Menanti Gerak Lincah BUMN

Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.

Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah melalui Kementerian BUMN terus berupaya memperbaiki performa dari badan usaha milik negara (BUMN). Transformasi berkelanjutan dilakukan agar BUMN selaku korporasi mampu mengambil peran optimal mendukung perekonomian nasional.

Transformasi yang dilakukan Kementerian yang dipimpin Erick Thohir tersebut antara lain mengembangkan, mengkonsolidasikan, mengalihkan pengelolaan, hingga membubarkan atau melakukan likuidasi BUMN.

Ada 41 perusahaan yang akan dikembangkan, 34 perusahaan yang dimerger, sebanyak 19 perusahaan dikelola dalam pengawasan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA.

Adapun 14 korporasi pelat merah akan dilikuidasi oleh PPA karena Kementerian BUMN tak memiliki wewenang langsung untuk membubarkan perusahaan BUMN.

Proses likuidasi tersebut boleh jadi adalah pilihan logis yang diharapkan akan membuat BUMN lebih ramping dan dapat lebih efektif. Kondisi ini juga sejalan dengan proses pembentukan subholding dan klasterisasi BUMN yang tengah gencar dilakukan Kementerian BUMN.

BUMN memang memiliki posisi unik karena perannya tidak hanya sebagai agen pembangunan dan pelayanan publik. BUMN juga dituntut untuk menjadi korporasi yang modern terkait dengan upaya menjaga kelangsungan usaha dan daya saing perusahaannya.

Sejauh ini, sebanyak 114 perusahaan pelat merah—data bumn.go.id—memperlihatkan pengelolaan manajemen korporasi yang membaik.
Aset BUMN menembus Rp8.000 triliun, dengan total pendapatan di atas Rp2.400 triliun. Begitu juga dengan raupan total laba melampaui Rp200 triliun.

Pada tahun 2020 ini, setoran dividen kepada negara masih menjadi salah satu indikator kinerja utama (key performance indicators/KPI) bagi perusahaan pelat merah, meskipun dibayangi pandemi Covid-19.

Sementara untuk 2021, setoran dividen BUMN ditetapkan sebesar Rp26,1 triliun. Target dividen itu diproyeksikan berasal dari BUMN perbankan sebesar Rp11,9 triliun dan dari BUMN non-perbankan sebesar Rp14,2 triliun

Tentu saja, di tengah situasi yang masih sulit ini, semua manajemen perusahaan BUMN menjaga target labanya masing-masing, daripada tercatat merugi dan akhirnya dipecat.

Sikut-sikutan pun menjadi hal biasa dalam praktik business to business. Keluhan Komisaris Utama Pertamina terhadap Peruri bisa dipahami sebagai wujud dari pola hubungan profesional antarkorporasi.

Memang menjalankan fungsi korporasi agar tidak merugi sekaligus sebagai agen pembangunan tidaklah mudah. Risiko itu cukup besar. Pergantian manajemen BUMN pun menjadi satu upaya melincahkan gerak ekspansi perusahaan.

Sejak akhir 2019 hingga kini, kita telah melihat hampir setiap bulan ada pergantian direksi dan komisaris BUMN.

Kompetensi saja tidak cukup untuk masuk dalam jajaran manajemen perusahaan pelat merah. Aspek integritas harus menjadi syarat utama dalam pemilihan direksi BUMN.

Visi tersebut tentulah sangat baik untuk didukung. Namun, kita juga tak ingin gerak BUMN yang akan semakin lincah dengan manajemen yang semakin ramping justru masih digelayuti beban anggaran staf-staf ahli direksi.

Karena itu, kita berharap perubahan di BUMN tak hanya soal pembenahan manajemen perusahaan. Prinsip tata kelola perusahaan yang baik harus menjadi hal utama yang benar-benar dilakukan BUMN sebagai korporasi modern.

Masih banyak pekerjaan rumah agar BUMN kita menjadi besar dan kuat.
Sinergi dengan sesama BUMN dan juga kerja sama dengan pelaku usaha swasta harus lebih optimal. 

Sekali lagi, kita berharap manajemen BUMN kreatif mengambil peluang dan kesempatan bisnis agar kiprahnya semakin lincah dan membawa ekonomi negeri ini dari keterpurukan.

(https://koran.bisnis.com/m/read/20201001/245/1298899/editorial-menanti-gerak-lincah-bumn)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi