Ulasan BTPN
Berupaya mengembangkan diri dari pasar pensiunan yang telah dikuasai, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk menggarap pasar UMKM dan gadai syariah. Efek ekspansi itu diekspektasikan memperkuat saham di pasar.
Sejak diakuisisi Texas Pacific Group (TPG) melalui TPG Nusantara, BTPN yang selama 50 tahun lebih hanya berkutat melayani pensiunan kini berupaya menggebrak pasar kredit usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) dan bisnis syariah.
Untuk menunjang bisnis UMKM, bank ini tak tanggung-tanggung merekrut 3.000 karyawan dan mengembangkan jaringan distribusi kreedit mikro menjadi 539 outlet. Per Desember 2009, kredit ke sektor tersebut nilainya mencapai Rp2,3 triliun.
Analis CIMB Group Suhendar Asoka dan Setyo Wijayanto mencatat BTPN memiliki keunggulan tersendiri, mengingat posisinya sebagai bank non-devisa beraset terbesar di Indonesia.
Per Desember 2009, total aktiva mereka mencapai Rp22,3 triliun, dengan total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp18,5 triliun dan total kredit Rp15,7 triliun. Angka itu setara dengan 39,96% dari total aktiva bank non devisa nasional, dan tertinggi di antara bank sejenis.
Sebagai perbandingan, bank sejenis lainnya seperti PT Bank Victoria Indonesia dan PT Bank Yudha Bakti memiliki total aktiva lebih rendah, yakni sekitar Rp6,2 triliun dan Rp2,1 triliun.
“Bank devisa lebih menarik dibandingkan dengan bank umum dalam hal rasionya. Bank non-devisa cenderung memiliki operasional lebih efektif karena jumlah aktivanya lebih kecil,” papar kedua analis tersebut dalam laporan riset per 9 April 2009.
Secara kumulatif, lanjutnya, NIM bank non-devisa mencapai 7,9% pada Desember 2009, dibandingkan dengan NIM bank umum nasional yang hanya 5,6%. NPL kotor bank nondevisa juga cukup menarik karena tercatat hanya 2,2% atau lebih rendah dibandingkan dengan bank umum sebesar 3,3%.
Terpisah, analis PT AAA Securities Henry Sulistyo Pranoto menilai pasar kredit mikro saat ini memang terlihat menarik, karena ketatnya kompetisi di sektor korporasi, komersial dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Tidak kurang, pemain bank terbesar nasional seperti PT Bank Mandiri Tbk mengumumkan kenaikan kanal kredit mikro mereka di 1.000 cabangnya. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga meluncurkan sistem layanan simpan pinjam Teras BRI.
“Menghadapi kompetisi ketat, BTPN telah menyiapkan produk bernilai tambah yang baru. Mereka tidak hanya menerapkan sistem baru tersebut, namun juga melatih para pelanggannya seputar manajemen keuangan,” paparnya dalam laporan riset per 15 Maret 2010.
Ekspansi di bisnis mikro dinilai akan memperkuat bisnis mereka, meski di bisnis tersebut mereka tidak menggunakan kolateral. Risiko portofolio kredit tersebut dinilai rendah karena rerata kredit per pelanggan hanya senilai Rp500.000 –Rp1 juta.
Bisnis gadai
Henry meniali ekspansi BTPN ke depan makin terbuka, terlihat dari upaya mereka menggarap bisnis syariah. Perseroan telah meluncurkan 20 unit bisnis gadai syariah tahun lalu, dan tahun ini berencana membangun 600 unit tambahan di kantor-kantor cabangnya.
“Setelah memasuki bisnis mikro tahun lalu dan bisnis gadai tahun ini, kami percaya ekspansi BTPN akan berlanjut. Bisnis keuangan konsumer dan kredit akan menjadi kunci ke depan,” ujarnya.
Perseroan, lanjutnya, menargetkan bisnis gadainya mendapatkan tempat di masyarakat seperti Perum Pegadaian. Perseroan telah meluncurkan merek kredit mikro baru mereka yakni Gadai Pro yang diyakini penting dalam bisnis gadai.
Berbekal optimisme dari ekspansi kedua bisnis tersebut, AAA Securities memilih mempertahankan BTPN dengan rekomendasi beli, pada target harga Rp8.400. Target itu mengimplikasikan 2,94 kali-2,27 kali PBV pada 2010-2011, dan 12,98-10,03 kali PER 2010-2011.
“Dengan pengembalian dari ekuitas sebesar 26%, pertumbuhan ke depan dan membaiknya kualitas aset dengan NPL sebesar 0,5%, BTPN seharusnya mendapat valuasi premium,” komentar Henry.
Suhendar Asoka dan Setyo Wijayanto mencatat kinerja positif BTPN terlihat dari fungsi intermediasi agresif mereka, dengan LDR sebesar 93% selama empat tahun terakhir. Meski LDR sempat turun menjadi 83% per September 2009 akibat pertumbuhan DPK, namun posisi itu masih di atas industri yang hanya73,5%.
Peluang di pasar mikro dinilai terbuka lebar, mengingat Indonesia memiliki sekitar 13.000 pasar tradisional dengan 2.500 di antaranya memiliki 300-400 toko. Jenis pasar inilah yang menjadi bidikan BTPN dengan program BTPN-Mitra Usaha Rakyat.
Kebijakan mendongkrak jumlah outletnya dari hanya 327 kantor pada 2007 menjadi 1.029 unit tahun lalu di seluruh Indonesia pun dilakukan untuk mengambil peluang itu. Konsekuensinya, biaya operasional pun meningkat dengan rasio pengembalian dari aset naik menjadi 3% pada September.
“Hal serupa terjadi pada ROE yang turun menjadi 22,4% dari posisi setahun sebelumnya yakni 28,4%. Namun demikian, rasio ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan bank devisa lainnya,” ujar kedua analis perusahaan asal Malaysia tersebut.
Di tengah ekspansi tersebut, tidak heran perseroan melepas obligasi senior senilai Rp750 miliar. Bagi bank, obligasi akan memperkuat neraca dan mengurangi ketidakcocokan periode jatuh tempo pinjaman (yang kebanyakan berjangka panjang) dengan pendanaan (yang sebagian besar berjangka pendek).
Sejak diakuisisi Texas Pacific Group (TPG) melalui TPG Nusantara, BTPN yang selama 50 tahun lebih hanya berkutat melayani pensiunan kini berupaya menggebrak pasar kredit usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) dan bisnis syariah.
Untuk menunjang bisnis UMKM, bank ini tak tanggung-tanggung merekrut 3.000 karyawan dan mengembangkan jaringan distribusi kreedit mikro menjadi 539 outlet. Per Desember 2009, kredit ke sektor tersebut nilainya mencapai Rp2,3 triliun.
Analis CIMB Group Suhendar Asoka dan Setyo Wijayanto mencatat BTPN memiliki keunggulan tersendiri, mengingat posisinya sebagai bank non-devisa beraset terbesar di Indonesia.
Per Desember 2009, total aktiva mereka mencapai Rp22,3 triliun, dengan total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp18,5 triliun dan total kredit Rp15,7 triliun. Angka itu setara dengan 39,96% dari total aktiva bank non devisa nasional, dan tertinggi di antara bank sejenis.
Sebagai perbandingan, bank sejenis lainnya seperti PT Bank Victoria Indonesia dan PT Bank Yudha Bakti memiliki total aktiva lebih rendah, yakni sekitar Rp6,2 triliun dan Rp2,1 triliun.
“Bank devisa lebih menarik dibandingkan dengan bank umum dalam hal rasionya. Bank non-devisa cenderung memiliki operasional lebih efektif karena jumlah aktivanya lebih kecil,” papar kedua analis tersebut dalam laporan riset per 9 April 2009.
Secara kumulatif, lanjutnya, NIM bank non-devisa mencapai 7,9% pada Desember 2009, dibandingkan dengan NIM bank umum nasional yang hanya 5,6%. NPL kotor bank nondevisa juga cukup menarik karena tercatat hanya 2,2% atau lebih rendah dibandingkan dengan bank umum sebesar 3,3%.
