Mochtar Riady, Lippo, Disruptive dan Digital Era
Namanya selalu disebut-sebut banyak orang jika berbincang mengenai perkembangan industri perbankan di Tanah Air. Mochtar Riady (Hokkien: Li Moe Tie, pinyin: Li Wenzheng), bak Midas, semua bank yang dipimpinnya selalu mencetak kesuksesan.
Kini pria yang lahir di Kota Malang, 12 Mei 1929, masih menunjukkan energi yang besar jika berkisah mengenai industri perbankan. Bahkan sehari-haripun, sang taipan masih sibuk mengurus PT Bank Nationalnobu Tbk.
“Saya gak tahu apa-apa pokoknya jalan aja, tiba-tiba sampai, jadi gak ada apa-apa pokoknya sampai,” begitu pengakuannya ketika meluangkan waktu beraudiensi dengan kami di Karawaci-Tangerang, Selasa (18/4).
Mimpi Mochtar menjadi seorang bankir dimulai sejak ia berusia 10 tahun kala bersekolah di SD Nan Qiang di kota Malang. Setiap berangkat ke sekolah, dia selalu melewati gedung megah ala Eropa.
Dia penasaran dengan kegiatan di dalam gedung Nederlandsche Handels Bank (NHB) itu. Semua orang yang bekerja di dalamnya berpakaian rapi dan parlente, sibuk bekerja tetapi tak tampak barang dagangan.
Niat Mochtar kian kuat menjadi bankir, dengan membaca buku karya Zou Tao Fen yang berjudul Ping Zong Ji Yu, yang membahas seluk-beluk perbankan. Dia pun bertekad mencapai cita-citanya meski sang Ayah menasihatinya untuk realistis karena mendirikan bank membutuhkan modal besar.
Mochtar tetap bersikeras. Dalam buku otobiografi berjudul Manusia Ide, dia mencari motivasi dari cerita sukses Bong A Lok yang mendirikan Bank Great Eastern di Indonesia, dan tetangganya yang bernama Tan Tek Huat yang menjual bisnis sepedanya dan mendirikan Bank Benteng.
“Semua bank yang saya mulai itu pada kacau, awalnya semua kacau,” ungkap Mochtar.
Karier sebagai bankir dimulai pada 1959, ketika dia menjadi mitra Andi Gappa pemilik Bank Kemakmuran. Mochtar setuju meyetor US$200.000 dan menguasai 66% saham di bank yang beraset US$3 juta yang tengah menghadapi kendala pengelolaan.
Uniknya, di hari pertama sebagai presiden direktur bank, Mochtar terpaksa berpura-pura memahami dan menandatangani laporan keuangan meskipun dirinya tak paham sama sekali. Dia pun mempelajari akunting selama hampir setahun, termasuk belajar dari Gotama, kepala akunting Standard Chartered Bank.
Dalam waktu 16 bulan, Bank Kemakmuran dibuat Mochtar berkembang pesat. Namun, praktik ‘bank di dalam bank’ oleh oknum bank tersebut, membuat Mochtar kecewa dan mengundurkan diri dari Bank Kemakmuran.
Mengacu pada falsafah mengejar kuda dengan menunggang kuda, Mochtar lalu menggandeng sejumlah pebisnis etnis Tionghoa lainnya membentuk kemitraan untuk mengakuisisi Bank Buana pada 1963, yang juga lagi kesulitan manajemen.
Tangan dingin Mochtar menata bank teruji pada 1965. Di tengah kondisi ekonomi dan politik yang bergejolak dengan inflasi hingga 600% dan bunga deposito 20% per bulan, Mochtar justru menurunkan suku bunga deposito menjadi 12%.
Alih-alih kolaps, Bank Buana sukses meningkatkan dana deposito 100% hanya dalam 3 bulan, debitur lama bergegas melunasi kredit dan melanjutkan kredit baru dengan jaminan fisik yang cukup untuk menikmati bunga murah.
