yang nilainya di atas US$10 juta dengan jangka waktu 3 bulan.

Seraya menanti rencana perluasan insentif yang akan disusun dalam regulasi yang berbeda, ada baiknya pemerintah perlu lebih tegas dan memberikan sanksi berat agar eksportir tidak memarkir dananya di luar negeri ketika harga komoditas sumber daya alam melesat.

Sanksi yang tegas tentu memuat prinsip berkeadilan. Masih banyak eksportir baik dan patuh terhadap ketentuan DHE tersebut yang berhak mendapatkan keadilan perlakuan dari pemerintah.

Bahkan para eksportir yang baik dan patuh ini lebih nasionalis dan menaruh lebih lama dananya di perbankan dalam negeri.

Saat ini penempatan mayoritas pada term deposit valuta asing DHE telah bergeser dari tenor satu bulan ke tiga bulan. Artinya penempatan dana di dalam negeri cenderung lebih lama akan memudahkan upaya otoritas menstabilkan posisi cadangan devisa dan rupiah.

Kita berharap upaya yang konkret dari pemangku kebijakan dalam implementasi aturan DHE menjaga ketahanan dan kestabilan perekonomian nasional tak terkendala oleh ulah segelintir eksportir nakal yang justru kontra produktif.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi