Minyak Goreng Langka, Siapa Diuntungkan?
Setiap kali melihat tayangan televisi tentang antrean pembelian minyak goreng, saya selalu gatal ingin berkomentar.
“Ngapain sih harus antre? Kalo
antre itu ya untuk beli beras, lauk dan makanan yang langsung dimakan. Ini beli
minyak goreng kan tetap harus beli bahan makanan lainnya.” Begitu komentar saya.
Asal-asalan cuma tetap pakai logika sih.
Minyak goreng dalam 3 bulan
terakhir ini seakan menjadi barang yang begitu popular di masyarakat. Langka
dan harganya mahal benar.
Bahkan, ada meme yang
menggambarkan pacaran kudu bawa minyak goreng untuk calon mertua. Ada suami
yang memberikan hadiah satu karton minyak goreng untuk istri yang berulang
tahun. Aneh, tapi itu nyata bro.
Ada yang katakana minyak goreng
langka karena produksi menurun selama pandemi Covid-19. Ada lagi yang bilang
pasokan diekspor besar-besaran ke luar negeri karena harganya lebih mahal dari
pada di jual di dalam negeri.
Pada 2021 harga eceran
tertinggi (HET) minyak goreng ditetapkan Kementerian Perdagangan di level
Rp11.000,- atau lebih rendah
dibandingkan dengan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO)
Apapun itu, faktanya barang
langka dan ada penimbunan. Di Serang-Banten, ada pasangan suami-istri yang
ditangkap polisi. Di Sumatra Utara Satgas Pangan Sumut menemukan
sekitar 1,1 juta kilogram (kg) atau 1.100 ton minyak goreng kemasan, tetapi
statusnya telah clear.
Lembaga riset Institute for
Demographic and Poverty Studies (Ideas) memperkirakan kerugian ekonomi yang
ditanggung masyarakat akibat krisis kenaikan harga minyak goreng mencapai
Rp3,38 triliun.
(https://ekonomi.bisnis.com/read/20220312/12/1509841/harga-minyak-goreng-mahal-kerugian-ekonomi-tembus-rp338-triliun)
Dalam riset kebijakan Ideas,
estimasi kerugian masyarakat diperoleh dengan menjadikan harga rata-rata minyak
goreng pada periode Januari—Maret 2021 sebagai harga acuan harga normal.
Akumulasi kerugian sendiri
berasal dari dua periode, yakni pada April—September 2021 sebesar Rp980 miliar
dan Oktober 2021—Januari 2022 sebesar Rp2,4 triliun.
Jika selama periode kelangkaan
minyak goreng setelah 19 Januari 2022 [setelah penetapan harga Rp14.000 per
liter] masyarakat mempertahankan konsumsi minyak goreng dengan membeli pada
harga yang lebih tinggi, maka kerugian masyarakat akan makin besar.
Konsumsi minyak goreng nasional sendiri diperkirakan mencapai 3,3 miliar liter pada 2021. Konsumsi per kapita per tahun mencapai 12,3 liter, sementara pengeluaran per tahun masyarakat untuk membeli minyak goreng diperkirakan mencapai Rp43 triliun atau Rp156.000 per kapita per tahun.
Pemerintah jelas dalam posisi
yang tidak enak. Salah bikin kebijakan, akan berabe.
Menteri Perdagangan Muhammad
Lutfi memutuskan untuk menaikkan kembali besaran domestic market obligation
atau DMO bahan baku minyak goreng dari 20% menjadi 30% mulai Kamis (10/3/2022).
Langkah itu diambil setelah
harga minyak goreng dalam negeri tetap tertahan tinggi kendati intervensi
pemerintah sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian
Perdagangan (Kemendag), total ekspor CPO dan turunannya sudah mencapai
2.771.294 ton selama 14 Februari hingga 8 Maret 2022. Sementara porsi DMO untuk
kebutuhan industri dalam negeri mencapai 573.890 ton.
Hingga kini telah diterbitkan
126 persetujuan ekspor kepada 54 eksportir setelah implementasi kebijakan DMO
itu sejak 14 Februari 2022. Alokasi DMO itu meliputi RDB Palm Olein sebanyak
463.886 ton dan CPO mencapai 110.004 ton.
Data Kemendag menyebutkan
minyak goreng curah dan kemasan hasil DMO itu sudah tersalurkan sebanyak
415.787 ke pasar hingga Selasa (8/3/2022).
Artinya, distribusi minyak
goreng murah hasil DMO itu sudah melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi satu
bulan yang mencapai 327.321 ton.
Di negeri tetangga, pemerintah
Malaysia telah mengalokasikan subsidi untuk 720.000 ton minyak goreng.
Perang Rusia-Ukraina adalah
salah satu faktor utama dalam lonjakan CPO menjadi RM8.000 per ton minggu lalu.
Dewan Minyak Sawit Malaysia
juga memperkirakan bahwa harga minyak nabati akan tetap di atas level RM5.000
per ton setidaknya untuk paruh pertama tahun 2022.
Di Indonesia, emiten-emiten produsen
produk sawit tentu saja akan terpengaruh dengan kebijakan DMO yang diterapkan
pemerintah.
Biar bagaimanapun kinerja
emiten-emiten CPO di kuartal pertama 2022 akan baik dibandingkan dengan tahun
sebelumnya karena melihat rata-rata harga CPO dalam tiga bulan terakhir di atas
RM5.000 per ton, sedangkan di 2021 lalu masih berada di level RM 3.000 hingga
RM5.000 per ton.
Harga CPO sempat menembus
level tertingginya yaitu RM 8.720 per ton. Ditambah lagi, harga minyak nabati
lain sebagai substitusi minyak sawit seperti rapeseed dan kedelai juga
mengalami kenaikan.
Perusahaan sawit seperti PT
Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) tentu
saja mendapatkan gurihnya harga minyak goreng.
Berdasarkan laporan keuangan
tahun 2021, AALI tercatat mencatatkan laba yang meroket sebesar 137 persen dan
LSIP naik sebanyak 42 persen.
Dengan semua itu, masih ada
keganjilan yang tersisa, masih banyak emak-emak yang kalap dengan pembelian
minyak goreng.
Ironis, masa negara dengan
produksi sawit terbesar di dunia, masyarakatnya harus antre beli minyak goreng?
Comments