and justice for all...
"DAGELAN" DI PERSIDANGAN KASUS 13 MARINIR Oleh Masuki M Astro
Surabaya, 4/4 (ANTARA) - Sidang dengan terdakwa 13 marinir di Pengadilan Militer III-2 Surabaya itu dijaga puluhan anggota polisi militer TNI AD, polisi militer TNI AL, provost, bahkan sejumlah polisi.
Pengamanan puluhan petugas lintas angkatan itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, misalnya massa atau keluarga korban penembakan dari Desa Alastologo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, yang hadir tak bisa mengendalikan emosi melihat para terdakwa.
Kenyataan di dalam persidangan justru berbeda dengan di luar. Persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Letkol (CHK) Yan Ahmad Mulyana dengan anggota Letkol Laut (KH) Bambang Angkoso dan Mayor (CHK) Joko Sasmito itu justru menampilkan banyak "dagelan", khususnya dari para saksi.
Meskipun demikian, para hakim oditur militer yang terdiri atas, Letkol (CHK) Agung Iswanto, Kapten (Sus) Darwin H dan Kapten Laut (KH) I Made Adnyana, 13 marinir dan pengacaranya, antara lain Ruhut Sitompul SH dan Letkol Laut (KH) Bahrunsyah, hanya tersenyum mendengar "dagelan" itu .
Berbeda dengan para pengunjung yang terdiri atas anggota marinir, wartawan, polisi militer dan sejumlah warga Alastlogo yang tidak kuasa menahan tawanya mendengar penuturan saksi di depan pengadilan.
Dagelan pertama muncul ketika sidang perdana kasus penembakan yang terjadi pada 30 Mei 2007 dan menewaskan empat warga Alastlogo itu memeriksa saksi bernama Nasum. Lelaki yang sehari-hari menggunakan bahasa madura itu kesulitan menjawab pertanyaan hakim ketika ditanya warga negaranya.
Karena merasa lahir dan besar di Alastlogo yang tanah di wilayah itu menjadi sengketa dengan TNI AL, ia menjawab, "Alastlogo pak".
Sidang pertama itu digelar, Rabu, 26 Maret, dan dilanjutkan dengan sidang berikutnya, Rabu (2/4) dan Kamis (3/4).
Lebih lucu lagi ketika Asmad dimintai keterangan.
Ia salah menjawab ketika ditanya jenis kelaminnya. Kemungkinan karena salah dengar, ia menjawab, "Islam". Jawaban salah pertanyaan jenis kelamin dengan jawaban Islam itu bukan hanya dilakukan Asmad. Munaji, saksi pada sidang ketiga juga menjawab hal yang sama.
Karena itu, dengan berseloroh majelis hakim meminta Munaji tidak usah membuka celana ketika ditanya jenis kelaminnya.
Munaji memang lebih parah lagi karena lelaki yang mengaku tidak bisa baca tulis itu tidak bisa menjawab ketika ditanya warga negara mana. Berkali-kali, hakim Letkol Yan Ahmad Mulaya mengarahkan agar Munaji bisa menjawab bahwa warga negaranya adalah Indonesia.
Awalnya ia menjawab, sebagai warga negara Pasuruan. Karena itu, hakim kemudian membimbing dengan mengatakan bahwa negara kita ini bernama Indonesia. Namun setelah ditanya lagi warga negara mana, Munaji hanya terdiam. Adegan itu terjadi berulang-ulang.
"Wah, bahaya ini, kalau warga negaranya saja tidak tahu," kata Letkol Yan Ahmad Mulyana.
Setelah persidangan berjalan, tiba giliran penasehat hukum memberikan pertanyaan. Saat itu, Letkol Bahrunsyah yang juga Kepala Dinas Hukum Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) meminta saksi berkata jujur karena sudah disumpah di bawah kitab suci.
Bahrun bertanya, saksi takut kepada siapa? Munaji menjawab, "Tuhan Pak," dengan tangkas, bahkan terkesan mendahului pertanyaan. "Kalau kepada Malaikat apa tidak takut?" tanya Bahrun.
"Tidak pak," jawab Munaji dengan cepat tanpa ekspresi apapun.
Tidak hanya itu, seringkali dalam persidangan tersebut, saksi memberikan penjelasan di luar pertanyaan hakim, oditur maupun penasehat hukum marinir. Selain karena terburu-burunya saksi menjawab, hal lain karena hambatan komunikasi.
Kondisi itu juga menimbulkan konsekuensi hukum yang merugikan saksi. Misalnya seorang saksi menjawab, "tidak" ketika ditanya apakah saat kejadian sebelum penembakan, ia melihat para marinir berhadapan dengan puluhan warga. Namun beberapa saat kemudian, jawaban, "tidak" diralat sendiri.
Jawaban yang seolah-olah tidak konsisten itu sebetulnya bersumber dari pemahaman yang salah terhadap pertanyaan. Bagi orang dengan budaya dan bahasa madura, berhadapan itu bisa bermakna, sudah berada dalam posisi siap "bertempur" atau siap berkelahi.
Karena itu, secara spontan, seorang saksi menjawab, "tidak berhadapan" pada pertanyaan pertama. Namun ketika menyadari bahwa maksud pertanyaan berhadapan itu berbeda dengan pola pikirnya, saksi itu menjawab, "berhadapan".
Jawaban-jawaban polos seperti itu memang menyegarkan dalam sidang militer tersebut, tapi sekaligus memprihatinkan karena betapa masih terbelakangnya warga Indonesia ini. Kewarganegarannya saja mereka tidak tahu.
Para saksi itu adalah masyarakat yang tinggal sekitar 60 kilometer dari Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bagaimana dengan warga lain yang rumahnya beratus-ratus kilometer dari kota.
Kenyataan ini juga menimbulkan keprihatinan dan ironi karena pengadilan tidak memberikan ruang kepada para saksi untuk memberikan keterangan secara "nyaman", misalnya dengan menggunakan penerjemah. Karena sesuai pengakuan saksi, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar.
Saksi Juma`atun yang mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terus terang meminta agar diizinkan menggunakan bahasa madura dalam memberikan keterangan. Namun majelis hakim meminta agar lelaki yang anaknya, Dewi Khotijah tewas dalam penembakan itu tetap berbahasa Indonesia.
Tim Lembaga Hukum dan Hak Azasi Manusia (Lakumham) DPW PKB Jatim yang selama ini mendampingi warga Alastologo mempertanyakan kebijaksanaan hakim militer yang tidak memperkenankan permintaan saksi, Juma`atun agar bisa memberikan keterangan dalam bahasa ibu.
"Itu semua wewenang majelis hakim, tapi di KUHAP itu diatur bahwa jika saksi tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik harus disediakan penerjemah. Sejak awal, para saksi itu banyak yang tidak mengerti betul pertanyaan dari hakim, oditur maupun pengacara," kata salah seorang tim Lakumham PKB Jatim, Andi Rakmono SH.
Komunikasi yang mengalami hambatan itu, katanya, akhirnya menimbulkan pernyataan yang seolah-olah tidak konsisten dari para saksi. Tapi, ia kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya merupakan wewenang majelis hakim.
"Kami tidak memiliki wewenang apa-apa karena kami hanya mendampingi warga saat pemeriksaan oleh penyidik karena mereka ketakutan. Untuk sekarang, kami tidak masuk ke persidangan membantu warga," katanya.
Padahal, hambatan komunikasi itu menyebabkan saksi bisa dianggap memberikan keterangan bohong. Hal itu juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi saksi karena bisa menjadi saksi dengan memberikan keterangan bohong tadi.
Ruhut Sitompul bahkan sempat mengingatkan saksi agar memberikan keterangan yang jujur karena jika memberikan keterangan bohong bisa dipenjara tujuh tahun.
"Untung ini pengadilan militer, kalau di pengadilan sipil, memberikan keterangan yang tidak jujur bisa dipenjara tujuh tahun. Banyak kesaksian yang tidak jujur," katanya saat menanyakan kronologis penembakan yang menewaskan empat warga Alastlogo kepada saksi, Rohman.
Saat itu, Rohman ditanya apakah pernah ke Surabaya. Rohman menjawab pernah, begitu juga saat ditanya apakah pernah ke Papua. Saksi menjawab, tidak pernah, ketika ditanya apakah pernah ke Sumatera Utara, Kalimantan atau ke Sulawesi.
Namun saat ditegaskan kembali oleh Ruhut apakah Rohman pernah ke Papua, ia menjawab, "Tidak pak". Ketika ditanya kembali, apakah pernah ke Papua, ia menjawab, "Tidak mengerti". Karena itu kemudian Ruhut meminta saksi agar tidak mengarang-ngarang jawaban.
Andi Rakmono juga menilai, jalannya sidang kasus penembakan dengan 13 tedakwa anggora marinir hanya menguntungkan terdakwa.
"Jelas sangat menguntungkan marinir karena saksi seolah-olah inkonsistensi dalam memberikan keterangan. Apalagi, oditur sepertinya tidak bisa membertahankan dakwaannya. Sebetulnya dakwaannya sudah sangat tajam, tapi kok tidak dipertahankan," katanya.
Menurut dia, seharusnya penasehat hukum marinir tidak bisa mengutarakan bahwa keterangan para saksi dari warga Alastlogo seolah-olah sudah ada yang mengatur sehingga terkesan seragam. Semua itu menjadi hak saksi untuk memberikan keterangan sesuai pengetahuannya.
Tapi, Andi tidak mau menyimpulkan bahwa para saksi itu justru disudutkan oleh pengacara marinir.
Ia juga menolak pertanyaan apakah para saksi itu berada dalam kondisi tekanan saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, oditur dan pengacara marinir.
Sidang penembakan yang terjadi di areal Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL di Grati, Pasuruan itu digelar dua kali seminggu, yakni Rabu dan Kamis. Para terdakwa itu adalah, Lettu (Mar) Budi Santoso, Serka Wahyudi, Praka Agus Triyadi, Serda Abd Rahman, Koptu Moh Suratno, Koptu Totok, Kopda Warsin, Kopda Helmi Widiantoro, Kopka Lihari, Kopda Slamet Riyadi, Praka Moh Yunus, Praka Sariman, dan Pratu Suyatno. (T.M026/B/s018/s018) 04-04-2008 13:49:53 NNNN
Surabaya, 4/4 (ANTARA) - Sidang dengan terdakwa 13 marinir di Pengadilan Militer III-2 Surabaya itu dijaga puluhan anggota polisi militer TNI AD, polisi militer TNI AL, provost, bahkan sejumlah polisi.
Pengamanan puluhan petugas lintas angkatan itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, misalnya massa atau keluarga korban penembakan dari Desa Alastologo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, yang hadir tak bisa mengendalikan emosi melihat para terdakwa.
Kenyataan di dalam persidangan justru berbeda dengan di luar. Persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Letkol (CHK) Yan Ahmad Mulyana dengan anggota Letkol Laut (KH) Bambang Angkoso dan Mayor (CHK) Joko Sasmito itu justru menampilkan banyak "dagelan", khususnya dari para saksi.
Meskipun demikian, para hakim oditur militer yang terdiri atas, Letkol (CHK) Agung Iswanto, Kapten (Sus) Darwin H dan Kapten Laut (KH) I Made Adnyana, 13 marinir dan pengacaranya, antara lain Ruhut Sitompul SH dan Letkol Laut (KH) Bahrunsyah, hanya tersenyum mendengar "dagelan" itu .
Berbeda dengan para pengunjung yang terdiri atas anggota marinir, wartawan, polisi militer dan sejumlah warga Alastlogo yang tidak kuasa menahan tawanya mendengar penuturan saksi di depan pengadilan.
Dagelan pertama muncul ketika sidang perdana kasus penembakan yang terjadi pada 30 Mei 2007 dan menewaskan empat warga Alastlogo itu memeriksa saksi bernama Nasum. Lelaki yang sehari-hari menggunakan bahasa madura itu kesulitan menjawab pertanyaan hakim ketika ditanya warga negaranya.
Karena merasa lahir dan besar di Alastlogo yang tanah di wilayah itu menjadi sengketa dengan TNI AL, ia menjawab, "Alastlogo pak".
Sidang pertama itu digelar, Rabu, 26 Maret, dan dilanjutkan dengan sidang berikutnya, Rabu (2/4) dan Kamis (3/4).
Lebih lucu lagi ketika Asmad dimintai keterangan.
Ia salah menjawab ketika ditanya jenis kelaminnya. Kemungkinan karena salah dengar, ia menjawab, "Islam". Jawaban salah pertanyaan jenis kelamin dengan jawaban Islam itu bukan hanya dilakukan Asmad. Munaji, saksi pada sidang ketiga juga menjawab hal yang sama.
Karena itu, dengan berseloroh majelis hakim meminta Munaji tidak usah membuka celana ketika ditanya jenis kelaminnya.
Munaji memang lebih parah lagi karena lelaki yang mengaku tidak bisa baca tulis itu tidak bisa menjawab ketika ditanya warga negara mana. Berkali-kali, hakim Letkol Yan Ahmad Mulaya mengarahkan agar Munaji bisa menjawab bahwa warga negaranya adalah Indonesia.
Awalnya ia menjawab, sebagai warga negara Pasuruan. Karena itu, hakim kemudian membimbing dengan mengatakan bahwa negara kita ini bernama Indonesia. Namun setelah ditanya lagi warga negara mana, Munaji hanya terdiam. Adegan itu terjadi berulang-ulang.
"Wah, bahaya ini, kalau warga negaranya saja tidak tahu," kata Letkol Yan Ahmad Mulyana.
Setelah persidangan berjalan, tiba giliran penasehat hukum memberikan pertanyaan. Saat itu, Letkol Bahrunsyah yang juga Kepala Dinas Hukum Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) meminta saksi berkata jujur karena sudah disumpah di bawah kitab suci.
Bahrun bertanya, saksi takut kepada siapa? Munaji menjawab, "Tuhan Pak," dengan tangkas, bahkan terkesan mendahului pertanyaan. "Kalau kepada Malaikat apa tidak takut?" tanya Bahrun.
"Tidak pak," jawab Munaji dengan cepat tanpa ekspresi apapun.
Tidak hanya itu, seringkali dalam persidangan tersebut, saksi memberikan penjelasan di luar pertanyaan hakim, oditur maupun penasehat hukum marinir. Selain karena terburu-burunya saksi menjawab, hal lain karena hambatan komunikasi.
Kondisi itu juga menimbulkan konsekuensi hukum yang merugikan saksi. Misalnya seorang saksi menjawab, "tidak" ketika ditanya apakah saat kejadian sebelum penembakan, ia melihat para marinir berhadapan dengan puluhan warga. Namun beberapa saat kemudian, jawaban, "tidak" diralat sendiri.
Jawaban yang seolah-olah tidak konsisten itu sebetulnya bersumber dari pemahaman yang salah terhadap pertanyaan. Bagi orang dengan budaya dan bahasa madura, berhadapan itu bisa bermakna, sudah berada dalam posisi siap "bertempur" atau siap berkelahi.
Karena itu, secara spontan, seorang saksi menjawab, "tidak berhadapan" pada pertanyaan pertama. Namun ketika menyadari bahwa maksud pertanyaan berhadapan itu berbeda dengan pola pikirnya, saksi itu menjawab, "berhadapan".
Jawaban-jawaban polos seperti itu memang menyegarkan dalam sidang militer tersebut, tapi sekaligus memprihatinkan karena betapa masih terbelakangnya warga Indonesia ini. Kewarganegarannya saja mereka tidak tahu.
Para saksi itu adalah masyarakat yang tinggal sekitar 60 kilometer dari Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bagaimana dengan warga lain yang rumahnya beratus-ratus kilometer dari kota.
Kenyataan ini juga menimbulkan keprihatinan dan ironi karena pengadilan tidak memberikan ruang kepada para saksi untuk memberikan keterangan secara "nyaman", misalnya dengan menggunakan penerjemah. Karena sesuai pengakuan saksi, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar.
Saksi Juma`atun yang mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terus terang meminta agar diizinkan menggunakan bahasa madura dalam memberikan keterangan. Namun majelis hakim meminta agar lelaki yang anaknya, Dewi Khotijah tewas dalam penembakan itu tetap berbahasa Indonesia.
Tim Lembaga Hukum dan Hak Azasi Manusia (Lakumham) DPW PKB Jatim yang selama ini mendampingi warga Alastologo mempertanyakan kebijaksanaan hakim militer yang tidak memperkenankan permintaan saksi, Juma`atun agar bisa memberikan keterangan dalam bahasa ibu.
"Itu semua wewenang majelis hakim, tapi di KUHAP itu diatur bahwa jika saksi tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik harus disediakan penerjemah. Sejak awal, para saksi itu banyak yang tidak mengerti betul pertanyaan dari hakim, oditur maupun pengacara," kata salah seorang tim Lakumham PKB Jatim, Andi Rakmono SH.
Komunikasi yang mengalami hambatan itu, katanya, akhirnya menimbulkan pernyataan yang seolah-olah tidak konsisten dari para saksi. Tapi, ia kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya merupakan wewenang majelis hakim.
"Kami tidak memiliki wewenang apa-apa karena kami hanya mendampingi warga saat pemeriksaan oleh penyidik karena mereka ketakutan. Untuk sekarang, kami tidak masuk ke persidangan membantu warga," katanya.
Padahal, hambatan komunikasi itu menyebabkan saksi bisa dianggap memberikan keterangan bohong. Hal itu juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi saksi karena bisa menjadi saksi dengan memberikan keterangan bohong tadi.
Ruhut Sitompul bahkan sempat mengingatkan saksi agar memberikan keterangan yang jujur karena jika memberikan keterangan bohong bisa dipenjara tujuh tahun.
"Untung ini pengadilan militer, kalau di pengadilan sipil, memberikan keterangan yang tidak jujur bisa dipenjara tujuh tahun. Banyak kesaksian yang tidak jujur," katanya saat menanyakan kronologis penembakan yang menewaskan empat warga Alastlogo kepada saksi, Rohman.
Saat itu, Rohman ditanya apakah pernah ke Surabaya. Rohman menjawab pernah, begitu juga saat ditanya apakah pernah ke Papua. Saksi menjawab, tidak pernah, ketika ditanya apakah pernah ke Sumatera Utara, Kalimantan atau ke Sulawesi.
Namun saat ditegaskan kembali oleh Ruhut apakah Rohman pernah ke Papua, ia menjawab, "Tidak pak". Ketika ditanya kembali, apakah pernah ke Papua, ia menjawab, "Tidak mengerti". Karena itu kemudian Ruhut meminta saksi agar tidak mengarang-ngarang jawaban.
Andi Rakmono juga menilai, jalannya sidang kasus penembakan dengan 13 tedakwa anggora marinir hanya menguntungkan terdakwa.
"Jelas sangat menguntungkan marinir karena saksi seolah-olah inkonsistensi dalam memberikan keterangan. Apalagi, oditur sepertinya tidak bisa membertahankan dakwaannya. Sebetulnya dakwaannya sudah sangat tajam, tapi kok tidak dipertahankan," katanya.
Menurut dia, seharusnya penasehat hukum marinir tidak bisa mengutarakan bahwa keterangan para saksi dari warga Alastlogo seolah-olah sudah ada yang mengatur sehingga terkesan seragam. Semua itu menjadi hak saksi untuk memberikan keterangan sesuai pengetahuannya.
Tapi, Andi tidak mau menyimpulkan bahwa para saksi itu justru disudutkan oleh pengacara marinir.
Ia juga menolak pertanyaan apakah para saksi itu berada dalam kondisi tekanan saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, oditur dan pengacara marinir.
Sidang penembakan yang terjadi di areal Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL di Grati, Pasuruan itu digelar dua kali seminggu, yakni Rabu dan Kamis. Para terdakwa itu adalah, Lettu (Mar) Budi Santoso, Serka Wahyudi, Praka Agus Triyadi, Serda Abd Rahman, Koptu Moh Suratno, Koptu Totok, Kopda Warsin, Kopda Helmi Widiantoro, Kopka Lihari, Kopda Slamet Riyadi, Praka Moh Yunus, Praka Sariman, dan Pratu Suyatno. (T.M026/B/s018/s018) 04-04-2008 13:49:53 NNNN
Comments