Proyek KA dan Kinerja PTBA
Belum terealisasinya pengerjaan proyek jalur kereta api Tanjung Enim-Lampung oleh PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) membuat investor bertanya-tanya.
Pertanyaan utama yang timbul adalah implikasi proyek senilai US$360 juta itu terhadap pergerakan harga sahamnya di bursa efek Indonesia dalam jangka pendek, berikut kaitannya dengan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.
Proyek yang direncanakan sejak tahun lalu itu baru mendapatkan teguran dari Kementrian BUMN. Pengerjaan yang belum mulai menjadi penyebab teguran itu. Manajemen pun beralasan pihaknya masih menunggu hasil revisi anggaran proyek tersebut.
Bahkan, Menneg BUMN Mustafa Abubakar menyarankan agar perseroan mengganti operator pembangunan jalur distribusi senilai US$4,8 miliar tersebut jika tidak ada janji yang dapat dipegang.
Akhir Maret, perseroan mengumumkan anak usahanya, PT Bukit Asam Transpacific Railway (BATR), telah menandatangani kontrak engineering, procurement and construction (EPC) dan operator and maintenance (OM) dengan China Railway Group Ltd.
BATR merupakan perusahaan patungan antara PTBA (10%), PT Transpacific Railway Infrastructure (80%) dan China Railway Engineering Corp (10%). PT Transpacific Railway Infrastructure sendiri dikuasai pengusaha nasional Prajogo Pangestu.
Analis JPMorgan Securities Indonesia Stevanus Juanda juga berharap banyak dari proyek itu. Dia menilai perseroan dapat mengambil alih komposisi kepemilikan saham mayoritas di proyek tersebut jika pemegang saham pengendali lama tidak mampu membiayainya.
“Dengan kondisi kas sebesar Rp4,71 triliun dan tanpa utang, kami setuju PTBA mampu membeli kepemilikan menjadi pemegang saham mayoritas di proyek kereta api itu, kalau dibutuhkan,” ujarnya dalam riset per 9 Maret itu.
Jumlah kas emiten merupakan hasil kinerja keuangan per tahun lalu yang dibukukan dengan angka penjualan sebesar Rp8,97 triliun dan laba bersih sebesar Rp2,72 triliun. Kedua neraca tersebut ternyata dinilai Stevanus masih di bawah konsensus pasar.
Salah satu penyebabnya adalah laba bersih perseroan pada triwulan terakhir sebesar Rp500 miliar yang anjlok sebesar 21,4% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, meskipun membukukan kenaikan sebesar 29,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia Christine Salim dalam risetnya yang dirilis 26 Maret justru mengkhawatirkan proyek itu dari sisi pembebasan lahan. “Tapi aturan baru pembebasan tanah yang akan diberlakukan diharapkan dapat memperlancar proyek itu,” katanya.
//Jangka pendek//
Kepala Riset PT BNI Securities Norico Gaman pun tak tenang dengan tersendatnya proyek itu. Dia bahkan memprediksi harga saham perseroan berpotensi terkoreksi dalam jangka pendek karena adanya sentimen negatif kelambanan eksekusi proyek tersebut.
Meski demikian, lambatnya pengerjaan proyek tersebut tidak akan berdampak pada kinerja perseroan. “Molornya proyek itu tidak akan mengganggu kinerja keuangan. Target proyeknya sendiri kan 2012. Jadi mereka masih punya waktu,” ujarnya ketika dihubungi semalam.
Bahkan, Norico optimistis proyek itu masih dapat berjalan. Kalaupun terlambat dari dealine, lanjutnya, hal itu hanya menunda peningkatan pendapatan perseroan. Namun, dia menilai jika mundurnya proyek itu berlangsung lebih dari setahun, kinerja keuangan dapat terpengaruh.
Dia berekspektasi jumlah penjualan batu bara perseroan dapat meningkat menjadi 18 juta ton dari posisi ekspektasi awal 16 juta ton dengan adanya jalur itu. Hal itu disebabkan jalur itu memungkinkan perseroan mempercepat pengiriman batu bara ke pelabuhan dan pengiriman.
Menurut Norico, pada tahun ini perseroan diprediksi mampu menghasilkan total penjualan senilai Rp12,32 triliun dan laba usaha Rp5,8 triliun, dari posisi laba bersih tahun lalu sebesar Rp3,55 triliun.
“Perhitungan itu menggunakan asumsi penghasilan batu bara sebesar 15 juta ton dan harga batu bara stabil di level US$80 per ton. Target harga hingga akhir tahun kami tetapkan pada Rp25.000,” katanya.
Norico juga mencermati, PTBA sebaiknya fokus pada tambang batu bara dan lebih baik mengakuisisi banyak tambang batu bara. Menurutnya, kegagalan diprediksi akan terjadi lagi seperti beberapa kejadian serupa sebelumnya, misalnya Newmont.
Menurut dia, fokus PTBA pada akuisisi tambang batu bara dan pembangunan infrastruktur pertambangan seperti jalur kereta api dapat membuat nilai penghasilan batu bara perseroan meningkat dan berpotensi menyumbangkan peningkatan deviden kepada investornya.
Norico masih memberi rekomendasi beli pada saham PTBA karena menilai harga saham perseroan dapat mencapai Rp25.000 pada akhir tahun, dengan memperhitungkan PER perusahaan yang masih murah di level 9,8 kali per akhir tahun lalu.
Lain halnya Stevanus. Dia memprediksi harga saham PTBA hanya mencapai Rp23.000, menurun dari target sebelumnya Rp24.200. Ekspektasi itu dipengaruhi dua risiko, perubahan harga batu bara yang tidak diperkirakan dan penundaan proyek kereta yang terlalu lama.
Pertanyaan utama yang timbul adalah implikasi proyek senilai US$360 juta itu terhadap pergerakan harga sahamnya di bursa efek Indonesia dalam jangka pendek, berikut kaitannya dengan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.
Proyek yang direncanakan sejak tahun lalu itu baru mendapatkan teguran dari Kementrian BUMN. Pengerjaan yang belum mulai menjadi penyebab teguran itu. Manajemen pun beralasan pihaknya masih menunggu hasil revisi anggaran proyek tersebut.
Bahkan, Menneg BUMN Mustafa Abubakar menyarankan agar perseroan mengganti operator pembangunan jalur distribusi senilai US$4,8 miliar tersebut jika tidak ada janji yang dapat dipegang.
Akhir Maret, perseroan mengumumkan anak usahanya, PT Bukit Asam Transpacific Railway (BATR), telah menandatangani kontrak engineering, procurement and construction (EPC) dan operator and maintenance (OM) dengan China Railway Group Ltd.
BATR merupakan perusahaan patungan antara PTBA (10%), PT Transpacific Railway Infrastructure (80%) dan China Railway Engineering Corp (10%). PT Transpacific Railway Infrastructure sendiri dikuasai pengusaha nasional Prajogo Pangestu.
Analis JPMorgan Securities Indonesia Stevanus Juanda juga berharap banyak dari proyek itu. Dia menilai perseroan dapat mengambil alih komposisi kepemilikan saham mayoritas di proyek tersebut jika pemegang saham pengendali lama tidak mampu membiayainya.
“Dengan kondisi kas sebesar Rp4,71 triliun dan tanpa utang, kami setuju PTBA mampu membeli kepemilikan menjadi pemegang saham mayoritas di proyek kereta api itu, kalau dibutuhkan,” ujarnya dalam riset per 9 Maret itu.
Jumlah kas emiten merupakan hasil kinerja keuangan per tahun lalu yang dibukukan dengan angka penjualan sebesar Rp8,97 triliun dan laba bersih sebesar Rp2,72 triliun. Kedua neraca tersebut ternyata dinilai Stevanus masih di bawah konsensus pasar.
Salah satu penyebabnya adalah laba bersih perseroan pada triwulan terakhir sebesar Rp500 miliar yang anjlok sebesar 21,4% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, meskipun membukukan kenaikan sebesar 29,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia Christine Salim dalam risetnya yang dirilis 26 Maret justru mengkhawatirkan proyek itu dari sisi pembebasan lahan. “Tapi aturan baru pembebasan tanah yang akan diberlakukan diharapkan dapat memperlancar proyek itu,” katanya.
//Jangka pendek//
Kepala Riset PT BNI Securities Norico Gaman pun tak tenang dengan tersendatnya proyek itu. Dia bahkan memprediksi harga saham perseroan berpotensi terkoreksi dalam jangka pendek karena adanya sentimen negatif kelambanan eksekusi proyek tersebut.
Meski demikian, lambatnya pengerjaan proyek tersebut tidak akan berdampak pada kinerja perseroan. “Molornya proyek itu tidak akan mengganggu kinerja keuangan. Target proyeknya sendiri kan 2012. Jadi mereka masih punya waktu,” ujarnya ketika dihubungi semalam.
Bahkan, Norico optimistis proyek itu masih dapat berjalan. Kalaupun terlambat dari dealine, lanjutnya, hal itu hanya menunda peningkatan pendapatan perseroan. Namun, dia menilai jika mundurnya proyek itu berlangsung lebih dari setahun, kinerja keuangan dapat terpengaruh.
Dia berekspektasi jumlah penjualan batu bara perseroan dapat meningkat menjadi 18 juta ton dari posisi ekspektasi awal 16 juta ton dengan adanya jalur itu. Hal itu disebabkan jalur itu memungkinkan perseroan mempercepat pengiriman batu bara ke pelabuhan dan pengiriman.
Menurut Norico, pada tahun ini perseroan diprediksi mampu menghasilkan total penjualan senilai Rp12,32 triliun dan laba usaha Rp5,8 triliun, dari posisi laba bersih tahun lalu sebesar Rp3,55 triliun.
“Perhitungan itu menggunakan asumsi penghasilan batu bara sebesar 15 juta ton dan harga batu bara stabil di level US$80 per ton. Target harga hingga akhir tahun kami tetapkan pada Rp25.000,” katanya.
Norico juga mencermati, PTBA sebaiknya fokus pada tambang batu bara dan lebih baik mengakuisisi banyak tambang batu bara. Menurutnya, kegagalan diprediksi akan terjadi lagi seperti beberapa kejadian serupa sebelumnya, misalnya Newmont.
Menurut dia, fokus PTBA pada akuisisi tambang batu bara dan pembangunan infrastruktur pertambangan seperti jalur kereta api dapat membuat nilai penghasilan batu bara perseroan meningkat dan berpotensi menyumbangkan peningkatan deviden kepada investornya.
Norico masih memberi rekomendasi beli pada saham PTBA karena menilai harga saham perseroan dapat mencapai Rp25.000 pada akhir tahun, dengan memperhitungkan PER perusahaan yang masih murah di level 9,8 kali per akhir tahun lalu.
Lain halnya Stevanus. Dia memprediksi harga saham PTBA hanya mencapai Rp23.000, menurun dari target sebelumnya Rp24.200. Ekspektasi itu dipengaruhi dua risiko, perubahan harga batu bara yang tidak diperkirakan dan penundaan proyek kereta yang terlalu lama.
Comments