Bank Jabar Banten tak sekedar jago kandang
Didirikan 50 tahun silam sebagai Bank Karya Pembangunan, PT Bank Jabar Banten Tbk bertransformasi dan membentuk citra baru setelah mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 8 Juli 2010.
Di usianya yang menyentuh setengah abad, bank yang kini dikenal dengan nama BJB ini melesat menjadi bank dengan jaringan terkonsentrasi di Jawa Barat dan Banten.
Emiten berkode saham BJBR ini pun punya keunggulan dengan melekatnya sistem pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) melalui BJB, tentu jadi kue empuk buat mempertahankan pangsa pasar.
Namun di tengah ekspektasi pertumbuhan bisnis tahun ini, bisakah bank yang menjadi salah satu acuan Bank Pembangunan Daerah ini menjaga kesinambungan bisnis dan mampu menekan risiko ketika mencoba ekspansi ke luar kandang?
Analis PT Kim Eng Securities Rahmi Marina dalam risetnya per 13 Mei 2011 mengatakan kinerja perseroan cukup baik ketika sumbangan dana pihak ketihga (DPK) dari Ibu Kota Jakarta mampu mencapai 23% dari total DPK per kuartal I/2011 Rp33,86 triliun. Padahal publik mungkin masih berpersepsi bank ini hanya milik urang sunda.
Pada triwula pertama 2011 ini, pertumbuhan penghimpunan dana masyarakat dari bank yang berkantor pusat di Jalan Naripan Kota Bandung ini naik hingga 21,55% atau bertambah Rp6 triliun dari Rp27,86 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Meski demikian, Rahmi menilai cabang-cabang baru di luar Jawa Barat dan Banten masih terkonsentrasi dalam mengeruk dana masyarakat.
"Cabang-cabang di luar Jawa Barat dan Banten itu berkontribusi mendekati 25% dari total DPK dan paling sukses ekspansi ialah ke Jakarta yang menyumbang 23% dari total DPK," katanya.
Rahmi mengatakan perseroan memiliki 37 cabang dan 152 sub-cabang yang tersebar di Jawa Barat dan Banten. Sebaran itu mengamankan 19% pangsa pasar DPK. BJB juga ditopang 14 cabang pembantu dan 20 sub-cabang yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan wilayah lain di Pulau Jawa.
Kim Eng Securities memperkirakan tahun 2011 ini pertumbuhan kredit BJB mencapai 27% seiring dengan adanya rencana memperluas ekspansi di Sumatra, Kalimantan dan daerah lain di Pulau Jawa seperti Bandar Lampung, Banjarmasin, Solo Jogjakarta, Manado, Samarinda, dan Kediri.
"Perluasan itu sebetulnya karena ada peningkatan permintaan dari pelanggan di area lain sehingga lebih luas. Itu juga bertujuan mengintegrasikan keinginan perseroan dalam melayani pelanggan dan ambisi menjadi salah satu dari 10 bank papan atas di Indonesia," lanjut Rahmi.
Rahmi menilai perjalanan menjadi bank papan atas bukan hal yang tak mungkin mengingat dengan total aset per kuartal I/2011 yang mencapai Rp46,7 triliun itu sudah mengantarkan BJB menjadi terbesar di regional tetapi baru di posisi 14 untuk seluruh bank umum di Indonesia.
Risiko NPL
Dari sudut pandang itu, Rahmi menilai pilihan memperluas jaringan dan pinjaman di luar kandang tentunya berpotensi meningkatkan tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Bisa diartikan perseroan tentu menyiapkan biaya provisi yang cukup tinggi dibandingkan dengan sebelumnya sehingga berpengaruh pada jumlah pendapatan yang dikeruk. Selama ini, DPK yang berhubungan dengan PNS dan aparat pemerintah memang tinggi mencapai 61% dari total DPK pada kuartal I/2011.
Di sisi lain, ekspansi kredit non-organik melalui pembelian portofolio dari BPD lainnya juga tidak mungkin menekan NPL. Keberlanjutan strategi semacam ini sangat tergantung pada rencana ekspansi jaringan dan level LDR/loan to deposit ratio atau rasio pinjaman dan dana pihak ketiga.
Perseroan sebetulnya sudah menerapkan beberapa strategi guna mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman kepada PNS misalnya dengan melakukan perjanjian pembelian pinjaman dari bank regional lainnya. BJB juga memberikan pinjaman kepada multifinance.
Pada kuartal I/2011, perseroan memberikan pinjaman sebesar Rp250 miliar kepada PT Adira Dinamika Multifinance dan Rp150 miilar kepada PT Mandala Multifinance.
Pinjaman ini sebetulnya membantu bank untuk mempertahankan rasio NPL mengingat NPL pada segmen ini begitu rendah hanya sebesar 0,18%, jauh di bawah rata-rata NPL 1,86%. Secara keseluruhan NPL BJB terendah kedua setelah PT Bank Central Asia Tbk.
Kim Eng sendiri merekomendasikan beli untuk saham BJB dengan target harga saham pada level Rp1.450 per saham mengingat perseroan memiliki potensi upside dari harga kini. Kim Eng juga memperkirakan pertumbuhan kredit sebesar 27% dan DPK meningkat sebesar 15%.
(Artikel ini terbit di Bisnis Indonesia 19 Mei 2011)
Comments