Kok Tupai bisa jatuh?
Kecewa dan gusar, merupakan hal manusiawi yang dirasakan seseorang dengan prestasi mentereng.
Saya sendiri beberapa kali merasakan apa yang disebut dengan gagal. Kegusaran terbesar justru pada enam tahun lalu ketika lagi sidang tesis di pascasarjana UI, yang boleh dikatakan gagal tes pertama.
Kalau mengingat peristiwa itu, saya sangat gusar terhadap dua dari dosen penguji. Keduanya kebetulan sempat naik daun jadi anggota KPU 2004 bersama MWK yang terkena perkara korupsi.
Gagal dan harus mengulang lalu berhasil meraih gelar Master of Science membuat saya memberikan apresiasi terhadap Edwin Nasution (dosen pembimbing-sekarang menjadi ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) dan CPF Luhulima (pembaca ahli, peneliti senior CSIS). Dua orang ini turut menjadi motivator bagi kelangsungan tesis saya.
Kecewa dan Gusar di hati itu mungkin juga melanda perasaan Agus Martowardojo, tentu bukan karena sidang skripsi. Hasil rapat voting Komisi XI yang dikuatkan Rapat Paripurna DPR RI pada pertengahan Maret menolak Agus menjadi kandidat bos Bank Indonesia.
Dirut Bank Mandiri ini rasanya jarang mendapatkan kegagalan yang tak diinginkan. Profesional kelahiran Amsterdam, 24 Agustus 1956 ini telah berkarir hampir tiga dekade dalam industri perbankan yang dimulai di Bank of America dan Bank Niaga. Agus pernah menjadi Direktur Utama di Bank Bumiputera serta Bank Exim pada periode 1995-1998.
Sempat merasakan bimbingan Robby Djohan di Bank Mandiri hingga 2002, Agus masuk BPPN dan menjadi Dirut di Bank Permata. Akhirnya pada 16 Mei 2005, Agus menduduki kursi panas sebagai Dirut Bank Mandiri yang tengah disorot karena rasio kredit bermasalah yang di atas 20%.
Jabatan Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia dan Himbara serta eks mantan ketua umum Perbanas menjadi catatan karir serta kapabilitas dari lulusan Fakultas Ekonomi UI tahun 1984.
Masalah NPL di Bank Mandiri yang berhasil ditekan menjadi di bawah 4% menmbuat karirnya kinclong. Rumor pasar keuangan sempat melambungkan namanya menjadi kandidat Menneg BUMN menggantikan Sugiharto meskipun Presiden Yudhoyono akhirnya memilih Sofyan Djalil.
Sejak Oktober tahun lalu, gonjang-ganjing aliran dana BI kepada anggota DPR membunyikan alarm adanya kompetisi baru menuju tahta Gubernur BI. Dan memang pada 28 Januari tersiar kabar status tersangka Burhanuddin Abdullah seakan menjadi letusan pistol tanda kompetisi dimulai.
Agus dan Raden Pardede pun menjalani fit and proper test pada 10-11 Maret dan berakhir kandas di tangan jagoan Senayan. ABanyak kelakar dan lelucon yang tidak lucu soal Agus yang terganjal di Senayan.
Tapi apapun ceritanya, karir Agus Martowardojo tentu menjadi pertaruhan. Sebagai bankir, jabatan Dirut Bank Mandiri, bank beraset terbesar di Indonesia tentu bisa dikatakan sebagai puncak karir.Mungkin saja Agus akan memiliki horizon karir lebih baik asalkan menunggu hasil Pemilu 2009.
Tapi sebagai profesional, bangkut dari kegagalan merupakan prestasi yang memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar membersihkan pembukuan dari kredit bermasalah. Mari kita tunggu seperti apa karir si perfeksionis ini.
Saya sendiri beberapa kali merasakan apa yang disebut dengan gagal. Kegusaran terbesar justru pada enam tahun lalu ketika lagi sidang tesis di pascasarjana UI, yang boleh dikatakan gagal tes pertama.
Kalau mengingat peristiwa itu, saya sangat gusar terhadap dua dari dosen penguji. Keduanya kebetulan sempat naik daun jadi anggota KPU 2004 bersama MWK yang terkena perkara korupsi.
Gagal dan harus mengulang lalu berhasil meraih gelar Master of Science membuat saya memberikan apresiasi terhadap Edwin Nasution (dosen pembimbing-sekarang menjadi ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) dan CPF Luhulima (pembaca ahli, peneliti senior CSIS). Dua orang ini turut menjadi motivator bagi kelangsungan tesis saya.
Kecewa dan Gusar di hati itu mungkin juga melanda perasaan Agus Martowardojo, tentu bukan karena sidang skripsi. Hasil rapat voting Komisi XI yang dikuatkan Rapat Paripurna DPR RI pada pertengahan Maret menolak Agus menjadi kandidat bos Bank Indonesia.
Dirut Bank Mandiri ini rasanya jarang mendapatkan kegagalan yang tak diinginkan. Profesional kelahiran Amsterdam, 24 Agustus 1956 ini telah berkarir hampir tiga dekade dalam industri perbankan yang dimulai di Bank of America dan Bank Niaga. Agus pernah menjadi Direktur Utama di Bank Bumiputera serta Bank Exim pada periode 1995-1998.
Sempat merasakan bimbingan Robby Djohan di Bank Mandiri hingga 2002, Agus masuk BPPN dan menjadi Dirut di Bank Permata. Akhirnya pada 16 Mei 2005, Agus menduduki kursi panas sebagai Dirut Bank Mandiri yang tengah disorot karena rasio kredit bermasalah yang di atas 20%.
Jabatan Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia dan Himbara serta eks mantan ketua umum Perbanas menjadi catatan karir serta kapabilitas dari lulusan Fakultas Ekonomi UI tahun 1984.
Masalah NPL di Bank Mandiri yang berhasil ditekan menjadi di bawah 4% menmbuat karirnya kinclong. Rumor pasar keuangan sempat melambungkan namanya menjadi kandidat Menneg BUMN menggantikan Sugiharto meskipun Presiden Yudhoyono akhirnya memilih Sofyan Djalil.
Sejak Oktober tahun lalu, gonjang-ganjing aliran dana BI kepada anggota DPR membunyikan alarm adanya kompetisi baru menuju tahta Gubernur BI. Dan memang pada 28 Januari tersiar kabar status tersangka Burhanuddin Abdullah seakan menjadi letusan pistol tanda kompetisi dimulai.
Agus dan Raden Pardede pun menjalani fit and proper test pada 10-11 Maret dan berakhir kandas di tangan jagoan Senayan. ABanyak kelakar dan lelucon yang tidak lucu soal Agus yang terganjal di Senayan.
Tapi apapun ceritanya, karir Agus Martowardojo tentu menjadi pertaruhan. Sebagai bankir, jabatan Dirut Bank Mandiri, bank beraset terbesar di Indonesia tentu bisa dikatakan sebagai puncak karir.Mungkin saja Agus akan memiliki horizon karir lebih baik asalkan menunggu hasil Pemilu 2009.
Tapi sebagai profesional, bangkut dari kegagalan merupakan prestasi yang memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar membersihkan pembukuan dari kredit bermasalah. Mari kita tunggu seperti apa karir si perfeksionis ini.
Comments