Crazy Rich Pewaris Tahta Konglomerasi di Indonesia

Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.



Muda, kaya, dan punya wawasan ke depan. Kira-kira begitu tampilan dan gaya dari figur-figur yang kini mulai memegang sejumlah posisi strategis di banyak perusahaan konglomerasi.

Para figur pemimpin muda ini boleh jadi merupakan bukti nyata dari peralihan estafet kepemimpinan dari generasi pertama pendiri perusahaan, lalu diteruskan generasi kedua, dan kini perlahan dan pasti mulai dikendalikan generasi ketiga.

Konglomerasi di Indonesia biasanya dimulai dari bisnis keluarga. Apalagi, berdasarkan survei Pricewaterhouse Coopers (2014) sebanyak 95% bisnis di Indonesia dimiliki keluarga.

Ketika ukuran perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga ini semakin besar, persoalan mulai kompleks. Profesionalisme pun menjadi standar orang bekerja. Jika anggota keluarga dinilai kurang kompeten, pilihannya terpaksa merekrut para profesional.

Riset Family Business Consulting, Succession Planning (2009) menyebutkan suksesi itu tak mudah. Hanya 30% bisnis keluarga yang bertahan hingga generasi kedua. Hanya 12% yang sampai ke generasi ketiga, dan tinggal 3% yang selanjutnya dikendalikan oleh generasi keempat.

Tak jarang kita mendengar pepatah ‘generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, generasi ketiga menghancurkan’.

Namun, boleh jadi hasil proses suksesi konglomerasi di Indonesia mulai terlihat. Beberapa figure generasi ketiga mulai menjadi pengendali bisnis yang usahanya pun semakin menggurita ke banyak sektor ekonomi.

Para taipan muda ini mulai dikenal public. Axton Salim, Anderson Tanoto, John Riady, Jonathan Tahir Agus Salim Pangestu, Alvin Sariaatmadja, hingga Armand Wahyudi Hartono merupakan nama-nama yang kini sering muncul di media massa dan media sosial.

Menjadi terkenal, hanyalah konsekuensi logis dari tanggung jawab yang kini dipegang para CEO muda ini. Konglomerasi dengan banyak sayap bisnis membuat mereka harus memberikan perhatian dan fokus agar usaha yang didirikan kakek mereka terus berjaya.

John Riady misalnya, kini merupakan Presiden Komisaris PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO) dan Chief Executive Officer PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR). Dia merupakan anak dari James Riady, sekaligus cucu dari Mochtar Riady, pendiri Group Lippo. 

Sebagai generasi ketiga yang kini memimpin grup Lippo, John memiliki tanggung jawab untuk mengejawantahkan nilai-nilai yang diajarkan Mochtar Riady.

“Yang pertama, harus sesuatu yang baik, karena dari dulu kita menganut stewardship, amanah, dititipkan, usaha kita ini titipan, we are steward, untuk memastikan bisnis ini membawa berkah bagi lingkungan. Misi sosial menjadi core ke depan,” kata John

Tren masa kini yang juga menjadi visi John memimpin Grup Lippo adalah memperhatikan factor kesinambungan usaha (sustainability) dan factor Environmental, Social, and Governance (ESG).  “Konsepnya we doing well by doing good,” paparnya.

Lippo, ujar John, akan terus mengedepankan aspek sosial dan menciptakan nilai tambah bagi pelanggan maupun lingkungan. “Jadi bisnis kami harus membawa berkah, melayani masyarakat, mementingkan stakeholder.”

Properti dan kesehatan menjadi focus dari visi John. Di properti, bisnis rumah tapak, high rise hingga pusat perbelanjaan dan perkantoran mulai memperlihatkan hasil yang semakin stabil dengan strategi transformasi.

Di bidang Kesehatan, Lippo kini mengandalkan 40 rumah sakit Siloam di 23 kota. John serius menggarap ekosistem bisnis kesehatan dengan pengembangan rumah sakit Siloam, sekolah kedokteran Universitas Pelita Harapan, Akademi Keperawatan yang menerima 400 orang tiap tahun, serta kegiatan riset Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN).

Terlepas dari transformasi yang begitu menarik di bisnis kesehatan dan property, Grup Lippo juga perlahan dan pasti mengembangkan bisnis teknologi.  Kerja sama grup Lippo dengan GoTo, PingAn, dan perusahaan digital lainnya pun mulai intens.

Hampir mirip dengan John Riady, Jonathan Tahir pun memiliki salah satu fokus bisnis di bidang kesehatan.

Jonathan merupakan CEO sekaligus komisaris utama PT Mayapada Healthcare, perusahaan yang mengoperasikan Mayapada Hospital. Jonathan merupakan putra dari Dato’ Sri Tahir dan Rosy Riady (putri Mochtar Riady).

Dia juga menjabat sebagai komisaris di perusahaan induk Mayapada Healthcare, yaitu PT Sejahtera Anugerahjaya Tbk (SRAJ).

Selain sector kesehatan, Jonathan juga terjun di bisnis properti melalui MYP Ltd., perusahaan properti yang tercatat di Bursa Efek Singapura (SGX). MYP memiliki dua aset utama, yakni MYP Centre dan ABI Plaza.

