Rekrut atau Bangkrut
Agen berlisensi, Rekrut atau Bangkrut!
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Awal tahun ini, dunia asuransi jiwa mulai diliputi kontroversi soal sertifikasi agen asuransi. Pro kontra terjadi seputaran lisensi agen apakah perlu yang berstatus sementara atau langsung berstatus penuh.
Pemicu kontroversi karena para perusahaan asuransi yang memiliki agen bersertifikat sementara, harus menghadapi tenggat April 2008 untuk mengubah statusnya menjadi agen berlisensi penuh.
Tak sedikit asuransi terutama yang baru memiliki jumlah agen minim kelabakan dengan tenggat tersebut. Keberatan disampaikan dan gayung pun bersambut dengan keputusan AAJI memundurkan pelaksanaan penghapusan lisensi sementara menjadi 2010.
Sebagai tahap awal lisensi sementara selama enam bulan hanya berlaku dari Januari 2008 hingga Desember 2008, sedangkan tahap kedua mulai Januari 2009 hingga Maret 2010 lisensi sementara hanya berlaku tiga bulan.
Lisensi sementara merupakan sertifikat bagi agen baru untuk dapat langsung memasarkan produk asuransi, berlaku enam bulan. Selain menjual produk, agen juga bersiap mengikuti ujian AAJI guna mendapatkan lisensi penuh.
Akan tetapi persoalan lisensi agen tak berhenti di situ? Suara tuntutan terus bergema terutama menyangkut transparansi dan gugatan urgensi proses ujian sertifikasi penuh bagi agen yang notabene menjadi beban perusahaan.
Liza Linda dan Reza Manggoes dari PT Asuransi Jiwa Recapital (Relife) mungkin menjadi dua nama yang termasuk keras menyuarakan tuntutan transparansi biaya ujian sertifikasi agen.
Liza yang merintis karir dari agen asuransi menjadi Dirut Relife mengatakan dirinya sangat mendukung adanya sertifikasi agen. Akan tetapi, kesesuaian biaya harus menjadi pertimbangan.
Bagi dia, biaya mengikuti ujian mendapatkan lisensi penuh yang dinaikkan dari Rp25.000 menjadi Rp350.000 per orang sangat tidak masuk akal. “Ini akan menghambat perekrutan agen. Masa’ orang harus menyetor dulu untuk menjadi agen, sudah syukur dia mau menjadi agen asuransi kenapa harus dipersulit,” ujar Liza.
Ucapan Liza cukup rasional. Profesi agen tak cukup besar menyerap tenaga kerja. Pada 2006, setidaknya 125.925 orang tercatat menjadi agen asuransi, atau hanya meningkat sekitar 10.000 orang dari dari tahun sebelumnya yang hanya 115.871 orang.
Per Juli 2007, total jumlah agen 150.000 orang yang bila dibandingkan dengan total populasi terhitung masih sangat rendah, rasionya 1 agen melayani hampir 1.500 orang. Di negara tetangga rata-rata setiap agen melayani 300-400 penduduk.
Idealnya, Indonesia, harus memiliki 500.000 orang agen profesional. Inilah yang ditargetkan AAJI yang diharapkan akan bisa tercapai pada 2010.
Sebegitu susahkah merekrut agen? Bukankah menjadi agen asuransi tidak memerlukan persyaratan yang sulit? Hanya memiliki ijazah SMA pun sudah bisa menjadi agen asuransi, asal memiliki kemauan untuk menjual serta mau mempelajari produk yang akan dijual. Syukur kalau memiliki jaringan yang luas sehingga akan menjadi nilai tambah.
Tidak juga demikian. Tengok gambaran yang diberikan Liza, “Bulan ini kami rekrut 10 orang, bulan depan sisa delapan, lalu bulan berikut sisa enam. Pada akhir bulan ke enam sudah sisa dua orang. Jadi kami harus rekrut terus atau bangkrut,” ujarnya.
Opsi terus melakukan rekrutmen merupakan pilihan bagi perusahaan asuransi berbasis kantor cabang yang mengelola agen sebagai sumber daya manusia yang signifikan. Bagi perusahaan dengan skema branch, agen mendapatkan pendapatan tetap selain komisi dan bonus.
Sementara itu, perusahaan dengan sistem keagenan tak memberikan fixed income dan memberikan komisi dan bonus yang besar untuk menjaga loyalitas agen asuransi. Kondisi itu berdampak pada membengkaknya proses underwriting dan beban disalurkan dalam biaya premi.
Biar bagaimanapun peran agen cukup penting bagi asuransi jiwa. Total pendapatan premi 41 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia sampai kuartal I/2007 mencapai Rp7,17 triliun, 83% diantaranya berasal dari asuransi jiwa perorangan.
Premi sebesar itu sebagian besar dihasilkan oleh para agen yang hanya menggarap asuransi untuk perorangan. Sayangnya, ada fakta agen berlisensi sementara yang berjumlah 120.000 orang yang bisa saja menjadi beban bagi perusahaan.
”Kalau saya mengira lebih baik angka ideal untuk biaya itu Rp100.000 per orang,” ujar Reza.
Beragam skema pun disampaikan agar agen tidak berguguran, utamanya terkait rencana kenaikan biaya lisensi agen yakni ditanggung 50%:50% antara agen dan perusahaan.
Ide itu mengacu pada landasan hukum bahwa agen merupakan seseorang atau badan hukum yang memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung (perusahaan asuransi).
Agen berbeda dengan pialang atau broker asuransi yang lebih berperan untuk kepentingan tertanggung (pemegang polis) seperti penanganan penyelesaian ganti rugi dengan perusahaan asuransi.
Direktur Eksekutif AAJI Eddy K.A Berutu mengatakan masukan dan keinginan dari pelaku industri akan dibahas bersama. Pada prinsipnya, pihak asosiasi berupaya mengakomodir kepentingan seluruh anggotanya.
Namun, banyak pula perusahaan asuransi yang tak keberatan dengan jumlah biaya tersebut. Country CEO AXA Indonesia Randy Lianggara melihat kenaikan biaya akan berdampak positif karena biaya itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas agen yang akibatnya juga akan dirasakan perusahaan.
“Itu bertujuan supaya tidak terjadi miss selling, jadi sangat positif karena dengan demikian persistensi jadi rendah otomatis lapse rate juga akan berkurang,” ujarnya.
Bagaimanapun juga lisensi penuh akan meningkatkan kualitas agen sekaligus mencegah pouching atau bajak-membajak agen di industri asuransi jiwa yang sangat merugikan perusahaan dan tertanggung.
Di luar kontroversi antarpelaku industri, pemerintah atau Depkeu selaku regulator tentu harus menyiapkan regulasi yang matang bagi keagenan. Jangan peraturan soal agen hanya satu-dua pasal saja dalam UU maupun Keputusan Menteri Keuangan.
Mari berharap perhatian pemangku kepentingan industri asuransi soal agen dapat mendorong pengembangan pelaku profesi ini untuk berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Awal tahun ini, dunia asuransi jiwa mulai diliputi kontroversi soal sertifikasi agen asuransi. Pro kontra terjadi seputaran lisensi agen apakah perlu yang berstatus sementara atau langsung berstatus penuh.
Pemicu kontroversi karena para perusahaan asuransi yang memiliki agen bersertifikat sementara, harus menghadapi tenggat April 2008 untuk mengubah statusnya menjadi agen berlisensi penuh.
Tak sedikit asuransi terutama yang baru memiliki jumlah agen minim kelabakan dengan tenggat tersebut. Keberatan disampaikan dan gayung pun bersambut dengan keputusan AAJI memundurkan pelaksanaan penghapusan lisensi sementara menjadi 2010.
Sebagai tahap awal lisensi sementara selama enam bulan hanya berlaku dari Januari 2008 hingga Desember 2008, sedangkan tahap kedua mulai Januari 2009 hingga Maret 2010 lisensi sementara hanya berlaku tiga bulan.
Lisensi sementara merupakan sertifikat bagi agen baru untuk dapat langsung memasarkan produk asuransi, berlaku enam bulan. Selain menjual produk, agen juga bersiap mengikuti ujian AAJI guna mendapatkan lisensi penuh.
Akan tetapi persoalan lisensi agen tak berhenti di situ? Suara tuntutan terus bergema terutama menyangkut transparansi dan gugatan urgensi proses ujian sertifikasi penuh bagi agen yang notabene menjadi beban perusahaan.
Liza Linda dan Reza Manggoes dari PT Asuransi Jiwa Recapital (Relife) mungkin menjadi dua nama yang termasuk keras menyuarakan tuntutan transparansi biaya ujian sertifikasi agen.
Liza yang merintis karir dari agen asuransi menjadi Dirut Relife mengatakan dirinya sangat mendukung adanya sertifikasi agen. Akan tetapi, kesesuaian biaya harus menjadi pertimbangan.
Bagi dia, biaya mengikuti ujian mendapatkan lisensi penuh yang dinaikkan dari Rp25.000 menjadi Rp350.000 per orang sangat tidak masuk akal. “Ini akan menghambat perekrutan agen. Masa’ orang harus menyetor dulu untuk menjadi agen, sudah syukur dia mau menjadi agen asuransi kenapa harus dipersulit,” ujar Liza.
