Corona, Jaga Jarak, dan Satu Suara

Harus diakui, dalam tiga bulan terakhir ini, kepanikan di masyarakat tereskalasi begitu cepat. Kekhawatiran akan pandemi virus COVID-19 atau sering disebut virus corona begitu nyata. Cerita seram tak hanya di China, kini semua orang jadi takut.

Tak hanya di Jakarta dan daerah sekitarnya yang menjadi episenter, nyaris semua daerah di Tanah Air kini waspada. Di Sumatra hingga Papua, masyarakat menjadi khawatir. Pemerintah pusat dan provinsi pun kelabakan.

Sesuai anjuran WHO, pemerintah sejak Februari telah menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan social distancing atau mengurangi kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Skema social distancing ini penting untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Premisnya, semakin sedikit orang yang berinteraksi di tempat umum, semakin kecil pula ruang penyebaran virus tersebut.

Imbauan itu memang sangat baik dilakukan. Namun, abai diterapkan masyarakat. Ada beberapa penyebab, anjuran social distancing tak dipatuhi masyarakat.

Komunikasi dan sosialisasi yang belum optimal boleh jadi merupakan hal pertama yang menyebabkan ‘jaga jarak’ tak kunjung optimal diterapkan. Ketakutan nyata hanya terlihat di jejaring media sosial. Di jalanan Jabodetabek, masyarakat masih lalu lalang dengan santai.

Ketidaksiapan dan kurangnya koordinasi juga terlihat dari upaya pemerintah memutus rantai corona.

Di Jakarta, pemerintah provinsi DKI Jakarta membatasi waktu layanan transportasi umum yang melintas di wilayahnya. Pengumuman Pemprov DKI dilakukan pada akhir pekan dan banyak yang setuju. Sayangnya, inti pesan seakan tak sampai pada masyarakat umum.

Entah karena masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, atau memang desakan faktor ekonomi membuat masyarakat tetap melakukan kegiatan seperti biasa.

Senin pagi, pujian berubah jadi omelan. Antrean calon penumpang mengular. Gerbong KRL penuh sesak dengan orang-orang dari daerah penyangga Jakarta yang ingin berangkat bekerja di Ibu Kota.

Senin siang, kebijakan pembatasan layanan pun dianulir. Tak banyak yang berubah. Orang tetap berjubel di tempat umum. Anjuran #dirumahsaja hanya sekadar imbauan. Potensi risiko penyebaran virus Corona meningkat.

Di media sosial, bertebaran gambar antrean calon penumpang yang menumpuk. Bahkan, ada pula gambar penumpang kereta listrik yang berimpitan dan berdesakan di dalam gerbong yang sempit. Miris.

Sebenarnya tak bisa pula masyarakat yang terus berjubel di transportasi publik disalahkan. Mereka mengejar pemenuhan kewajiban sebagai pekerja, terutama pegawai swasta yang kantornya memang tak meliburkan karyawannya.

Pekerja penglaju yang memasuki Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi jelas tak punya banyak pilihan dari sisi ekonomi.

Mereka bagai barisan semut hitam yang berjalan menembus semua rintangan. Kondisi yang mirip dalam lagu God Bless berjudul Semut Hitam yang dirilis 1987.

“Satu semboyan di dalam tujuan, Cari makan lalu pulang…” Begitu syairnya.

Namun, bagai pepatah pula, ada gula ada semut. Dalam hal ini, ‘gula’ tersebut adalah pekerjaan dan tempat mereka mencari nafkah yang ada di Jakarta. Jika gula berserakan terbuka, semut pasti datang. Ada waktunya gula disimpan dalam toples agar semut tak berkerumun.

Tak lagi mendapatkan gula, kini, semut-semut hitam itu pulang kampung. Imported case dari Jakarta ke daerah meningkat. Semakin banyak pihak yang menyadari, dampak menakutkan dari virus itu sudah di depan hidungnya. Suara ketakutan kian melekat. Kematian begitu dekat.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 per 26 Maret 2020 memperlihatkan ada 103 kasus baru selang sehari. Total yang terkonfirmasi 893 kasus. Sebanyak 780 orang dalam perawatan, 35 sembuh dan 78 meninggal dunia.

Angka-angka tersebut jelas bukanlah sekadar statistika semata. Satu jiwa itu sudah terlalu banyak. Ketakutan angka tersebut akan bertambah, sangat mungkin terjadi.

Banyak perusahaan yang akhirnya ‘mengalah’. Skema work from home pun menjadi alternatif. Namun, penerapan mekanisme kerja dari rumah ini mau sampai kapan?

Tak semua perusahaan juga dapat melakukan work from home. Kapasitas produksi yang menurun pun membayangi perusahaan. Belum lagi, kekhawatiran potensi kerugian korporasi jika megapolitan Jabodetabek ini digembok.

Pemerintah pun sudah tegas menyatakan skema menggembok kota atau lockdown bukanlah opsi yang dipilih. Skema total lockdown memang hampir mustahil dilakukan di negara kita. Kultur dan perangkat sosial kita enggak cukup kokoh dan mudah diterabas.