Dampaknya, kondisi Bank Buana sehat di tengah kondisi perbankan nasional yang bergejolak. Saat itu, hampir setiap hari ada satu-dua bank swasta yang bangkrut.
Pada 1966, Mochtar mengakuisisi Bank Kemakmuran dan bank Industri dan Dagang Indonesia (BIDI). Dia pun membuka bank baru di Surabaya, di bawah naungan BIDI. Tahun itu, Mochtar sudah menguasai empat bank.
Pada 1971, di era konsolidasi industri sesuai dengan permintaan Bank Indonesia dan Perbanas, Mochtar menjadi pelopor merger antarbank miliknya. Tiga bank sepakat melebur menjadi Pan Indonesia Bank, tetapi pemegang saham Bank Buana menolak bergabung.
Berstatus devisa dan kerja keras Mochtar, PaninBank menjelma menjadi bank swasta nasional terbesar dengan laba tertinggi hanya dalam satu tahun. Namun lagi-lagi praktik ‘bank di dalam bank’membuat Mochtar patang arang. Pada 1 Mei 1975, dia mengundurkan diri dari PaninBank.
Tak lama, taipan Sudono Salim (Liem Sioe Liong) menawari Mochtar untuk bergabung dengan salah satu bank miliknya, yaitu Bank Windu Kencana yang dipimpin Lim Sioe Kong, Bank Dewa Ruci yang dikelola Liem Ban Tiong, dam Bank Central Asia yang dalam keadaan kurang lancar.
Mochtar memilih BCA dan memiliki 17,5% saham dan pada Juni 1975, dia telah resmi memimpn rapat kerja para pemimpin BCA untuk program restrukturisasi organisasi dan pembaruan manajemen.
Pada 1977, Mochtar memimpin BCA mengakuisisi Bank Gemari yang dimiliki Tri Usaha Bhakti, yayasan milik Departemen Pertahanan. Akuisisi membuat BCA mendapatkan izin clearing house dan lisensi forex.
Bahkan, Mochtar membawa BCA sebagai bank pertama yang mengeluarkan kartu kredit di Tanah Air.
Pada 1983, Mochtar berkongsi dengan Hasyim Ning. Dia memegang 49% saham di Bank Perniagaan Indonesia (BPI). James Riady, anak Mochtar, menjadi pemimpin BPI yang kemudian mengakuisisi 50% Bank Bumi Bahari milik Yayasan Kesejahteraan Angkatan Laut RI.
Pada 1989, BPI dan Bank Umum Asia melakukan merger dan menjadi LippoBank. Mochtar mendapatkan ilham memakai kata Lippo sejak 1958. Kata Li sinonim denga Kekuatan atau Modal, sedangkan Po berarti Sumber, sehingga Lippo diartikan sebagai sumber kekuatan modal dan moral.
Pada 1991, Mochtar mundur dari BCA, dengan asset bank tersebut mencapai Rp7,5 triliun (US$3 miliar) atau ribuan kali lebih banyak dibandingkan dengan kala dia masuk sebesar Rp998 juta (US$1 juta).
Mochtar pun fokus menggarap LippoBank. Salah satu kisah pedih adalah ketika pada 1995, LippoBank diguncang rush karena gossip kegagalan pembayaran kontraktor di proyek Sentul dikait-kaitkan dengan kondisi keuangan bank.
Penarikan dana simpanan besar-besaran (rush) itu membuat LippoBank limbung. Atas prakarsa Bank Indonesia, Mochtar kemudian mendapatkan bantuan dari Liem Sioe Liong (BCA), Eka Widjaja (BII), Usman Admajaja (Danamon), Ramli (Bank Bali) dan Syamsul Nursalim (BDNI).
Mereka sepakat memberikan bantuan dana cadangan 3-5 hari.
Pada krisis keuangan 1998, LippoBank yang tak mengambil Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), tetap saja terkena imbas karena debiturnya kolaps terhempas devaluasi dan bunga kredit yang tinggi.
Pada 1999, kepemilikan saham mayoritas di LippoBank beralih ke pemerintah yang mengucurkan Rp6 triliun terkait dengan rekapitulasi aset bank bermasalah, dan berhask mengendalikan 59% saham bank.
LippoBank masuk dalam penanganan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian melakukan divestasi 52% saham kepada konsorsium Swissasia Global dengan nilai Rp1,25 triliun.
Pada rapat umum pemegang saham 4 Maret 2005, Mochtar secara resmi meninggalkan Lippo dan rehat dari dunia perbankan
Tak lama, Swissasia kemudian melepas kepemilikannya di Bank Lippo kepada Khazanah Berhard, Malaysia senilai $350 juta. Pada 3 Juni 2008, Bank Lippo merger dengan Bank Niaga menjadi PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Nyaris dua tahun lamanya, Mochtar menepi dari industri perbankan. “Seumur hidup ini saya masuk dalam Banking, hampir setiap 7 tahun ada musibah, baik itu politiknya, ekonominya, setiap tujuh tahun musti banknya yang kena,” paparnya.
Volatilitas yang tinggi membuatnya pun berpikir ulang. “Wah kalau sudah ada satu gejolak itu benar-benar gak bisa tidur, besok apa yang terjadi bisa di rush dan sangat bahaya, maka saya tidak mau lagi.”
“Jadi di situ saya pikir ini wah hidup ini gak tentram, jangan kasih ke anak apalagi cucu.”
Tak hanya Bank Lippo, dia melepas kepemilikan di Chen Xin Bank Makau, Chinese Bank Hong Kong, dan perusahaan keuangan di Filipina dan Amerika Serikat.
Namun naluri bankir tak mati. Pada 2010, Lippo Group mengakuisisi Bank Nobu yang sebelumnya bernama Bank Alfindo Sejahtera yang dimiliki pengusaha Alfi Gunawan, pemilik perusahaan air mineral bermerek Ades.
Mochtar berkisah, Hendro Setiawan— pendiri grup Pikko— yang telah membeli bank malah gagal fit and proper test di Bank Indonesia, dan meminta tolong untuk meminjam namanya sebagai pembeli bank itu.
“Saya pikir kalau pinjam nama saya ya gak masalah, eh ternyata saya juga dipanggil oleh BI untuk fit and proper test. Saya pikir ini karena required ya sudah [saya ikut].. eh tiba-tiba besoknya berita keluar Mochtar Riady kembali ke banking.”
Namun, satu hal yang membuat motivasinya kembali adalah ketika ada yang mempertanyakan kemampuannya selaku bankir.
“Ada orang yang menantang saya, Mochtar, you sudah hebat bisa membangun lima bank dari kecil jadi besar, apa you masih mampu membangun Nobubank ini? Saya pikir you sudah tua. Jadi saya ditantang ini maka saya pikir, kalau saya ditantang begini, saya harus menunjukkan saya akan bisa membangun lagi, jadi nobubank akan saya besarkan!”
Mochtar lalu membawa Bank NationalNobu melaksanakan IPO pada 20 Mei 2013, dengan melepas 52 % saham ke publik.
Baginya, Bank Nobu Fondasinya kini sudah memiliki fondasi yang sehat, meski memang secara ukuran belumlah sebesar bank yang pernah dipimpinnya.
“Kalau untuk melewati BCA saya kira itu tidak realistis, oleh karena sizenya saja sudah cukup besar dan susah ditandingi oleh satu bank yang baru mulai, tetapi adalah mengatakan bahwa saya akan menjadi salah satu bank yang besar, itu mungkin bisa.”
Kini, Mochtar pun ambisi lain untuk Bank Nobu. Sejak dikuasai Lippo, aset Bank Nobu meningkat dari Rp333,83 miliar pada 2011, menjadi Rp6,70 triliun pada 2015.
Laba bersih Bank Nobu juga melesat dari Rp1,92 miliar 2011 menjadi Rp18,21 miliar pada 2015. Bahkan, meneembus Rp30,2 miliar sepanjang 2016 lalu. Saat ini tercatat Bank NOBU masuk sebagai kelompk bank BUKU II dengan modal inti sebesar Rp1,2 triliun.
“Di sini saya dalam 3 tahun ini sudah membangun 110 kantor cabang, secara diam-diam dan semua izin operasional sudah oke, termasuk e-payment, dan sudah menjadi bank devisa, dan sekarang sudah go public, jadi ini sudah complete. Sekarang memikirkan bagaimana take-off-nya,”ujarnya.
Pengalaman puluhan tahun di bidang perbankan membuat Mochtar menyadari keunggulan kompetitif bagi suatu bank saat ini adalah dengan persaingan menggunakan kecanggihan teknologi dan sistem informasi. Layanan e-payment mungkin hanya satu contoh bagaimana Bank Nobu berkembang.
Tak hanya bank Nobu, semua kelompok usaha Lippo harus memiliki keunggulan di bidang teknologi informasi.
”Apabila kita berbicara tentang globalisasi kita sebenarnya didorong ke suatu era yang lebih jauh lagi, yaitu era globalisasi ditambah liberalisasi tanpa batas negara. Semua itu terjadi karena dua faktor, yaitu revolusi teknologi informasi dan revolusi mata uang,” kata Mochtar yang sehari-hari menggunakan sendiri ponsel cerdas premium.
Karena itu, dunia sekarang, bagi seorang Mochtar, adalah era digital. Semua perusahaan harus mulai beradaptasi dengan teknologi yang kian canggih.
Dia mencontohkan bagaimana Jepang yang terkenal dengan teknologi malah terlihat ketinggalan zaman dibandingkan dengan perkembangan digital yang terjadi di China. Di Negeri Tirai Bambu, layanan e-commerce, e-business, e-payment sudah menjadi hal yang biasa.
Di Indonesia, Mochtar bercerita bagaimana dia melihat industry tekstil bukanlah sunset industry seperti yang dikatakan orang. “Pasti semua orang tidak pernah berpikir suatu hari tidak berpakaian, maka textile industry itu never going to be sunset industry, but your company definitely going to be sunset kalau you tidak mau mengikuti semua teknologi.”
Ada lagi cerita bagaimana Mochtar begitu kagum dengan Purnomo Prawiro, pendiri Blue Bird—perusahaan taksi. “Saya atur satu sopir saja gak beres, dia bisa atur puluhan ribu tertib semua.. you bayangkan ini orang luar biasa, kita harus belajar sama dia, saya terus puji-puji dia. Eh siapa tahu hanya beberapa bulan, dengan kehadiran Gojek, Grab, Uber, dia langsung goncang, you lihat dahsyatnya itu IT.”
Karena itu, Mochtar dalam beberapa tahun terakhir, lebih serius membahas soal digital.
“Saya sudah lima tahun sudah memikirkan semua hal ini. Apa yang harus kita lakukan. Misalnya Matahari [Department Store]. Kalau saya bilang di China itu, mal-nya gak ada toko tapi semua ada entertainment, restoran, tempat bermain anak, tapi gak ada toko jual barang.. semua melalui online.”
Dia mengungkapkan keberadaan Mataharimall.com pun mendapatkan tantangan dari Alibaba yang telah membeli Lazada. Dia memberikan motivasi jitu kepada para karyawannya. Baginya Matahari masih unggul dari sisi pasokan barang dan distribusi di Tanah Air.
“Kalau you mau mengikuti yang dia cari, konklusinya adalah Alibaba kalau datang ke Indonesia itu .. is nothing, and we are something!”
Di bidang solusi layanan finansial, Mochtar mengungkapkan PT Visionet Internasional salah satu anak perusahaan Lippo pun harus mencari strategi bisnis baru setelah produk electronic data captured-nya harus berkompetisi dengan jasa financial technology.
Bagi Mochtar yang akan berusia 88 tahun ini, pengembangan bisnis bersumber pada informasi teknologi akan menjadi modal tersendiri bagi eksistensi konglomerasi yang dibangunnya puluhan tahun. Setidaknya, Mochtar berharap keluarga Riady bisa berjaya seperti keluarga Medici dan Rothschild, yang selalu disebut-sebut orang.
Kini pria yang lahir di Kota Malang, 12 Mei 1929, masih menunjukkan energi yang besar jika berkisah mengenai industri perbankan. Bahkan sehari-haripun, sang taipan masih sibuk mengurus PT Bank Nationalnobu Tbk.
“Saya gak tahu apa-apa pokoknya jalan aja, tiba-tiba sampai, jadi gak ada apa-apa pokoknya sampai,” begitu pengakuannya ketika meluangkan waktu beraudiensi dengan kami di Karawaci-Tangerang, Selasa (18/4).
Mimpi Mochtar menjadi seorang bankir dimulai sejak ia berusia 10 tahun kala bersekolah di SD Nan Qiang di kota Malang. Setiap berangkat ke sekolah, dia selalu melewati gedung megah ala Eropa.
Dia penasaran dengan kegiatan di dalam gedung Nederlandsche Handels Bank (NHB) itu. Semua orang yang bekerja di dalamnya berpakaian rapi dan parlente, sibuk bekerja tetapi tak tampak barang dagangan.
Niat Mochtar kian kuat menjadi bankir, dengan membaca buku karya Zou Tao Fen yang berjudul Ping Zong Ji Yu, yang membahas seluk-beluk perbankan. Dia pun bertekad mencapai cita-citanya meski sang Ayah menasihatinya untuk realistis karena mendirikan bank membutuhkan modal besar.
Mochtar tetap bersikeras. Dalam buku otobiografi berjudul Manusia Ide, dia mencari motivasi dari cerita sukses Bong A Lok yang mendirikan Bank Great Eastern di Indonesia, dan tetangganya yang bernama Tan Tek Huat yang menjual bisnis sepedanya dan mendirikan Bank Benteng.
“Semua bank yang saya mulai itu pada kacau, awalnya semua kacau,” ungkap Mochtar.
Karier sebagai bankir dimulai pada 1959, ketika dia menjadi mitra Andi Gappa pemilik Bank Kemakmuran. Mochtar setuju meyetor US$200.000 dan menguasai 66% saham di bank yang beraset US$3 juta yang tengah menghadapi kendala pengelolaan.
Uniknya, di hari pertama sebagai presiden direktur bank, Mochtar terpaksa berpura-pura memahami dan menandatangani laporan keuangan meskipun dirinya tak paham sama sekali. Dia pun mempelajari akunting selama hampir setahun, termasuk belajar dari Gotama, kepala akunting Standard Chartered Bank.
Dalam waktu 16 bulan, Bank Kemakmuran dibuat Mochtar berkembang pesat. Namun, praktik ‘bank di dalam bank’ oleh oknum bank tersebut, membuat Mochtar kecewa dan mengundurkan diri dari Bank Kemakmuran.
Mengacu pada falsafah mengejar kuda dengan menunggang kuda, Mochtar lalu menggandeng sejumlah pebisnis etnis Tionghoa lainnya membentuk kemitraan untuk mengakuisisi Bank Buana pada 1963, yang juga lagi kesulitan manajemen.
Tangan dingin Mochtar menata bank teruji pada 1965. Di tengah kondisi ekonomi dan politik yang bergejolak dengan inflasi hingga 600% dan bunga deposito 20% per bulan, Mochtar justru menurunkan suku bunga deposito menjadi 12%.
Alih-alih kolaps, Bank Buana sukses meningkatkan dana deposito 100% hanya dalam 3 bulan, debitur lama bergegas melunasi kredit dan melanjutkan kredit baru dengan jaminan fisik yang cukup untuk menikmati bunga murah.
Dampaknya, kondisi Bank Buana sehat di tengah kondisi perbankan nasional yang bergejolak. Saat itu, hampir setiap hari ada satu-dua bank swasta yang bangkrut.
Pada 1966, Mochtar mengakuisisi Bank Kemakmuran dan bank Industri dan Dagang Indonesia (BIDI). Dia pun membuka bank baru di Surabaya, di bawah naungan BIDI. Tahun itu, Mochtar sudah menguasai empat bank.
Pada 1971, di era konsolidasi industri sesuai dengan permintaan Bank Indonesia dan Perbanas, Mochtar menjadi pelopor merger antarbank miliknya. Tiga bank sepakat melebur menjadi Pan Indonesia Bank, tetapi pemegang saham Bank Buana menolak bergabung.
Berstatus devisa dan kerja keras Mochtar, PaninBank menjelma menjadi bank swasta nasional terbesar dengan laba tertinggi hanya dalam satu tahun. Namun lagi-lagi praktik ‘bank di dalam bank’membuat Mochtar patang arang. Pada 1 Mei 1975, dia mengundurkan diri dari PaninBank.
Tak lama, taipan Sudono Salim (Liem Sioe Liong) menawari Mochtar untuk bergabung dengan salah satu bank miliknya, yaitu Bank Windu Kencana yang dipimpin Lim Sioe Kong, Bank Dewa Ruci yang dikelola Liem Ban Tiong, dam Bank Central Asia yang dalam keadaan kurang lancar.
Mochtar memilih BCA dan memiliki 17,5% saham dan pada Juni 1975, dia telah resmi memimpn rapat kerja para pemimpin BCA untuk program restrukturisasi organisasi dan pembaruan manajemen.
Pada 1977, Mochtar memimpin BCA mengakuisisi Bank Gemari yang dimiliki Tri Usaha Bhakti, yayasan milik Departemen Pertahanan. Akuisisi membuat BCA mendapatkan izin clearing house dan lisensi forex.
Bahkan, Mochtar membawa BCA sebagai bank pertama yang mengeluarkan kartu kredit di Tanah Air.
Pada 1983, Mochtar berkongsi dengan Hasyim Ning. Dia memegang 49% saham di Bank Perniagaan Indonesia (BPI). James Riady, anak Mochtar, menjadi pemimpin BPI yang kemudian mengakuisisi 50% Bank Bumi Bahari milik Yayasan Kesejahteraan Angkatan Laut RI.
Pada 1989, BPI dan Bank Umum Asia melakukan merger dan menjadi LippoBank. Mochtar mendapatkan ilham memakai kata Lippo sejak 1958. Kata Li sinonim denga Kekuatan atau Modal, sedangkan Po berarti Sumber, sehingga Lippo diartikan sebagai sumber kekuatan modal dan moral.
Pada 1991, Mochtar mundur dari BCA, dengan asset bank tersebut mencapai Rp7,5 triliun (US$3 miliar) atau ribuan kali lebih banyak dibandingkan dengan kala dia masuk sebesar Rp998 juta (US$1 juta).
Mochtar pun fokus menggarap LippoBank. Salah satu kisah pedih adalah ketika pada 1995, LippoBank diguncang rush karena gossip kegagalan pembayaran kontraktor di proyek Sentul dikait-kaitkan dengan kondisi keuangan bank.
Penarikan dana simpanan besar-besaran (rush) itu membuat LippoBank limbung. Atas prakarsa Bank Indonesia, Mochtar kemudian mendapatkan bantuan dari Liem Sioe Liong (BCA), Eka Widjaja (BII), Usman Admajaja (Danamon), Ramli (Bank Bali) dan Syamsul Nursalim (BDNI).
Mereka sepakat memberikan bantuan dana cadangan 3-5 hari.
Pada krisis keuangan 1998, LippoBank yang tak mengambil Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), tetap saja terkena imbas karena debiturnya kolaps terhempas devaluasi dan bunga kredit yang tinggi.
Pada 1999, kepemilikan saham mayoritas di LippoBank beralih ke pemerintah yang mengucurkan Rp6 triliun terkait dengan rekapitulasi aset bank bermasalah, dan berhask mengendalikan 59% saham bank.
LippoBank masuk dalam penanganan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian melakukan divestasi 52% saham kepada konsorsium Swissasia Global dengan nilai Rp1,25 triliun.
Pada rapat umum pemegang saham 4 Maret 2005, Mochtar secara resmi meninggalkan Lippo dan rehat dari dunia perbankan
Tak lama, Swissasia kemudian melepas kepemilikannya di Bank Lippo kepada Khazanah Berhard, Malaysia senilai $350 juta. Pada 3 Juni 2008, Bank Lippo merger dengan Bank Niaga menjadi PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Nyaris dua tahun lamanya, Mochtar menepi dari industri perbankan. “Seumur hidup ini saya masuk dalam Banking, hampir setiap 7 tahun ada musibah, baik itu politiknya, ekonominya, setiap tujuh tahun musti banknya yang kena,” paparnya.
Volatilitas yang tinggi membuatnya pun berpikir ulang. “Wah kalau sudah ada satu gejolak itu benar-benar gak bisa tidur, besok apa yang terjadi bisa di rush dan sangat bahaya, maka saya tidak mau lagi.”
“Jadi di situ saya pikir ini wah hidup ini gak tentram, jangan kasih ke anak apalagi cucu.”
Tak hanya Bank Lippo, dia melepas kepemilikan di Chen Xin Bank Makau, Chinese Bank Hong Kong, dan perusahaan keuangan di Filipina dan Amerika Serikat.
Namun naluri bankir tak mati. Pada 2010, Lippo Group mengakuisisi Bank Nobu yang sebelumnya bernama Bank Alfindo Sejahtera yang dimiliki pengusaha Alfi Gunawan, pemilik perusahaan air mineral bermerek Ades.
Mochtar berkisah, Hendro Setiawan— pendiri grup Pikko— yang telah membeli bank malah gagal fit and proper test di Bank Indonesia, dan meminta tolong untuk meminjam namanya sebagai pembeli bank itu.
“Saya pikir kalau pinjam nama saya ya gak masalah, eh ternyata saya juga dipanggil oleh BI untuk fit and proper test. Saya pikir ini karena required ya sudah [saya ikut].. eh tiba-tiba besoknya berita keluar Mochtar Riady kembali ke banking.”
Namun, satu hal yang membuat motivasinya kembali adalah ketika ada yang mempertanyakan kemampuannya selaku bankir.
“Ada orang yang menantang saya, Mochtar, you sudah hebat bisa membangun lima bank dari kecil jadi besar, apa you masih mampu membangun Nobubank ini? Saya pikir you sudah tua. Jadi saya ditantang ini maka saya pikir, kalau saya ditantang begini, saya harus menunjukkan saya akan bisa membangun lagi, jadi nobubank akan saya besarkan!”
Mochtar lalu membawa Bank NationalNobu melaksanakan IPO pada 20 Mei 2013, dengan melepas 52 % saham ke publik.
Baginya, Bank Nobu Fondasinya kini sudah memiliki fondasi yang sehat, meski memang secara ukuran belumlah sebesar bank yang pernah dipimpinnya.
“Kalau untuk melewati BCA saya kira itu tidak realistis, oleh karena sizenya saja sudah cukup besar dan susah ditandingi oleh satu bank yang baru mulai, tetapi adalah mengatakan bahwa saya akan menjadi salah satu bank yang besar, itu mungkin bisa.”
Kini, Mochtar pun ambisi lain untuk Bank Nobu. Sejak dikuasai Lippo, aset Bank Nobu meningkat dari Rp333,83 miliar pada 2011, menjadi Rp6,70 triliun pada 2015.
Laba bersih Bank Nobu juga melesat dari Rp1,92 miliar 2011 menjadi Rp18,21 miliar pada 2015. Bahkan, meneembus Rp30,2 miliar sepanjang 2016 lalu. Saat ini tercatat Bank NOBU masuk sebagai kelompk bank BUKU II dengan modal inti sebesar Rp1,2 triliun.
“Di sini saya dalam 3 tahun ini sudah membangun 110 kantor cabang, secara diam-diam dan semua izin operasional sudah oke, termasuk e-payment, dan sudah menjadi bank devisa, dan sekarang sudah go public, jadi ini sudah complete. Sekarang memikirkan bagaimana take-off-nya,”ujarnya.
Pengalaman puluhan tahun di bidang perbankan membuat Mochtar menyadari keunggulan kompetitif bagi suatu bank saat ini adalah dengan persaingan menggunakan kecanggihan teknologi dan sistem informasi. Layanan e-payment mungkin hanya satu contoh bagaimana Bank Nobu berkembang.
Tak hanya bank Nobu, semua kelompok usaha Lippo harus memiliki keunggulan di bidang teknologi informasi.
”Apabila kita berbicara tentang globalisasi kita sebenarnya didorong ke suatu era yang lebih jauh lagi, yaitu era globalisasi ditambah liberalisasi tanpa batas negara. Semua itu terjadi karena dua faktor, yaitu revolusi teknologi informasi dan revolusi mata uang,” kata Mochtar yang sehari-hari menggunakan sendiri ponsel cerdas premium.
Karena itu, dunia sekarang, bagi seorang Mochtar, adalah era digital. Semua perusahaan harus mulai beradaptasi dengan teknologi yang kian canggih.
Dia mencontohkan bagaimana Jepang yang terkenal dengan teknologi malah terlihat ketinggalan zaman dibandingkan dengan perkembangan digital yang terjadi di China. Di Negeri Tirai Bambu, layanan e-commerce, e-business, e-payment sudah menjadi hal yang biasa.
Di Indonesia, Mochtar bercerita bagaimana dia melihat industry tekstil bukanlah sunset industry seperti yang dikatakan orang. “Pasti semua orang tidak pernah berpikir suatu hari tidak berpakaian, maka textile industry itu never going to be sunset industry, but your company definitely going to be sunset kalau you tidak mau mengikuti semua teknologi.”
Ada lagi cerita bagaimana Mochtar begitu kagum dengan Purnomo Prawiro, pendiri Blue Bird—perusahaan taksi. “Saya atur satu sopir saja gak beres, dia bisa atur puluhan ribu tertib semua.. you bayangkan ini orang luar biasa, kita harus belajar sama dia, saya terus puji-puji dia. Eh siapa tahu hanya beberapa bulan, dengan kehadiran Gojek, Grab, Uber, dia langsung goncang, you lihat dahsyatnya itu IT.”
Karena itu, Mochtar dalam beberapa tahun terakhir, lebih serius membahas soal digital.
“Saya sudah lima tahun sudah memikirkan semua hal ini. Apa yang harus kita lakukan. Misalnya Matahari [Department Store]. Kalau saya bilang di China itu, mal-nya gak ada toko tapi semua ada entertainment, restoran, tempat bermain anak, tapi gak ada toko jual barang.. semua melalui online.”
Dia mengungkapkan keberadaan Mataharimall.com pun mendapatkan tantangan dari Alibaba yang telah membeli Lazada. Dia memberikan motivasi jitu kepada para karyawannya. Baginya Matahari masih unggul dari sisi pasokan barang dan distribusi di Tanah Air.
“Kalau you mau mengikuti yang dia cari, konklusinya adalah Alibaba kalau datang ke Indonesia itu .. is nothing, and we are something!”
Di bidang solusi layanan finansial, Mochtar mengungkapkan PT Visionet Internasional salah satu anak perusahaan Lippo pun harus mencari strategi bisnis baru setelah produk electronic data captured-nya harus berkompetisi dengan jasa financial technology.
Bagi Mochtar yang akan berusia 88 tahun ini, pengembangan bisnis bersumber pada informasi teknologi akan menjadi modal tersendiri bagi eksistensi konglomerasi yang dibangunnya puluhan tahun. Setidaknya, Mochtar berharap keluarga Riady bisa berjaya seperti keluarga Medici dan Rothschild, yang selalu disebut-sebut orang.
Comments