Sandwich Generation, Dana Pensiun, JHT & Investasi
Hari ini saya tersentak membaca twit dari salah satu akun: “Orang tua bukanlah dana darurat anda, anak-anak bukanlah dana pensiun anda. Teman Sahabat bukanlah pay later Anda.”
Kira-kira begitu pesan yang
ingin disampaikan agar kita menciptakan kekayaan sendiri dan independen secara
finansial.
Mampukah? Bisa iya, Bisa tidak.
Masih ingat dalam 3 minggu
terakhir sejak Februari hingga Maret 2022 ini, kebijakan Jaminan Hari Tua (JHT)
dalam layanan BP Jamsostek menjadi keributan nasional. Banyak yang menolak JHT
dicairkan ketika seseorang baru pension di usia 55/56.
Lupakan soal JHT. Dengan
segala macam alasan, pension merupakan hal yang menjadi momok jika tidak dipikirkan
secara matang.
Di Prancis, tiga tahun silam,
ada strike demo para pekerja yang terkait dengan masa pension. Mereka menolak masa
pension diperpanjang. Alasannya? Cape lah bro……
Beda ya dengan di Indonesia.
Di kita, bekerja adalah masa
sekarang. Hasilnya dinikmati pun masa sekarang. Yang nanti, biarlah nanti baru
dipikirkan.
Sejumlah teman saya bahkan pada
beberapa tahun lalu telah mencairkan sebagian dari dana JHT mereka. Alasannya
macem-macem. Saya cuma tersenyum, duit mereka ini.
Bagi para pekerja, terutama
generasi kelahiran ’70, ’80, dan ’90, inilah masa-masa mereka menikmati
kestabilan status, baik secara social maupun finansial.
Yang bujangan dan hidup di
Jakarta, kenikmatan duniawi harus dinikmati. Beli motor harus yang baru,
padahal gaji cuma 2 kali UMR. Naik gaji dikit, cicil mobil baru. Cicil rumah
sepetak dengan harga 500 juta-1 miliar.
Bagi yang telah berkeluarga,
cicilan merupakan jebakan seumur hidup. Kredit rumah bisa 15-20 tahun. Mobil pun
diangsur minimal Rp2,5 juta per bulan.
Bagi yang punya anak kecil
balita, mungkin belum terpikirkan. Biaya sekolah negeri masih terjangkau. Namun,
biaya sekolah swasta tidaklah murah. Uang masuk sudah puluhan juta, uang
bulanan di atas Rp1,5 juta. Masa harus ngutang lagi?
Pilihan paling rasional adalah
punya dana cadangan. Buat anak sekolah, buat orang tua dan mertua, dan buat
diri sendiri nanti jika tua. Belum lagi kebutuhan dana berobat jika sakit.
Jangan sampai apes pes pes…
Menurut data MISI (Manulife
investor Sentiment Index) ke-10, tabungan pendidikan merupakan prioritas utama
orang tua atau investor dalam mengelola keuangan.
Tabungan pendidikan bahkan
menempati porsi yang paling tinggi selain simpanan dana pensiun dan biaya
kesehatan.
Fakta yang menarik lainnya,
masyarakat rela berutang yakni sebesar 28% yang dialokasikan untuk pendidikan
anak sedangkan 34% lainnya untuk gaya hidup.
Sementara itu, data MISI
(Manulife investor Sentiment Index) ke-6 menunjukkan hanya 5,34% masyarakat
yang sudah memiliki program pensiun atau hanya sekitar 3,3 juta dari 120 juta
populasi penduduk di Indonesia yang telah memikirkan hari tua mereka.
Jumlah ini sangat kecil dan
berpeluang memicu timbulnya lebih banyak lagi fenomena Sandwich Generation.
Sandwich Generation adalah sebuah
kondisi, dimana anak-anak kita kelak harus tetap membantu membiayai orang tua
yang telah memasuki masa pensiun dan pada saat yang bersamaan juga harus
memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga mereka sendiri.
Sandwich Generation dialami
oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia karena berbagai faktor. Salah satu
yang utama adalah minimnya pengetahuan mengenai perencanaan keuangan serta
produk investasi yang tepat untuk masa depan sesuai kebutuhan.
Selain itu, sudah menjadi
tradisi dan hal yang biasa di Indonesia ketika seseorang membiayai keluarga dan
orang tua secara bersamaan. Kondisi ini terus berulang di masyarakat kita dan
seolah menjadi yang tidak putus-putus.
Rantai Sandwich Generation ini
harus diputus sekarang juga dengan kesadaran masyarakat untuk melek keuangan
dan belajar lebih banyak tentang perencanaan keuangan yang tepat sedini
mungkin.
Langkah berikutnya, mencari
informasi mengenai produk keuangan dan investasi yang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan.
Seperti kata orang asuransi…. Dan,
selalu ingat untuk menambahkan unsur proteksi dalam perencanaan keuangan kita
agar kita dapat hidup dengan tenang meraih impian dan aspirasi kita tanpa perlu
khawatir akan berbagai risiko kehidupan yang mungkin terjadi.
Jadi, bagi yang bekerja,
bekerja apa saja, mau usaha sendiri maupun jadi karyawan… ingatlah untuk selalu
menyiapkan dana cadangan dan dana hari tua.
Mengutip Riset IFG Progress, Potensi
Skala Dana Pensiun Publik Indonesia, yang dilansir 24 November 2021, pembiayaan
aging population akan menjadi masalah tersendiri bagi ekonomi negara kita dalam
20 tahun mendatang.
Bonus demografi di Indonesia
diperkirakan akan berakhir pada tahun 2038 dan di tahun 2045 struktur demografi
akan bergeser, di mana jumlah penduduk non-produktif (usia <15 tahun dan
>64 tahun) akan meningkat secara substantial.
Hal ini menunjukan beban
pembiayaan aging-population akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, dana pensiun
publik di Indonesia masih sangat rendah. Dana pensiun publik di bawah BPJS TK
hanya sekitar 2,73% dari PDB. Di Malaysia, angka tersebut sekitar 61,42% dari
PDB.
Secara keseluruhan, jika kita
tambahkan BPJS TK, Taspen, dan Asabri, dana pensiun publik Indonesia hanya
sekitar 4,79% dari PDB.
Selanjutnya, jika dana pensiun
pihak swasta juga dimasukkan, maka cakupan dana pensiun di Indonesia secara
keseluruhan mencapai 6,88% dari total PDB.
Sederhananya, para pekerja—yang
dana pensionnya sekarang tengah beralih dari manfaat pasti menjadi iuran pasti—harus
memikirkan cara agar generasi Sandwich ini tak dibebani dengan ledakan penduduk
non-produktif (usia <15 tahun dan >64 tahun).
Kata orang asuransi lagi nih,
biaya pendidikan anak haruslah dari tabungan/asuransi pendidikan.
Biaya kenikmatan hidup Anda haruslah
dari investasi (reksa dana, saham, dll).
Biaya hari tua haruslah dari
program dana pension (bisa dapen swasta, bisa BP Jamsostek).
Jika bisa diatur dengan baik, Anda
bisa merdeka secara finansial, tak perlu jadi crazy rich
Hidup yang pas-pasan. Pas mau
liburan, ada dana simpanan…
Healing kita… healing …
Comments