China membutuhkan waktu lebih dari 2 bulan menggembok kota-kota episenter untuk bisa bernafas lega saat ini. Italia bisa dikatakan gagal mengisolasi penduduknya untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Jumlah orang meninggal karena Corona di Italia begitu menakutkan. Di Amerika Serikat? Sama saja. Jumlah korban jiwa melonjak eksponensial.

Di beberapa negara seperti Prancis, Filipina, Paraguay, hingga negara-negara Teluk termasuk Arab Saudi memilih penerapan ‘Jam Malam’. Mulai pukul sekian di sore hari hingga pagi, semua orang tak boleh berkeliaran. Efektif? Hanya waktu yang akan menjawab.

Pandemi Ekonomi

Suara ketakutan tak hanya bicara kesehatan dan nyawa. Banyak pihak yang sebenarnya optimistis wabah penyakit ini akan teratasi cepat atau lambat. Namun, kekhawatiran akan dampak negatif terhadap ekonomi begitu dalam.

Perusahaan juga menghadapi dilema. Wabah penyakit yang prolong, memakan waktu lama, sangat berpotensi menggerus pendapatan perusahaan. Jika tak beroperasi, korporasi menghadapi kerugian yang nilainya tak sedikit.

Bisa jadi, penguncian kota atau apapun skema pembatasan sosial akan membuat pebisnis merugi. Jangan bicara tunjangan hari raya 1,5 bulan lagi. Risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) pun terbayang. Ketakutan terbesar juga melanda pekerja sektor informal yang hanya bisa mengandalkan pendapatan sehari-hari. Tanpa mereka, ekonomi negeri ini bisa merosot.

Pemerintah menargetkan pada tahun ini ekonomi kita akan tumbuh di atas 5%. Jika mengacu kondisi sekarang, virus corona jelas akan menggerogoti target pertumbuhan tersebut. Bahkan, proyeksi terburuk, ekonomi kita tetap tumbuh, tetapi maksimal hanya 2,5%. Kondisi krisis yang mirip satu dekade silam.

Jika 2008-2009, krisis keuangan menimbulkan spill over ke krisis perekonomian dan keamanan masyarakat, kali ini pemicunya adalah sektor kesehatan.

Tak heran kalau sekarang, para pemimpin dunia yang tergabung dalam G-20 harus melakukan emergency meeting. Mereka harus bersepakat untuk menggabungkan kemampuan masing-masing negara untuk menangani pandemi corona.

Pemerintah kita jelas tak ingin semua ini memburuk. Ada dana senilai Rp158,2 triliun yang telah dan siap dikucurkan untuk menanggulangi dan menangani penyebaran virus corona.

Dana itu berasal dari Paket Stimulus I dan II, serta pelebaran defisit anggaran menjadi 2,5% atau meningkat 0,8% dari yang sebelumnya di APBN 2020 senilai Rp125 triliun.

Di Paket Stimulus I senilai Rp10,3 triliun yang diumumkan pemerintah pada 25 Februari 2020, ada delapan kebijakan yang diberikan yaitu tambahan manfaat kartu sembako, diskon liburan, insentif maskapai dan agen perjalanan, dan insentif bebas pajak hotel dan restoran

Selain itu ada juga kompensasi ke pemerintah daerah, dan tambahan subsidi bunga dan uang muka (DP) rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Jurus awal tersebut jelas tak mempan. Banyak orang yang mengkritik, kala wabah penyakit meyebar dari luar negeri, kok negeri kita justru membuka pintu lebar-lebar.

Di paket stimulus II yang diumumkan pada 13 Maret, upaya ini sudah lebih baik. Pemerintah memberikan keringanan pajak dan kebijakan kelancaran ekspor dan impor khususnya bagi produk-produk yang terdampak COVID-19. Anggaran yang disediakan mencapai Rp22,9 triliun.

Tak cukup itu saja, Presiden Joko Widodo bahkan menyerukan sembilan poin anjuran sebagai bantalan kepada masyarakat yang terkena dampak krisis. Pekerja informal mendapatkan banyak bantuan. Namun, mekanismenya harus diperjelas agar tepat sasaran.

Semua inisiatif pemerintah itu, bagi saya terutama, sangat penting untuk membangun confidence dan menciptakan optimisme di tengah situasi sulit.

Kini waktunya bagi kita, masyarakat umum, untuk sama-sama bertindak. Sikap nyinyir dan mengaitkan segala sesuatu dalam urusan politik tak akan membawa negeri kita ini selamat dari wabah penyakit.

Sudah saatnya kita satu suara untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama. Tak perlulah membuat sesuatu yang ‘wah’ dan sensasional.

Banyak cara yang sederhana untuk berkontribusi. Bahkan hanya dengan berdiam diri di rumah pun, kita sudah membantu pemerintah untuk melawan virus corona. Pilihan itu ada pada kita. Mari satu suara menciptakan optimisme melawan wabah corona.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi