Lebaran 2017, Jalan Trans Sumatra, dan Urang Sumando
Lebaran 2017,
Banyak yang tidak menyangka, termasuk saya sendiri, kok bisa mudik jalan darat dari Tangerang ke Bukittinggi? Keputusan mudik pakai mobil ke nyeberang ke Sumatra bukanlah hasil perenungan yang matang sebenarnya.
Sudah beberapa tahun terakhir, pikiran untuk mudik bawa mobil sendiri begitu menggoda. Kadang berpikir, touring ke Sumatra kayak orang-orang itu seperti enak dan menantang.
Namun, setiap kali ide itu muncul, setiap kali pula bayangan jalan rusak, begal mengadang, bajing loncat mencegat, selalu berkelabat dalam pikiran dan terus terang aja, nyali pun menciut.
Apalagi, menjelang Ramadan kali ini berakhir, saya sudah seperti memutuskan aah sudahlah Lebaran kali ini gak ke mana-mana, tidak ke Tidore, tidak ke Bukittinggi, apalagi ke luar negeri!"
Dan kabar itu pun tiba,
Dua hari menjelang lebaran, sinyal itu tiba-tiba menguat.
Ibu mertua bilang; "Orang depan rumah, rumahnya kecil, tapi keluarganya pada datang pulang lebaran, jadi berdesak-desakan deh mereka di rumah."
Kalimat itu tersebut semakin terngiang ketika abis sholat maghrib kok benak ini berpikir "ah kenapa tidak kita bawa mobil nyeberang ke Sumatra?"
Lagipula, seminggu sebelumnya, CKP juga udah diservis 10.000an km, jadi kalau mau nyeberang sih siap aja.
Kata istri, "Ayo aja"
So, Bismillah, kita berangkat malam takbiran aja. Keputusan yang murni dibuat setelah bolak-balik lihat google maps. Rencana perjalanan pun disusun.
Kata Google, jarak dari rumah ke rumah mertua bisa 1.308 km dan bisa memakan waktu 29 jam, udah termasuk naik feri tuh. pikir-pikir punya pikir.... rute perjalanan harus dibagi dua, biar bisa istirahat.
Pilihan tempat transit pun disusun: Palembang, Lahat atau Lubuklinggau?
Kalau ke Palembang 14 jam, trus ke Bukittinggi 18 jam
Ke Lahat 14 jam, trus ke Bukittinggi pun 14 jam
Ke Lubuklinggau bisa 18 jam, tetapi ke Bukittingginya cuma 10 jam
Untuk memutuskan pilihan tempat transit pun ditentukan dengan melihat Agoda dan Traveloka.... di situs itu ternyata ada nama Grand Zuri, salah satu hotel berbintang yang sering kami lihat kalau pergi berenang ke Ocean Park di BSD.
Grand Zuri ternyata ada di Lahat, rate-nya pun masih pas di kantong lah... So Decision has been made.... Lahat jadi tempat transit.
Bagi Ale, bermobil berjam-jam bukanlah hal baru. Dia udah punya pengalaman ke Jogja pada Desember 2016. Waktu itu, kami 12 jam bermobil ke Jogja meskipun tidak macet.
So, bagi Ale, yang menarik hatinya, adalah bagaimana rasanya mobil naik kapal feri. Titik penasaran itulah yang menjadi rayuan saya untuk meyakinkan hatinya kalau perjalanan kali ini akan sangat menyenangkan.
Kami berangkat jam 9 malam, kala masjid di blok kami berkumandang takbir bersahutan dan kembang api serta petasan menggelagar di udara.
Memang jalan tol Tangerang-Merak tak macet, lancar jaya. Tak sampai satu setengah jam pun kami tiba di pelabuhan merak dan langsung antri bayar tiket masuk Rp374.000 untuk mobil maksimal panjang 5 meter.
Para petugas ASDP di Merak begitu cekatan. Mereka langsung mengarahkan mobil saya dan beberapa lainnya ke dermaga 6.
Saya perhatikan dermaga-dermaga lain pun minim antrean.
di Dermaga 6 pun kami langsung antre naik kapal, Ale begitu exiting, pengalaman perdana dia naik mobil yang naik kapal. Padahal di Ternate pun kami dulu beberapa kali pakai mobil nyeberang Ternate-Tidore yang jaraknya hanya seperminuman teh.
Di atas kapal, saya hitung tak sampai 25 mobil yang naik kapal feri ini. Namun, jumlah motor yang naik kapal cukup banyak, mungkin ada lebih dari 50 motor.
Nama kapal ini KM Duta Banten yang dioperasikan PT Jemla Ferry, 1 dari 22 operator kapal feri Merak-Bakauheni.
Di atas kapal, kami naik ke dek yang menyewakan ruang-ruang istirahat. Kebetulan ada ruang yang bisa tidur beralas kasur tipis per orang, lengkap dengan colokan buat charge HP. Petugas kapal menarik bayaran Rp10.000 per kepala untuk yang menggunakan jasa ruang tersebut.
Kapal lumayan bersih, meski toiletnya tetap bau pesing. Saya maklum, armada feri ini sudah melayani puluhan ribu orang yang mudik seminggu terakhir.
Tepat setengah satu pagi, Minggu 25 Juni 2017 atau 1 Syawal 1438 H, kapal feri kami sandar di pelabuhan Bakauheni. Rasa exiting pun menyeruak.
Jam 1 kurang 5 menit, CKP pun mengaspal di Pelabuhan Bakauheni.
Jalan sepi, flyover di pelabuhan itu membuat saya kagum, sebentar lagi jalan tol lintas sumatra akan berujung langsung di pelabuhan bakauheni.
Mobil-mobil pelintas tak banyak, maklum peak mudik telah lewat. Namun saya dan istri, terkagum dengan banyaknya para pemotor berpelat no B yang melintas. Mungkin mereka mudik ke Lampung.
Satu pemotor nampaknya perempuan muda, sendirian pakai vario. "Hebat juga nih cewek berani sendirian. Tapi ini berarti jalanan Lampung ini telah aman," kata saya ke istri yang raut mukanya siaga satu dengan keamanan jalan di Sumatra.
Jalur Kalianda, Tarahan, hingga Branti saya terabas dengan kecepatan 80-100 km... lancar jaya. Bandar Udara Raden Inten II yang megah saya pikir stasiun kereta, maklum tengah malam.
Lewat Bandar Jaya, GPS google tiba-tiba meminta saya belok kiri. Kami pun belok kiri, tak lama ada mobil berhenti dan berjalan mundur dengan 2 lampu sign nyala. Begitu kami lewat, dia pun mengekor.
Jalanan begitu gelap, sepi dan burung-burung yang beristirahat di jalan langsung berterbangan ketika kami datang melintas. Saya lihat, ilalang tumbuh tinggi di samping kiri dan kanan jalan. Di kejauhan, pohon-pohon besar, gelap dan lumayan menyeramkan.
Tiba-tiba jalanan mengecil dan rusak. Feeling saya berteriak, ini gak benar.
Saya pun mengerem dan langsung putar balik, mobil inova hita yang tadi mengekor kami pun berhenti dan saya buka kaca mobil sambil teriak, "Jalanan rusak pak, saya tak berani lewat situ, balik lagi aja."
Si bapak sopir bertanya. "Oke Bung, bung mau kemana?"
Saya, "Kami mo ke Padang pak,"
Si Bapak, "Ah kalau begitu kami ikut bung aja"
"Ayolah," kata saya sambil tancap gas.
Namun, saya memang mungkin terlalu ngebut, mobil kami tak mampu diikuti si bapak yang ngajak konvoi itu.
Lepas pertigaan yang lurus ke Menggala, kami belok kiri ke arah Kotabumi dan adzan Subuh pun berkumandang. Satu masjid, entah apa namanya, saya lupa, pun menjadi tempat kami sholat subuh.
Masuk jam 7, beberapa km dari bandar udara TNI AD Gatot Subroto arah Martapura, ada pom bensin besar yang tak buka, kami pun mampir.
Di kala orang lain Sholat Ied, beberapa mobil pelat B seperti kami, berhenti, ada yang ke toilet, ada yang buka rantang. Makan ketupat untuk sarapan serta minum kopi.
Lepas Martapura, persoalan mulai muncul ketika lihat indikator bensin saya mulai setengah. Pom bensin banyak yang gak buka karena pagi ini Lebaran. Sebenarnya ada juga yang buka, sayangnya gak ada pertamax.
Sepanjang jalan menuju Muara Enim, hat ini khawatir kehabisan bensin di jalan yang berbukit-bukit dan minim kampung ini.
Kami melintas di Tanjung Agung, banyak kampung dengan mobil-mobil keren, ada pajero, inova, avanza yang parkir di pekarangan rumah panggung mereka. Sayangnya jalannya banyak yang berlubang dan sangat tidak nyaman.
Saya akhirnya menyerah juga ketika indikator bensin menyisakan 2 bar. Pas ada pos polisi kegiatan mudik yang sampingnya bengkel rumahan dan jual pertalite, CKP pun berhenti dan resmi minum BBM dengan RON di bawah 92 untuk pertama kalinya. "5 Liter aja bang," ujar saya ke abangnya yang teriak harganya Rp9 ribu per liter.
Akhirnya kami masuk Tanjung Enim. GPS pun bersuara menyuruh turn left. Saya pun coba ikut dan ternyata kami masuk ke PT Bukit Asam. Duh salah jalan lagi deh. Sebenarnya mbak GPS sih gak salah karena memang ada jalan pintas ke arah Lahat tanpa lewat Muara Enim, tapi ternyata itu jalan kecil.
Lewat Tanjung Enim, kami pun masuk kota ibu kota kabupaten Muara Enim.
Orang banyak mulai keluar berlebaran. Jalanan lumayan ramai. "Gaciiii" teriak bapak pemotor yang lawan arah di kiri mobil saya. "Wah dia memaki tuh, gaci itu artinya A*ji**. Udah gak usah diladenin, bisa modus dia, kita jalan aja terus," kata istri saya.
Di Muara Enim, kami akhirnya dapat Pertamax. "Isi full tank bang," kata saya.
Jam 11.35, kami sampai di Lahat, tengok GPS pun membawa kami berhenti di Grand Zuri. Boleh juga nih hotel, kayaknya masih baru. Ada kolam renang gede tapi di halaman belakang.
Kamarnya ternyata masih banyak yang kosong. Ratenya dapat Rp550 ribu. Okelah, soalnya si Ale udah mual dan pucat. Saya minta extra bed karena kami berempat plus Sandy, keponakan yang dikit lagi jadi sarjana kimia di Unpad.
Rencananya, kami bermalam dan besok pagi langsung berangkat lagi. Lumayanlah, sehari berlebaran di tanah orang.
Senin, 26 Juni pukul 05.30 kami diberikan early breakfast. Pindang patin boleh dipesan untuk dibawa jadi bekal di jalan.
Jam 6 teng, kami berangkat lagi. Jalanan masih sepi. Lahat belum normal tetapi kotanya lumayan bersih, kontur jalannya naik turun perbukitan. Yang saya kagum, petugas kebersihan kota dengan pakaian khas dan truk sampahnya udah berkeliling ambil sampah. Luar biasa lah. Semoga gaji mereka juga besar seperti yang diberikan pak Ahok kepada pegawai kebersihan di DKI Jakarta.
Yang jelas, Lahat ini banyak hotel seperti Callista Hotel dan Permata Hotel, banyak pilihan.
Lepas Lahat, kami menuju Lubuklinggau, GPS mengisyaratkan perjalanan bisa memakan 3,5 jam. Jalannya berbukit-bukit dan keluar masuk hutan. Namun kali ini saya lebih percaya diri karena perjalanannya siang hari dan feeling so far so good.
Perjalanan 3,5 jam pun kami lewati dengan relatif lancar, ada aja mobil pelat B yang tanpa direncanakan malah jadi konvoi dengan kami. Kadang saya yang didepan, kadang ada Livina yang di depan, kadang ada Inova yang di depan, tapi kami tetap satu barisan beriringan menerabas jalan trans lintas sumatra ini.
Tanpa sadar, kami telah tiba di Lubuklinggau.
Kesan pertama saya, Lubuklinggau ini kota yang lebih besar dari Lahat, lebih datar dan punya jalan tengah kota yang lurus panjang yang kiri kanannya disesaki oleh gedung bangunan rata-rata 3-4 tingkat.
Salah satu kesamaan Lubuklinggau dengan Lahat adalah adanya Hypermart, bahkan Grup Lippo telah memiliki gedung kantor sendiri di Lubuklinggau. Sayangnya saya tak melihat hotel bagus di sepanjang jalan kota ini. Ada satu Burza Hotel yang dari penampilan kayaknya lumayan okelah untuk kapan-kapan disinggahi.
Satu yang bikin jengkel sikap para pengendara mobil di Lubuklinggau (atau entah mungkin sama juga di sumbagsel), jalanan mereka luas tetapi mereka lebih di tengah kanan, dan jalannya pelan, sehingga sangat mengganggu mobil lain yang ingin lebih cepat.
Beberapa kali, Inova putih pelat B dan Livina hitam yang bareng kami, mencoba lewat tetapi gak dikasih jalan ama mereka. Masuk lewat kiri ditutup motor, di kanan pelan padat, terpaksa deh pakai gaya ugal-ugalan Jakarta, sodok kanan kiri.
Di ujung jalan tengah kota, kami belok kanan ke arah Sarulangun (surulangun, sarolangun, dll), satu jalan lurus naik turun bukit yang menantang.
Jalanan memang enak lurus dan panjang, naik turun bukit, tapi ukurannya pas banget, 1,5 mobil di kiri, 1,5 mobil di kanan. Jadi kalau mau lewati pemotor, itu sama seperti mau lewati mobil, harus hati-hati tak bisa langsung melambung kanan. Kalau ugal-ugalan, pemotor dari arah depan udah teriak sambil memaki. Dan itu kejadian bukan sekali dua kali.
Sarulangun lewat, menuju Pemenang arah Banko. Kontur jalan masih sama, lurus naik turun bukit. Kali ini hujan deras menyertai kami. Deras betul, dan jarak pandangan bahkan cuma 10 meter memaksa kami berteduh dua kali di dekat mesjid, begitupula kendaraan lain.
Lewati kota Bangko yang membelah sungai Batang Asai, saya tetap kagum dengan denyut nadi kehidupan kota yang sudah masuk provinsi Jambi ini.
"Daerahnya hidup, tengok aja kalau di depan rumahnya ada bunga, tanaman atau lainnya berarti orangnya punya sesuatu yang bisa dikerjakan, gak mati," kata istri saya.
Banyak pemotor memboncengi perempuan menenteng rantang. "Itu rantang mau dibawa ke mertua. itu kebiasaan menantu bawa rantang," kata istri saya.
Bagi saya, sepanjang kotanya masih ada minimarket atau convenience store kayak alfamart dan indomart itu sudah tanda modernitas suatu kota. kedua minimarket itupun masih saja berdekatan lokasinya. Yang bisa menyaingi alfamart dan indomart hanyalah duo gerai ponsel Vivo dan Oppo yang juga berdekatan terus dari Lampung ampe Bangko ini.
Selepas istirahat di indomaret dan makan siang serta mampir sebentar di masjid untuk dhuhur dan ashar, kami siap-siap masuk provinsi Sumatra Barat.
Jalanan semakin lebar dan GPS menunjukkan kami mengarah ke Baringin dan Sungai Dareh. "Kita masuk Dharmasraya nih," kata istri saya.
Namun, saya langsung kecewa karena gerbang Sumatra Barat lewat darat dari Jambi ini langsung menunjukkan jalanan yang rusak. Ada 3 jembatan yang aspal jalannya yang telah dikupas tetapi belum ditambal. Bahkan ada jalanan sepanjang 20 meter yang berlubang besar dan ada kubangan.
Mertua telp minta kami mampir di RM Umega di wilayah Pulau Punjung, Gunung Medan, Dharmasraya, istirahat dan makan sekalian titip beliin Sambalado (enak banget). RM Umega ini yang punya dulu kenal ama mertua. Usahanya banyak dari Rumah makan, pom bensin dan hotel yang lokasinya berseberangan.
RM Umega ini terkenal karena bis-bis AKAP macam ALS, ANS, dan bis-bis Jawa pada mampir makan. "Dulu kalau ada bis yang mogok, pemiliknya kirim makanan, trus kalo ada yang kecelakaan, mereka jadi jaminan buat polisi dan RS," ungkap istri saya. Cerita turun temurun.
Jam udah menunjukkan 17.00 wib, saya lihat GPS kita masih 4 jam dari Bukittinggi ini.
Lepas Pulau Punjung, jalan lintas sumatra ini mulai menunjukkan kualitasnya, jalanan lebar dan sebagian besar telah dibeton. Namun, konturnya mulai naik turun bukit. Mode CKP tetap saya pakai yang S, power ada, cengkeraman ban ok, melibas tanjakan dengan mantap.
Lepas isya, hujan besar terus menerus. Saya putuskan kami lewat kota Solok aja daripada lewat Batusangkar. Iringan konvoi pelat B kembali terjadi, kali ini saya dan dua inova hitam, melaju bertiga dengan kecepatan konstan menyalip mobil lain. Para penumpang tidur, mungkin karena hujan besar bikin nyaman.
Lewat Solok, berarti lewat pinggir danau Singkarak, salah satu spot wisata terkenal di Sumatra Barat. Hujan besar masih mengiringi, tetapi kemacetan terjadi. Capai campur kesal mulai mengganggu.
Kami masuk Padang Panjang sekitar jam 9 malam. Isi penuh pertamax dan pekat malam membuat mata ini sulit melihat Gunung Marapi sebelah kanan dan Gunung Singgalang sebelah kiri. Padang Panjang ini ada bika ambon yang terkenal. Enak dan sering jadi oleh-oleh loh.
Kali ini GPS tak lagi difungsikan karena istri saya dah hapal benar jalan-jalan Padang Panjang ke Bukittinggi.
Jam 10 malam lewat dikit, kami sampai Tarokdipo. Mertua buka pintu pagar dan saya berucap Alhamdulillah. Tugas Urang Sumando telah tunai, pulang mudik jalan darat.
Malam ini kami tidur pulas, besok baru ngobrol dan putar-putar kota.
Lebaran di Bukittinggi layaknya lebaran di kota-kota lainnya. Penuh orang jalan-jalan. Dan seperti biasa, jalanan menuju Jam Gadang penuh dengan orang dan mobil. Mayoritas mobil berpelat BM (Riau), BK, B dan sejumlah kecil BA. Bukittinggi selalu menerima mereka dengan tangan terbuka, karena itu berartii rezeki datang.
Tengok aja bagaimana pasar ateh, pasar bawah, pasar lereng, Jam Gadang, Kampung China, Gua Jepang, Kebun Binatang, Benteng, semua penuh. Tempat makan pun penuh.
Bagi saya, rasa syukur harus dipanjatkan karena perjalanan 1.300 km bisa dilewati dengan relatif lancar dan aman.
Banyak yang tidak menyangka, termasuk saya sendiri, kok bisa mudik jalan darat dari Tangerang ke Bukittinggi? Keputusan mudik pakai mobil ke nyeberang ke Sumatra bukanlah hasil perenungan yang matang sebenarnya.
Sudah beberapa tahun terakhir, pikiran untuk mudik bawa mobil sendiri begitu menggoda. Kadang berpikir, touring ke Sumatra kayak orang-orang itu seperti enak dan menantang.
Namun, setiap kali ide itu muncul, setiap kali pula bayangan jalan rusak, begal mengadang, bajing loncat mencegat, selalu berkelabat dalam pikiran dan terus terang aja, nyali pun menciut.
Apalagi, menjelang Ramadan kali ini berakhir, saya sudah seperti memutuskan aah sudahlah Lebaran kali ini gak ke mana-mana, tidak ke Tidore, tidak ke Bukittinggi, apalagi ke luar negeri!"
Dan kabar itu pun tiba,
Dua hari menjelang lebaran, sinyal itu tiba-tiba menguat.
Ibu mertua bilang; "Orang depan rumah, rumahnya kecil, tapi keluarganya pada datang pulang lebaran, jadi berdesak-desakan deh mereka di rumah."
Kalimat itu tersebut semakin terngiang ketika abis sholat maghrib kok benak ini berpikir "ah kenapa tidak kita bawa mobil nyeberang ke Sumatra?"
Lagipula, seminggu sebelumnya, CKP juga udah diservis 10.000an km, jadi kalau mau nyeberang sih siap aja.
Kata istri, "Ayo aja"
So, Bismillah, kita berangkat malam takbiran aja. Keputusan yang murni dibuat setelah bolak-balik lihat google maps. Rencana perjalanan pun disusun.
Kata Google, jarak dari rumah ke rumah mertua bisa 1.308 km dan bisa memakan waktu 29 jam, udah termasuk naik feri tuh. pikir-pikir punya pikir.... rute perjalanan harus dibagi dua, biar bisa istirahat.
Pilihan tempat transit pun disusun: Palembang, Lahat atau Lubuklinggau?
Kalau ke Palembang 14 jam, trus ke Bukittinggi 18 jam
Ke Lahat 14 jam, trus ke Bukittinggi pun 14 jam
Ke Lubuklinggau bisa 18 jam, tetapi ke Bukittingginya cuma 10 jam
Untuk memutuskan pilihan tempat transit pun ditentukan dengan melihat Agoda dan Traveloka.... di situs itu ternyata ada nama Grand Zuri, salah satu hotel berbintang yang sering kami lihat kalau pergi berenang ke Ocean Park di BSD.
Grand Zuri ternyata ada di Lahat, rate-nya pun masih pas di kantong lah... So Decision has been made.... Lahat jadi tempat transit.
Bagi Ale, bermobil berjam-jam bukanlah hal baru. Dia udah punya pengalaman ke Jogja pada Desember 2016. Waktu itu, kami 12 jam bermobil ke Jogja meskipun tidak macet.
So, bagi Ale, yang menarik hatinya, adalah bagaimana rasanya mobil naik kapal feri. Titik penasaran itulah yang menjadi rayuan saya untuk meyakinkan hatinya kalau perjalanan kali ini akan sangat menyenangkan.
Kami berangkat jam 9 malam, kala masjid di blok kami berkumandang takbir bersahutan dan kembang api serta petasan menggelagar di udara.
Memang jalan tol Tangerang-Merak tak macet, lancar jaya. Tak sampai satu setengah jam pun kami tiba di pelabuhan merak dan langsung antri bayar tiket masuk Rp374.000 untuk mobil maksimal panjang 5 meter.
Para petugas ASDP di Merak begitu cekatan. Mereka langsung mengarahkan mobil saya dan beberapa lainnya ke dermaga 6.
Saya perhatikan dermaga-dermaga lain pun minim antrean.
di Dermaga 6 pun kami langsung antre naik kapal, Ale begitu exiting, pengalaman perdana dia naik mobil yang naik kapal. Padahal di Ternate pun kami dulu beberapa kali pakai mobil nyeberang Ternate-Tidore yang jaraknya hanya seperminuman teh.
Di atas kapal, saya hitung tak sampai 25 mobil yang naik kapal feri ini. Namun, jumlah motor yang naik kapal cukup banyak, mungkin ada lebih dari 50 motor.
Nama kapal ini KM Duta Banten yang dioperasikan PT Jemla Ferry, 1 dari 22 operator kapal feri Merak-Bakauheni.
Di atas kapal, kami naik ke dek yang menyewakan ruang-ruang istirahat. Kebetulan ada ruang yang bisa tidur beralas kasur tipis per orang, lengkap dengan colokan buat charge HP. Petugas kapal menarik bayaran Rp10.000 per kepala untuk yang menggunakan jasa ruang tersebut.
Kapal lumayan bersih, meski toiletnya tetap bau pesing. Saya maklum, armada feri ini sudah melayani puluhan ribu orang yang mudik seminggu terakhir.
Tepat setengah satu pagi, Minggu 25 Juni 2017 atau 1 Syawal 1438 H, kapal feri kami sandar di pelabuhan Bakauheni. Rasa exiting pun menyeruak.
Jam 1 kurang 5 menit, CKP pun mengaspal di Pelabuhan Bakauheni.
Jalan sepi, flyover di pelabuhan itu membuat saya kagum, sebentar lagi jalan tol lintas sumatra akan berujung langsung di pelabuhan bakauheni.
Mobil-mobil pelintas tak banyak, maklum peak mudik telah lewat. Namun saya dan istri, terkagum dengan banyaknya para pemotor berpelat no B yang melintas. Mungkin mereka mudik ke Lampung.
Satu pemotor nampaknya perempuan muda, sendirian pakai vario. "Hebat juga nih cewek berani sendirian. Tapi ini berarti jalanan Lampung ini telah aman," kata saya ke istri yang raut mukanya siaga satu dengan keamanan jalan di Sumatra.
Jalur Kalianda, Tarahan, hingga Branti saya terabas dengan kecepatan 80-100 km... lancar jaya. Bandar Udara Raden Inten II yang megah saya pikir stasiun kereta, maklum tengah malam.
Lewat Bandar Jaya, GPS google tiba-tiba meminta saya belok kiri. Kami pun belok kiri, tak lama ada mobil berhenti dan berjalan mundur dengan 2 lampu sign nyala. Begitu kami lewat, dia pun mengekor.
Jalanan begitu gelap, sepi dan burung-burung yang beristirahat di jalan langsung berterbangan ketika kami datang melintas. Saya lihat, ilalang tumbuh tinggi di samping kiri dan kanan jalan. Di kejauhan, pohon-pohon besar, gelap dan lumayan menyeramkan.
Tiba-tiba jalanan mengecil dan rusak. Feeling saya berteriak, ini gak benar.
Saya pun mengerem dan langsung putar balik, mobil inova hita yang tadi mengekor kami pun berhenti dan saya buka kaca mobil sambil teriak, "Jalanan rusak pak, saya tak berani lewat situ, balik lagi aja."
Si bapak sopir bertanya. "Oke Bung, bung mau kemana?"
Saya, "Kami mo ke Padang pak,"
Si Bapak, "Ah kalau begitu kami ikut bung aja"
"Ayolah," kata saya sambil tancap gas.
Namun, saya memang mungkin terlalu ngebut, mobil kami tak mampu diikuti si bapak yang ngajak konvoi itu.
Lepas pertigaan yang lurus ke Menggala, kami belok kiri ke arah Kotabumi dan adzan Subuh pun berkumandang. Satu masjid, entah apa namanya, saya lupa, pun menjadi tempat kami sholat subuh.
Masuk jam 7, beberapa km dari bandar udara TNI AD Gatot Subroto arah Martapura, ada pom bensin besar yang tak buka, kami pun mampir.
Di kala orang lain Sholat Ied, beberapa mobil pelat B seperti kami, berhenti, ada yang ke toilet, ada yang buka rantang. Makan ketupat untuk sarapan serta minum kopi.
Lepas Martapura, persoalan mulai muncul ketika lihat indikator bensin saya mulai setengah. Pom bensin banyak yang gak buka karena pagi ini Lebaran. Sebenarnya ada juga yang buka, sayangnya gak ada pertamax.
Sepanjang jalan menuju Muara Enim, hat ini khawatir kehabisan bensin di jalan yang berbukit-bukit dan minim kampung ini.
Kami melintas di Tanjung Agung, banyak kampung dengan mobil-mobil keren, ada pajero, inova, avanza yang parkir di pekarangan rumah panggung mereka. Sayangnya jalannya banyak yang berlubang dan sangat tidak nyaman.
Saya akhirnya menyerah juga ketika indikator bensin menyisakan 2 bar. Pas ada pos polisi kegiatan mudik yang sampingnya bengkel rumahan dan jual pertalite, CKP pun berhenti dan resmi minum BBM dengan RON di bawah 92 untuk pertama kalinya. "5 Liter aja bang," ujar saya ke abangnya yang teriak harganya Rp9 ribu per liter.
Akhirnya kami masuk Tanjung Enim. GPS pun bersuara menyuruh turn left. Saya pun coba ikut dan ternyata kami masuk ke PT Bukit Asam. Duh salah jalan lagi deh. Sebenarnya mbak GPS sih gak salah karena memang ada jalan pintas ke arah Lahat tanpa lewat Muara Enim, tapi ternyata itu jalan kecil.
Lewat Tanjung Enim, kami pun masuk kota ibu kota kabupaten Muara Enim.
Orang banyak mulai keluar berlebaran. Jalanan lumayan ramai. "Gaciiii" teriak bapak pemotor yang lawan arah di kiri mobil saya. "Wah dia memaki tuh, gaci itu artinya A*ji**. Udah gak usah diladenin, bisa modus dia, kita jalan aja terus," kata istri saya.
Di Muara Enim, kami akhirnya dapat Pertamax. "Isi full tank bang," kata saya.
Jam 11.35, kami sampai di Lahat, tengok GPS pun membawa kami berhenti di Grand Zuri. Boleh juga nih hotel, kayaknya masih baru. Ada kolam renang gede tapi di halaman belakang.
Kamarnya ternyata masih banyak yang kosong. Ratenya dapat Rp550 ribu. Okelah, soalnya si Ale udah mual dan pucat. Saya minta extra bed karena kami berempat plus Sandy, keponakan yang dikit lagi jadi sarjana kimia di Unpad.
Rencananya, kami bermalam dan besok pagi langsung berangkat lagi. Lumayanlah, sehari berlebaran di tanah orang.
Senin, 26 Juni pukul 05.30 kami diberikan early breakfast. Pindang patin boleh dipesan untuk dibawa jadi bekal di jalan.
Jam 6 teng, kami berangkat lagi. Jalanan masih sepi. Lahat belum normal tetapi kotanya lumayan bersih, kontur jalannya naik turun perbukitan. Yang saya kagum, petugas kebersihan kota dengan pakaian khas dan truk sampahnya udah berkeliling ambil sampah. Luar biasa lah. Semoga gaji mereka juga besar seperti yang diberikan pak Ahok kepada pegawai kebersihan di DKI Jakarta.
Yang jelas, Lahat ini banyak hotel seperti Callista Hotel dan Permata Hotel, banyak pilihan.
Lepas Lahat, kami menuju Lubuklinggau, GPS mengisyaratkan perjalanan bisa memakan 3,5 jam. Jalannya berbukit-bukit dan keluar masuk hutan. Namun kali ini saya lebih percaya diri karena perjalanannya siang hari dan feeling so far so good.
Perjalanan 3,5 jam pun kami lewati dengan relatif lancar, ada aja mobil pelat B yang tanpa direncanakan malah jadi konvoi dengan kami. Kadang saya yang didepan, kadang ada Livina yang di depan, kadang ada Inova yang di depan, tapi kami tetap satu barisan beriringan menerabas jalan trans lintas sumatra ini.
Tanpa sadar, kami telah tiba di Lubuklinggau.
Kesan pertama saya, Lubuklinggau ini kota yang lebih besar dari Lahat, lebih datar dan punya jalan tengah kota yang lurus panjang yang kiri kanannya disesaki oleh gedung bangunan rata-rata 3-4 tingkat.
Salah satu kesamaan Lubuklinggau dengan Lahat adalah adanya Hypermart, bahkan Grup Lippo telah memiliki gedung kantor sendiri di Lubuklinggau. Sayangnya saya tak melihat hotel bagus di sepanjang jalan kota ini. Ada satu Burza Hotel yang dari penampilan kayaknya lumayan okelah untuk kapan-kapan disinggahi.
Satu yang bikin jengkel sikap para pengendara mobil di Lubuklinggau (atau entah mungkin sama juga di sumbagsel), jalanan mereka luas tetapi mereka lebih di tengah kanan, dan jalannya pelan, sehingga sangat mengganggu mobil lain yang ingin lebih cepat.
Beberapa kali, Inova putih pelat B dan Livina hitam yang bareng kami, mencoba lewat tetapi gak dikasih jalan ama mereka. Masuk lewat kiri ditutup motor, di kanan pelan padat, terpaksa deh pakai gaya ugal-ugalan Jakarta, sodok kanan kiri.
Di ujung jalan tengah kota, kami belok kanan ke arah Sarulangun (surulangun, sarolangun, dll), satu jalan lurus naik turun bukit yang menantang.
Jalanan memang enak lurus dan panjang, naik turun bukit, tapi ukurannya pas banget, 1,5 mobil di kiri, 1,5 mobil di kanan. Jadi kalau mau lewati pemotor, itu sama seperti mau lewati mobil, harus hati-hati tak bisa langsung melambung kanan. Kalau ugal-ugalan, pemotor dari arah depan udah teriak sambil memaki. Dan itu kejadian bukan sekali dua kali.
Sarulangun lewat, menuju Pemenang arah Banko. Kontur jalan masih sama, lurus naik turun bukit. Kali ini hujan deras menyertai kami. Deras betul, dan jarak pandangan bahkan cuma 10 meter memaksa kami berteduh dua kali di dekat mesjid, begitupula kendaraan lain.
Lewati kota Bangko yang membelah sungai Batang Asai, saya tetap kagum dengan denyut nadi kehidupan kota yang sudah masuk provinsi Jambi ini.
"Daerahnya hidup, tengok aja kalau di depan rumahnya ada bunga, tanaman atau lainnya berarti orangnya punya sesuatu yang bisa dikerjakan, gak mati," kata istri saya.
Banyak pemotor memboncengi perempuan menenteng rantang. "Itu rantang mau dibawa ke mertua. itu kebiasaan menantu bawa rantang," kata istri saya.
Bagi saya, sepanjang kotanya masih ada minimarket atau convenience store kayak alfamart dan indomart itu sudah tanda modernitas suatu kota. kedua minimarket itupun masih saja berdekatan lokasinya. Yang bisa menyaingi alfamart dan indomart hanyalah duo gerai ponsel Vivo dan Oppo yang juga berdekatan terus dari Lampung ampe Bangko ini.
Selepas istirahat di indomaret dan makan siang serta mampir sebentar di masjid untuk dhuhur dan ashar, kami siap-siap masuk provinsi Sumatra Barat.
Jalanan semakin lebar dan GPS menunjukkan kami mengarah ke Baringin dan Sungai Dareh. "Kita masuk Dharmasraya nih," kata istri saya.
Namun, saya langsung kecewa karena gerbang Sumatra Barat lewat darat dari Jambi ini langsung menunjukkan jalanan yang rusak. Ada 3 jembatan yang aspal jalannya yang telah dikupas tetapi belum ditambal. Bahkan ada jalanan sepanjang 20 meter yang berlubang besar dan ada kubangan.
Mertua telp minta kami mampir di RM Umega di wilayah Pulau Punjung, Gunung Medan, Dharmasraya, istirahat dan makan sekalian titip beliin Sambalado (enak banget). RM Umega ini yang punya dulu kenal ama mertua. Usahanya banyak dari Rumah makan, pom bensin dan hotel yang lokasinya berseberangan.
RM Umega ini terkenal karena bis-bis AKAP macam ALS, ANS, dan bis-bis Jawa pada mampir makan. "Dulu kalau ada bis yang mogok, pemiliknya kirim makanan, trus kalo ada yang kecelakaan, mereka jadi jaminan buat polisi dan RS," ungkap istri saya. Cerita turun temurun.
Jam udah menunjukkan 17.00 wib, saya lihat GPS kita masih 4 jam dari Bukittinggi ini.
Lepas Pulau Punjung, jalan lintas sumatra ini mulai menunjukkan kualitasnya, jalanan lebar dan sebagian besar telah dibeton. Namun, konturnya mulai naik turun bukit. Mode CKP tetap saya pakai yang S, power ada, cengkeraman ban ok, melibas tanjakan dengan mantap.
Lepas isya, hujan besar terus menerus. Saya putuskan kami lewat kota Solok aja daripada lewat Batusangkar. Iringan konvoi pelat B kembali terjadi, kali ini saya dan dua inova hitam, melaju bertiga dengan kecepatan konstan menyalip mobil lain. Para penumpang tidur, mungkin karena hujan besar bikin nyaman.
Lewat Solok, berarti lewat pinggir danau Singkarak, salah satu spot wisata terkenal di Sumatra Barat. Hujan besar masih mengiringi, tetapi kemacetan terjadi. Capai campur kesal mulai mengganggu.
Kami masuk Padang Panjang sekitar jam 9 malam. Isi penuh pertamax dan pekat malam membuat mata ini sulit melihat Gunung Marapi sebelah kanan dan Gunung Singgalang sebelah kiri. Padang Panjang ini ada bika ambon yang terkenal. Enak dan sering jadi oleh-oleh loh.
Kali ini GPS tak lagi difungsikan karena istri saya dah hapal benar jalan-jalan Padang Panjang ke Bukittinggi.
Jam 10 malam lewat dikit, kami sampai Tarokdipo. Mertua buka pintu pagar dan saya berucap Alhamdulillah. Tugas Urang Sumando telah tunai, pulang mudik jalan darat.
Malam ini kami tidur pulas, besok baru ngobrol dan putar-putar kota.
Lebaran di Bukittinggi layaknya lebaran di kota-kota lainnya. Penuh orang jalan-jalan. Dan seperti biasa, jalanan menuju Jam Gadang penuh dengan orang dan mobil. Mayoritas mobil berpelat BM (Riau), BK, B dan sejumlah kecil BA. Bukittinggi selalu menerima mereka dengan tangan terbuka, karena itu berartii rezeki datang.
Tengok aja bagaimana pasar ateh, pasar bawah, pasar lereng, Jam Gadang, Kampung China, Gua Jepang, Kebun Binatang, Benteng, semua penuh. Tempat makan pun penuh.
Bagi saya, rasa syukur harus dipanjatkan karena perjalanan 1.300 km bisa dilewati dengan relatif lancar dan aman.
Comments