Tak hanya itu, Jonathan juga memiliki 33,99% saham PT Maha Properti Indonesia Tbk (MPRO). Namun, dia tak terjun secara langsung dalam manajemen MPRO.

Properti, kesehatan dan teknologi digital juga menjadi fokus dari Alvin W. Sariaatmadja yang kini memegang kendali Grup Elang Mahkota Teknologi (Emtek).

Belum genap berusia 40 tahun, Alvin W. Sariaatmadja kini memimpin perusahaan terbuka yang memiliki nilai kapitalisasi pasar Rp121 triliun. Alvin menduduki kursi presiden direktur induk usaha Emtek sejak 2015.

Putra pendiri Grup Emtek Eddy Kusnadi Sariaatmadja ini ditunjuk menggantikan Sutanto Hartono yang saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur Utama emiten berkode saham EMTK itu.

Dalam 6 tahun terakhir, Alvin telah merasakan pengalaman bisnis yang membuatnya semakin matang menjadi CEO. Grup Emtek memulainya dengan transformasi digital.

EMTK pernah berinvestasi ke beberapa perusahaan, seperti Blackberry Messenger (BBM) maupun portal reservasi online yang ternyata memiliki kompleksitas sehingga tidak cocok dengan strategi perseroan.

Saat ini, Emtek lebih fokus menambah kolaborasi dan kemitraan seraya mengurangi duplikasi saat berinvestasi.

Dengan perubahan mindset serta transformasi digital besar-besaran saat pandemi Covid, Emtek mendapatkan momentum yang pas dengan kondisi pasar modal Tanah Air yang mulai menyambut emiten dari kalangan perusahaan teknologi.

Pada Agustus 2021, EMTK ikut memboyong PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) untuk listing di Bursa Efek Indonesia. Aksi go public BUKA menjadi yang terbesar sepanjang sejarah pasar modal Indonesia dengan raihan dana Rp21,9 triliun.

Bisnis kesehatan juga menjadi focus dari Alvin. Ambisi untuk memperbesar bisnis inti itu tecermin lewat aksi korporasi yang digencarkan perseroan dalam setahun terakhir.

Emiten rumah sakit milik Grup Emtek, PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. (SAME) baru saja berganti baju dari Omni Hospitals menjadi RS EMC sebagai konsekuensi pascaakuisisi dari PT Omni Health Care.

Selain itu, SAME juga mencaplok mayoritas saham PT Kedoya Adyaraya Tbk. (RSGK) yang mengelola RS Grha Kedoya.

Di bisnis teknologi dan konten, EMTK baru saja berkongsi dengan RANS Entertainment. Bahkan, EMTK bakal mengantongi 17 persen saham perusahaan milik pesohor Raffi Ahmad dan Nagita Slavina melalui salah satu cucu usaha yaitu PT Indonesia Entertainment Group (IEG) setelah menyetorkan modal hingga Rp248 miliar.

Yang terbaru, EMTK lewat PT Elang Media Visitama (EMV) mengakuisisi PT Bank Fama International. Bank itu digadang-gadang bakal bertransformasi menjadi bank digital.

EMTK juga belum lama ini melaksanakan share swap dengan Grab Indonesia dan menjalin kolaborasi sektor teknologi dengan Grup Salim.

Di Grup Salim pun ada nama Axton Salim. Saat ini, dia merupakan salah satu direktur di PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP). Axton adalah putra Anthony Salim dan cucu dari Sudono Salim, pendiri Group Salim.

Dengan posisi direktur, mudah ditebak bahwa Axton akan menggantikan sang ayah di dua perusahaan raksasa tersebut. Namun, prosesnya tidaklah instan begitu saja.

Axton pernah menimba ilmu ke Singapura untuk bekerja di Credit Suisse. Bahkan baru 2004 di bergabung dengan perusahaan keluarga dengan meniti karier sebagai marketing manager PT Indofood Fritolay Makmur.

Kini, Axton juga merupakan komisaris di PT Salim Ivomas Pratama Tbk., PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk., PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia, dan beberapa perusahaan milik Grup Salim lainnya.

Namun, bisnis digital juga menggoda Axton. Sejak 2017, Axton adalah inisiator untuk startup Block71, sebuah fasilitas inkubator dari kerja sama dengan National University of Singapore (NUS) Enterprise, yang menghubungkan pelaku startup Indonesia dan mancanegara.

Tak hanya itu, Axton juga masuk ke startup Popbox Asia Services di Singapura yang menyediakan jasa sewa loker serta layana pengiriman, penerima dan pengembalian barang.

Dari kiprah beberapa figure muda pemimpin grup konglomerasi tersebut, kita bisa melihat bahwa keberlanjutan usaha bisnis keluarga tak selamanya berakhir di generasi kedua ataupun generasi ketiga. Peluang dan prospek keberlanjutan bisnisnya sangat potensial untuk berkembang.

Apakah mereka akan terus bertahan sebagai Crazy Rich Indonesia? Apakah generasi ke-4 dan seterusnya masih akan menikmati konglomerasi tersebut? Kita lihat saja nanti.


(please visit https://bisnisindonesia.id/article/ekspresi-geliat-lincah-generasi-ketiga-konglomerat )

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi