Skip to main content

Industri baja & safeguard setengah hati

Serbuan sejumlah produk baja impor dari luar negeri kian mengkhawatirkan. Anehnya, di tengah lonjakan barang impor yang makin menjadi-jadi itu, instrumen pengamanan pasar dalam negeri melalui safeguard yang terus didengung-dengungkan pemerintah sepertinya urung direalisasikan juga.

Setidaknya ada empat produk baja yakni kawat bindrat/kawat baja (HS 7217.10.10.00), tali kawat baja (HS 7312.10.10.00), dan kawat seng yang telah terbukti membanjiri pasar dalam negeri dan telah menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

Seyogyanya, jika banjir produk impor itu telah menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri, pemerintah seharusnya mengenakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atas produk impor tersebut untuk menekan semakin membanjirnya produk tersebut ke dalam negeri.

Namun, sejak petisi itu mengemuka oleh industri dalam negeri, hingga penyelidikan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang akhirnya menemukan adanya hubungan kausal antara lonjakan produk impor itu dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri, praktis tak ada upaya konkrit dari pemerintah untuk membendung produk impor itu.

Melihat rentetan proses penyelidikan tersebut, KPPI sebagai badan yang berwenang menerima aduan dan melakukan penyelidikan terhadap produk impor itu sebenarnya telah melakukan penyelidikan dalam rentang waktu yang cukup singkat.

Setelah menemukan cukup bukti, KPPI merekomendasikan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan atas sejumlah produk itu. Dari Kementerian Perdagangan, rekomendasi itu dituangkan dalam bentuk usulan pengenaan BMTP kepada Menteri Keuangan untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk PMK.

Sebagai contohnya, produk kawat bindrat. KPPI menerima permohonan dari Asosiasi Industri Paku dan Kawat Indonesia kluster kawat paku, paku, mur baut, serta kawat jenis wire mesh yang mewakili sepuluh perusahaan produsen kawat bindrat pada Desember 2009.

Berdasarkan data KPPI yang dihimpun dari pemohon, impor kawat bindrat selama 2006-2008 mengalami kenaikan drastis sebesar 531,4% dengan rata-rata tren pertumbuhan impor per tahunnya mencapai 151%. Pada 2006, nilai impor untuk produk tersebut tercatat sebesar 457 ton sementara pada 2008 melonjak hingga mencapai 2.888 ton.

Dari 10 perusahaan produsen kawat bindrat itu, empat perusahaan di antaranya bahkan telah menghentikan kegiatan produksi karena tak mampu bersaing dengan produk impor yang masuk.

Untuk jenis kawat ini, impor terbesar berasal dari China yang menguasai pangsa pasar impor hingga 90%. Negara lainnya yang juga mengimpor produk tersebut adalah Singapura dengan persentase pangsa impor 4%, disusul Korea Selatan 1%, Taiwan 2%, Inggris 1%, dan Thailand 1%.

Hasil penyelidikan KPPI kemudian merekomendasikan pengenaan BMTP atas importir kawal bindrat. Rekomendasi dari Kementerian Perdagangan telah dikirimkan kepada Menteri Keuangan pada 14 Juni 2010.

Kasus kedua adalah petisi untuk produk tali kawat baja yang diajukan oleh PT Wonosari Jaya atas nama industri dalam negeri tali kawat baja Indonesia.

Negara-negara pengimpor produk tersebut antara lain China, Singapura, Jerman, Jepang, Belgia, Amerika Serikat, dan Australia. Produk impor dari China menguasai pangsa pasar terbesar di antara produk impor negara lainnya dengan persentase mencapai 90,67%.

Dari data impor tali kawat baja di Tanah Air, terdapat tren kenaikan impor sebesar 162,9% dalam periode 2006-2008. Pada 2006, impor produk kawat tersebut hanya sebesar 1,1 juta ton. Volume impor tersebut mengalami kenaikan menjadi 2,1 juta ton pada 2007 dan pada 2008 melonjak hingga menjadi 7,32 juta ton. Untuk kasus ini, KPPI diketahui telah merekomendasikan pengenaan BMTP kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Perdagangan telah mengusulkan kepada Menteri Keuangan pada 14 Juni 2010.

Kasus lainnya adalah petisi safeguard terhadap dua produk yakni kawat bakar (annealling wire) dan kawat licin (galvanized iron wire) dari Ikatan Pabrik Kawat dan Paku Indonesia (Ippaki) yang mewakili industri dalam negeri terhadap dua.

Untuk kasus ini bahkan ditemukan praktik harga yang tidak sesuai oleh importir, di mana harga bahan jadi [nilai yang dibayarkan sebagai bea masuk] yang masuk ke Indonesia lebih rendah dibandingkan harga bahan bakunya, sehingga memicu permintaan terhadap barang impor.

Kendati kasus-kasus di atas telah direkomendasikan oleh KPPI untuk dikenakan BMTP, nyatanya Kementerian Keuangan belum juga mengetuk palu atas produk impor tersebut, sehingga jangankan melihat industri dalam negeri kembali bangkit, pemerintah sepertinya menggali lubang bagi kejatuhan bagi industri yang memproduksi produk sejenis.

Marketing Manager PT Wonosari Jaya Siangmin Ongkojoyo mengatakan pihaknya masih menunggu dan terus berharap pemerintah segera menetapkan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atas produk tali kawat baja.

Kapasitas produksi PT Wonosari Jaya saat ini, kata dia, hanya tinggal 8%. Pabrikan tersebut bahkan hanya menunggu job order sementara stok yang ada saat ini menumpuk di gudang dan tak bisa dipasarkan.

“Mau dipasarkan bagaimana? Produk kita kalah jauh sama China dari segi harga. Makanya kami sangat berharap pemerintah mempercepat pengenaan BMTP ini karena kalau tidak kinerja kami akan semakin parah,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ario Setiantoro, Ketua Umum Ikatan Pabrik Kawat dan Paku Indonesia (Ippaki). Menurut dia, penetapan BMTP atas produk paku sebelumnya sudah terbukti efektif menekan masuknya produk impor, sehingga produksi di dalam negeri pun berangsur-angsur membaik.

Pemerintah, kata dia, seharusnya berkaca kepada pengalaman ini dan tanpa ragu-ragu mengenakan BMTP atas produk kawat impor yang masuk ke Tanah Air. “Kami tidak melihat alasan kenapa masih ditunda karena pada dasarnya semua kementerian mendukung,” katanya.

Ario menegaskan kinerja industri kawat semakin drop. Produksi saat ini kurang dari 30%. Sementara itu, arus importir kian banyak dan semakin tak terkendali.

“Memang belum ada yang tutup [pabriknya] tapi produksinya sekarang tinggal 30%. Apa mesti ditunggu sampai pabriknya tutup?”

Selain produk baja, KPPI diketahui juga telah merekomendasikan pengenaan BMTP atas produk kain tenun dari kapas baik yang dikelantang atau tidak dikelantang. Data Kementerian Perdagangan yang bersumber dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengungkapkan selama periode 2007-2009, terjadi lonjakan impor yang sangat signifikan untuk masing-masing produk itu.

Entahlah, apa yang membuat pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan belum juga menetapkannya BMTP. Padahal industri dalam negeri sangat membutuhkan instrumen tersebut guna menekan kerugian yang lebih dalam.

Jangan sampai industri dalam negeri harus menerima kenyataan yang lebih pahit lagi, di mana setelah kapasitas produksi tergerus signifikan, pabrik pun terancam tutup. Sebuah pertanyaan besar pun terarah kepada pemerintah, di mana keberpihakan pemerintah terhadap industri domestik? Semoga tidak setengah hati…

(many thanks maria)

Comments

Popular posts from this blog

A Story of Puang Oca & Edi Sabara Mangga Barani

Mantan Wakapolri M. Jusuf Mangga Barani mengaku serius menekuni bisnis kuliner, setelah pensiun dari institusi kepolisian pada awal 2011 silam. Keseriusan itu ditunjukan dengan membuka rumah makan seafood Puang Oca pertama di Jakarta yang terletak di Jalan Gelora Senayan, Jakarta. "Saya ini kan hobi masak sebelum masuk kepolisian. Jadi ini menyalurkan hobi, sekaligus untuk silaturahmi dengan banyak orang. Kebetulan ini ada tempat strategis," katanya 7 Desember 2011. Rumah makan Puang Oca Jakarta ini merupakan cabang dari restoran serupa yang sudah dibuka di Surabaya. Manggabarani mengatakan pada prinsinya, sebagai orang Makassar, darah sebagai saudagar Bugis sangat kental, sehingga dia lebih memilih aktif di bisnis kuliner setelah purna tugas di kepolisian. Rumah makan Puang Oca ini menawarkan menu makanan laut khas Makassar, namun dengan cita rasa Indonesia. Menurut Manggabarani, kepiting, udang dan jenis ikan lainnya juga didatangkan langsung dari Makassar untuk menjamin ke...

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?” Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram. Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam.Umar Kei, 33 tahun, nama kondang Umar, tampak terkejut. Tapi hanya sedetik, setelah itu terbahak. Dia tertawa sampai ...

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Saya paling suka cerita dan film tentang thriller, mirip mobster, yakuza, mafia dll. Di Indonesia juga ada yang menarik rasa penasaran seperti laporan Tempo 15 November 2010 yang berjudul GENG REMAN VAN JAKARTA. >(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135105.id.html) TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. "Saya lari ke atas," kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. "Anak buah saya berkumpul di lantai tiga." Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semaran...