Krisis Pangan dan Gen Milenial Jadi Petani, Emang Bisa?
Setiap kali melalui jalan tol dari Jakarta menuju Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, kita pasti disuguhi pemandangan persawahan hijau rapi berjejer. Rasanya damai, menenangkan hati.
Namun, tidak begitu saja yang dirasakan Arif Satria. Pria yang kini Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB University) ini memiliki kegelisahan tersendiri.
“Setiap kali saya lewat tol,
itulah hati saya selalu berpikir gelisah betul, gimana 10 tahun lagi siapa yang
mau mengurusi cocok tanam padi? Karena milenial lebih senang dengan
sayur-sayuran dan hidroponik tetapi ketika masuk ke tanaman pangan seperti padi,
ini belum ada bukti yang cukup banyak bahwa milenial tertarik ke produksi
tanaman pangan, oleh karena itu jika tidak ada solusi beras, kalau tidak
insentif khusus dari pemerintah, ini bahaya,” katanya.
Hal itu disampaikan Prof. Dr.
Arif Satria saat menjadi pemateri dalam diskusi Pekan Milenial Naik Kelas yang
diselenggarakan Bisnis Indonesia, BNI & PLN di Hotel Aryaduta Tugu Tani,
Selasa 5 April 2022.
Kegelisahan Arif—akademisi di
usia ke 46 yang terpilih sebagai Rektor IPB ke-14 pada 15 November 2017—boleh
jadi masuk akal.
“Petani ini ke depan rata-rata usianya sudah 47 tahun—48 tahun dan 10 tahun kemudian semakin tua, masalahnya anak-anak mereka mau berkecimpung di situ atau tidak?” katanya.
“Anak tidak mau jadi buruh, dia mau jadi owner. Untuk mendorong anak itu jadi
owner, ditambah teknologi, itu menjadi keniscayaan. Oleh karena itu sekarang
mendorong mereka untuk masuk ke produksi padi itu menjadi PR kita,” lanjut
Arif.
Anak muda atau generasi
milenial menjadi petani adalah keniscayaan. Di IPB, kata Arif, sebanyak 30%
mahasiswanya siap untuk menjadi entrepreneur. Namun pekerjaan rumah itu
tetaplah harus dikerjakan.
Caranya, bisa dengan
penggunaan teknologi terapan untuk memaksimalkan minat para milenial ini untuk
ke sawah.
Saya sependapat dengan Prof
Arif ini. Kami sempat berbincang mengenai masa depan ekonomi nasional, pangan,
dan peran anak muda di masa mendatang.
Di awal tahun 2022 ini, harga-harga barang bergerak naik. Semua mahal. Tempe dan tahu sempat langka. Minyak goreng mahal dan langka. Bensin juga mahal. Harga daging sapi juga di atas Rp140.000 per kg. Apalagi di bulan Ramadan dan jelang Lebaran, semua naik.
Susahnya, Indonesia kini
memang sepertinya lebih suka menjadi importir pangan. Ketika komoditas tersebut
langka di pasaran global, negara kita jadi terdampak.
Ada yang bilang, invasi Rusia
ke Ukraina membuat lonjakan harga komoditas pangan dunia. Bisa iya juga sih.
Namun, kita perlu lihat juga
bagaimana sih stok pangan nasional?
Mengacu penyampaian Sekjen Kementerian
Pertanian Kasdi Subagyono, kondisi stok 12 komoditas pangan dalam posisi aman.
“Tetapi perlu ada pencermatan
bahwa ada empat komoditas yang terafiliasi impor seperti kedelai, bawang putih,
daging sapi dan gula konsumsi,” kata Kasdi dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi
IV DPR, Senin (4/4).
Dalam presentasi Kasdi, stok
komoditas kedelai pada awal tahun 2022 ini mencapai 190.970 ton, sedangkan
perkiraan produksi sekitar 200.315 ton. Jadinya total ketersediaan kedelai pada
tahun ini sebesar 391.285 ton.
Sementara itu, kebutuhan
kedelai tahunan diperkirakan sebesar 2,98 juta ton, atau sekitar 248.626 ton
per bulan.
Kondisi ini membuat neraca
komoditas kedelai minus 2,59 juta ton pada tahun ini yang menyebabkan
pemerintah berencana melakukan impor kedelai sebesar 2,84 juta ton.
Di bawang putih pun demikian.
Neraca bawang putih jomplang. Stok awal bawang putih sebesar 216.894 ton,
tetapi produksi diperkirakan hanya 38.091 ton.
Dengan jumlah ketersediaan
bawang putih hanya sebesar 251.985 ton terhadap proyeksi kebutuhan 621.885 ton
maka impor adalah jawabannya.
Adapun, rencana impor untuk
bawang putih sebesar 606.377 ton, daging sapi sebesar 193.223 ton dan gula
konsumsi sebesar 1,04 juta ton.
Menurut prognosa neraca
komoditas pangan strategis Januari—Mei 2022 Kementan, kebutuhan 12 komoditas
ada pada posisi aman. Beras misalnya, total ketersediaan 22,69 juta ton dan
asumsi kebutuhan pada periode tersebut sebesar 12,86 juta ton. Dengan demikian,
stok pada akhir Mei 2022 diperkirakan mencapai 9,84 juta ton.
Kondisi boleh aman, apakah cukup sampai demikian?
Saya juga sependapat dengan komentar akademisi dari IPB
University lainnya yaitu Bayu
Krisnamurthi.
Bayu mengatakan meski stok dikatakan baik, bukan berarti
harus puas sampai di situ. Indonesia masih harus memperbaiki diri seperti
kondisi saat ini mengingat banyak harga pangan yang tidak stabil meski stoknya
dikatakan aman.
Kemandirian pangan erat kaitannya secara global serta
keterbukaan informasi mengenai jumlah stok pun belum tentu harga dapat stabil.
“Dengan keterkaitan global yang erat plus keterbukaan informasi, stok aman dan
harga stabil tidak selalu berkorelasi kuat,” ujar Bayu, Senin (4/4).
Masalahnya, stok bisa jadi aman tetapi harga tidak
stabil, seperti komoditas minyak goreng saat ini. Sementara itu, tidak mungkin
juga harga stabil ketika stok tidak aman. “Tujuan kita harus stok aman dan
harga stabil,” kata Bayu.
Kalau sudah demikian, rasanya peran anak muda untuk
menjamin ketersediaan pangan di masa depan sepertinya semakin berat.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani
Indonesia Dwi Andreas mengatakan minat anak muda ke bidang pertanian untuk
menggantikan petani tua sangat bergantung pada keuntungan yang bisa diperoleh
generasi muda.
Selama sektor pertanian tidak menguntungkan, generasi
muda tidak akan tertarik mengelola sektor pertanian.
Bahkan, hadirnya teknologi digital di sektor pertanian
yang bisa memudahkan kerja petani tidak akan cukup menarik minat generasi muda.
Masuk akal juga sih. Kalau nggak untung, ngapain
capek-capek dan kotor-kotor di sawah ya?
Bayangkan saja, pertanian merupakan sektor usaha yang
pendapatannya paling rendah di antara 17 sektor usaha.
Kecilnya pendapatan di sektor pertanian juga ditunjukkan
dari upah buruh tani yang hanya mencapai 60 persen dari pendapatan buruh bangunan.
(https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-014073446/pertanyaan-besar-kita-hari-ini-memangnya-ada-anak-muda-yang-mau-jadi-petani?page=3)
Karena itu, hal yang perlu dilakukan bukan kenalkan drone
kepada petani, tetapi bagaimana menjamin harga di tingkat petani yang
menguntungkan, bisa mencukupi kebutuhan.
Saat ini, tidak ada kebijakan pemerintah untuk menjamin
harga jual produk pertanian menguntungkan di tingkat perani.
Pemerintah dinilai hanya fokus pada kepentingan konsumen
untuk menjamin harga produk pertanian di tingkat konsumen terjangkau.
Ketika harga produk pertanian di tingkat konsumen murah,
imbasnya keuntungan yang didapat petani menjadi kecil.
Konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga
semakin memojokkan petani. Kepemilikan lahan pertanian di Indonesia hanya 0,2
hektare hingga 0,3 hektare per pertani sehingga petani sulit meningkatkan
pendapatan.
Bagi Dwi, jumlah petani yang menurun bukan suatu masalah karena Indonesia sedang bertransformasi dari negara berbasis pertanian ke industri.
Lagi pula, sektor pertanian yang semakin mengandalkan
mesin tidak memerlukan lagi banyak tenaga kerja.
Bagaimana dengan program Petani Milenial yang diinisiasi
oleh Pemprov Jabar? Program itu diibaratkan pendakian gunung yang harus selalu
didampingi pemerintah lewat pelatihan, anggaran, lahan, teknologi sampai
pemasaran.
”Saya bilang program ini bukan program karpet merah yang
bisa langsung sukses, melainkan program mendaki gunung yang didampingi
pemerintah melalui pelatihan, anggaran, lahan, peralatan, dan pemasaran,” kata
Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Tidak mudah memang menjadi generasi milenial. Tetapi
lebih susah lagi jika tanpa pangan, kita tak bisa makan.
Omong-omong, selamat menjalankan ibadah Puasa Ramadan
1443 H.
Fahmi Achmad
5 April 2022
Comments