Ucapan Liza cukup rasional. Profesi agen tak cukup besar menyerap tenaga kerja. Pada 2006, setidaknya 125.925 orang tercatat menjadi agen asuransi, atau hanya meningkat sekitar 10.000 orang dari dari tahun sebelumnya yang hanya 115.871 orang.
Per Juli 2007, total jumlah agen 150.000 orang yang bila dibandingkan dengan total populasi terhitung masih sangat rendah, rasionya 1 agen melayani hampir 1.500 orang. Di negara tetangga rata-rata setiap agen melayani 300-400 penduduk.
Idealnya, Indonesia, harus memiliki 500.000 orang agen profesional. Inilah yang ditargetkan AAJI yang diharapkan akan bisa tercapai pada 2010.
Sebegitu susahkah merekrut agen? Bukankah menjadi agen asuransi tidak memerlukan persyaratan yang sulit? Hanya memiliki ijazah SMA pun sudah bisa menjadi agen asuransi, asal memiliki kemauan untuk menjual serta mau mempelajari produk yang akan dijual. Syukur kalau memiliki jaringan yang luas sehingga akan menjadi nilai tambah.
Tidak juga demikian. Tengok gambaran yang diberikan Liza, “Bulan ini kami rekrut 10 orang, bulan depan sisa delapan, lalu bulan berikut sisa enam. Pada akhir bulan ke enam sudah sisa dua orang. Jadi kami harus rekrut terus atau bangkrut,” ujarnya.
Opsi terus melakukan rekrutmen merupakan pilihan bagi perusahaan asuransi berbasis kantor cabang yang mengelola agen sebagai sumber daya manusia yang signifikan. Bagi perusahaan dengan skema branch, agen mendapatkan pendapatan tetap selain komisi dan bonus.
Sementara itu, perusahaan dengan sistem keagenan tak memberikan fixed income dan memberikan komisi dan bonus yang besar untuk menjaga loyalitas agen asuransi. Kondisi itu berdampak pada membengkaknya proses underwriting dan beban disalurkan dalam biaya premi.
Biar bagaimanapun peran agen cukup penting bagi asuransi jiwa. Total pendapatan premi 41 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia sampai kuartal I/2007 mencapai Rp7,17 triliun, 83% diantaranya berasal dari asuransi jiwa perorangan.
Premi sebesar itu sebagian besar dihasilkan oleh para agen yang hanya menggarap asuransi untuk perorangan. Sayangnya, ada fakta agen berlisensi sementara yang berjumlah 120.000 orang yang bisa saja menjadi beban bagi perusahaan.
”Kalau saya mengira lebih baik angka ideal untuk biaya itu Rp100.000 per orang,” ujar Reza.
Beragam skema pun disampaikan agar agen tidak berguguran, utamanya terkait rencana kenaikan biaya lisensi agen yakni ditanggung 50%:50% antara agen dan perusahaan.
Ide itu mengacu pada landasan hukum bahwa agen merupakan seseorang atau badan hukum yang memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung (perusahaan asuransi).
Agen berbeda dengan pialang atau broker asuransi yang lebih berperan untuk kepentingan tertanggung (pemegang polis) seperti penanganan penyelesaian ganti rugi dengan perusahaan asuransi.
Direktur Eksekutif AAJI Eddy K.A Berutu mengatakan masukan dan keinginan dari pelaku industri akan dibahas bersama. Pada prinsipnya, pihak asosiasi berupaya mengakomodir kepentingan seluruh anggotanya.
Namun, banyak pula perusahaan asuransi yang tak keberatan dengan jumlah biaya tersebut. Country CEO AXA Indonesia Randy Lianggara melihat kenaikan biaya akan berdampak positif karena biaya itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas agen yang akibatnya juga akan dirasakan perusahaan.
“Itu bertujuan supaya tidak terjadi miss selling, jadi sangat positif karena dengan demikian persistensi jadi rendah otomatis lapse rate juga akan berkurang,” ujarnya.
Bagaimanapun juga lisensi penuh akan meningkatkan kualitas agen sekaligus mencegah pouching atau bajak-membajak agen di industri asuransi jiwa yang sangat merugikan perusahaan dan tertanggung.
Di luar kontroversi antarpelaku industri, pemerintah atau Depkeu selaku regulator tentu harus menyiapkan regulasi yang matang bagi keagenan. Jangan peraturan soal agen hanya satu-dua pasal saja dalam UU maupun Keputusan Menteri Keuangan.
Mari berharap perhatian pemangku kepentingan industri asuransi soal agen dapat mendorong pengembangan pelaku profesi ini untuk berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Comments