Terpisah, analis PT AAA Securities Henry Sulistyo Pranoto menilai pasar kredit mikro saat ini memang terlihat menarik, karena ketatnya kompetisi di sektor korporasi, komersial dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Tidak kurang, pemain bank terbesar nasional seperti PT Bank Mandiri Tbk mengumumkan kenaikan kanal kredit mikro mereka di 1.000 cabangnya. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga meluncurkan sistem layanan simpan pinjam Teras BRI.
“Menghadapi kompetisi ketat, BTPN telah menyiapkan produk bernilai tambah yang baru. Mereka tidak hanya menerapkan sistem baru tersebut, namun juga melatih para pelanggannya seputar manajemen keuangan,” paparnya dalam laporan riset per 15 Maret 2010.
Ekspansi di bisnis mikro dinilai akan memperkuat bisnis mereka, meski di bisnis tersebut mereka tidak menggunakan kolateral. Risiko portofolio kredit tersebut dinilai rendah karena rerata kredit per pelanggan hanya senilai Rp500.000 –Rp1 juta.
Bisnis gadai
Henry meniali ekspansi BTPN ke depan makin terbuka, terlihat dari upaya mereka menggarap bisnis syariah. Perseroan telah meluncurkan 20 unit bisnis gadai syariah tahun lalu, dan tahun ini berencana membangun 600 unit tambahan di kantor-kantor cabangnya.
“Setelah memasuki bisnis mikro tahun lalu dan bisnis gadai tahun ini, kami percaya ekspansi BTPN akan berlanjut. Bisnis keuangan konsumer dan kredit akan menjadi kunci ke depan,” ujarnya.
Perseroan, lanjutnya, menargetkan bisnis gadainya mendapatkan tempat di masyarakat seperti Perum Pegadaian. Perseroan telah meluncurkan merek kredit mikro baru mereka yakni Gadai Pro yang diyakini penting dalam bisnis gadai.
Berbekal optimisme dari ekspansi kedua bisnis tersebut, AAA Securities memilih mempertahankan BTPN dengan rekomendasi beli, pada target harga Rp8.400. Target itu mengimplikasikan 2,94 kali-2,27 kali PBV pada 2010-2011, dan 12,98-10,03 kali PER 2010-2011.
“Dengan pengembalian dari ekuitas sebesar 26%, pertumbuhan ke depan dan membaiknya kualitas aset dengan NPL sebesar 0,5%, BTPN seharusnya mendapat valuasi premium,” komentar Henry.
Suhendar Asoka dan Setyo Wijayanto mencatat kinerja positif BTPN terlihat dari fungsi intermediasi agresif mereka, dengan LDR sebesar 93% selama empat tahun terakhir. Meski LDR sempat turun menjadi 83% per September 2009 akibat pertumbuhan DPK, namun posisi itu masih di atas industri yang hanya73,5%.
Peluang di pasar mikro dinilai terbuka lebar, mengingat Indonesia memiliki sekitar 13.000 pasar tradisional dengan 2.500 di antaranya memiliki 300-400 toko. Jenis pasar inilah yang menjadi bidikan BTPN dengan program BTPN-Mitra Usaha Rakyat.
Kebijakan mendongkrak jumlah outletnya dari hanya 327 kantor pada 2007 menjadi 1.029 unit tahun lalu di seluruh Indonesia pun dilakukan untuk mengambil peluang itu. Konsekuensinya, biaya operasional pun meningkat dengan rasio pengembalian dari aset naik menjadi 3% pada September.
“Hal serupa terjadi pada ROE yang turun menjadi 22,4% dari posisi setahun sebelumnya yakni 28,4%. Namun demikian, rasio ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan bank devisa lainnya,” ujar kedua analis perusahaan asal Malaysia tersebut.
Di tengah ekspansi tersebut, tidak heran perseroan melepas obligasi senior senilai Rp750 miliar. Bagi bank, obligasi akan memperkuat neraca dan mengurangi ketidakcocokan periode jatuh tempo pinjaman (yang kebanyakan berjangka panjang) dengan pendanaan (yang sebagian besar berjangka pendek).
Comments