Benarkah Indonesia Menuju Resesi Ekonomi?


Kondisi perekonomian global yang masih penuh dengan ketidakpastian membuat banyak pihak berpikir jangan-jangan situasi sudah memasuki era resesi. Pemikiran itu belum tentu benar, meskipun kondisi nyatanya belum seperti yang diharapkan.

Kegiatan berbisnis masih lesu. Begitu pula aktivitas manufaktur yang belum optimal diiringi sikap pelaku usaha yang menunggu, membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi di akhir tahun ini dan bahkan tahun depan tak tinggi-tinggi amat.

Bank Dunia, misalnya, turut memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun depan menjadi sekitar 3%. Dana Moneter Internasional pun memperkirakan ekonomi dunia pada tahun depan tumbuh di level 3,5%, sedikit di bawah proyeksi awal 3,6%.

Indonesia jelas tidak bisa dikatakan menghadapi resesi. Di sisi definisi, resesi bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi suatu negara tercatat minus lebih dari dua kuartal. Indonesia masih tumbuh di atas 5% dan yang terjadi lebih tepatnya adalah perlambatan ekonomi.

Meskipun demikian, di skala lebih kecil dari ekonomi makro, ancaman terhadap pelaku usaha di Tanah Air, terutama korporasi yang berekspansi dengan mengandalkan utang, tetaplah tinggi. Laporan lembaga pemeringkat utang internasional Moody's Investor Service bisa menaikkan kewaspadaan kita.

Dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tersebut, Moody's menyebutkan Indonesia merupakan bagian dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.

Moody's mengingatkan profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil. Sebanyak 40% utang korporasi di Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2.

Walau demikian rasio utang korporasi Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) dan terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) masih aman dan memiliki angka terendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Hal utama yang disorot Moody’s adalah situasi ekonomi global yang terus melemah akan berdampak pada permintaan akan hasil ekspor Indonesia juga akan berkurang. Kondisi tersebut akan menekan permintaan komoditas, di mana sektor tersebut merupakan salah satu debitur terbesar kredit korporasi di Indonesia.

Selain itu, kemampuan korporasi di Indonesia untuk membayar kembali utang berdenominasi valuta asing, ternyata banyak yang tidak diproteksi dengan lindung nilai. Saat ini, Moody’s mencatat utang valas memiliki porsi 18% dari total utang korporasi Indonesia.

Dampaknya, perbankan di Indonesia sudah harus menyiapkan strategi menghadapi risiko kredit bermasalah. Namun, Moody’s melihat posisi cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) perbankan Indonesia telah siap. Hanya saja, rasio utang bermasalah terhadap CKPN dan ekuitas bank juga cukup tinggi, yakni di kisaran 30%.

Tentu saja rentetan asumsi kejadian tersebut membuat lembaga seperti Moody’s mengkhawatirkan risiko utang korporasi Indonesia pada masa datang akan memburuk.

Namun, seperti berita di Harian ini pada edisi Jumat (4/10), Bank Dunia menilai adanya sejumlah penyangga yang telah disiapkan pemerintah membuat Indonesia siap untuk menghadapi kemungkinan terjadinya resesi global.

Indonesia memiliki cukup banyak penyangga untuk mendukung kebijakan makroekonomi. Pada sisi moneter, Bank Indonesia sudah memiliki cadangan dana yang cukup besar untuk mengantisipasi terjadinya krisis.

Sementara itu, prinsip defisit fiskal yang konservatif yang dianut Kementerian Keuangan memungkinkan pemerintah untuk kembali merilis kebijakan-kebijakan fiskal yang lebih optimal yang disesuaikan dengan perkembangan kondisi ekonomi global.

Tentu, harian ini sependapat dengan peringatan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa korporasi di Tanah Air harus berhati-hati dan menjaga kewaspadaan seraya menyesuaikan strategi berbisnisnya dalam menyikapi dinamika perekonomian.

Setidaknya 'alarm' dari laporan Moody's dan pesan kewaspadaan dari Menkeu tersebut bisa jadi katalis positif bagi para pelaku korporasi untuk menjalankan bisnisnya dengan strategi penyesuaian di tengah situasi global tidak menentu.



(tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia 7 Oktober 2019)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi