TKDN dan Made in Indonesia, Mimpi yang Bikin Ngiler
Indonesia, 1 Agustus 2017
Hari ini mungkin salah satu yang bisa dibahas adalah TKDN, istilah yang kalau dipanjangin artinya tingkat kandungan dalam negeri.
Faktor kekinian yang membuat TKDN jadi sorotan adalah lagi-lagi pernyataan pak Presiden Joko Widodo hari ini dalam pengantar rapat terbatas di Kantor Presiden, Selasa (1/8/2017).
Pak Jokowi meminta implementasi tingkat komponen dalam negeri atau TKDN di kementerian/lembaga dan BUMN tidak sekadar menjadi administratif pelengkap agar bisa mengurangi ketergantungan impor.
“Ini tolong digaris bawahi karena saya lihat sekedar kebijakan teknis administratif, yang diperlukan sebagai pelengkap syarat dalam pengadaan jasa. Itu saya lihat di kementerian, BUMN ataupun lembaga jadi tolong digaris bawahi konsistensi kita dalam menjalankan kebijakan TKDN,” kata beliau.
http://industri.bisnis.com/read/20170801/257/676965/kurangi-ketergantungan-impor-presiden-jokowi-ingatkan-tkdn-di-bumn
Kalau kata istilah baku, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah nilai isian dalam persentase dari komponen produksi dalam negeri termasuk biaya pengangkutannya yang ditawarkan dalam item penawaran harga barang maupun jasa.
Nah, pak Jokowi menyebut TKDN bukan hanya penting untuk mengurangi ketergantungan pada produk-produk impor, tetapi bisa juga mendorong masuknya investasi pada sektor industri. Peningkatan komponen dalam negeri juga bisa memperkuat industri nasional serta membuka lapangan pekerjaan.
Beliau juga mengingatkan semua investasi harus bisa memperkuat terjadinya transfer teknologi, menghidupkan industri pendukung, hingga adanya energi baru terbarukan. Tentu saja semua itu akan berujung pada perekonomian Indonesia yang kian maju.
Pak Jokowi juga meminta kebijakan TKDN harus di tempatkan sebagai kebijakan strategis yang harus di jalankan secara konsisten.
Produk yang dihasilkan dalam industri nasional akan mampu bersaing dalam produk impor baik dari sisi harga maupun sisi kualitas, jika terus diperkuat. Kebijakan tersebut bisa menjadi fondasi bagi Indonesia untuk membangun industri nasional yang kompetitif.
“Saya masih melihat, saya ulangi di BUMN, terutama yang gede-gede masih banyak yang belum melihat TKDN ini. Pada rapat evaluasi ini, sekali lagi saya ingin menekankan bahwa untuk urusan TKDN akan saya ikuti baik lewat BPKP maupun lewat cara yang lain,” ujarnya.
Pada Mei 2017, waktu itu katanya mau ada beleid khusus yang akan memfasilitasi pembentukan tim koordinasi pemantauan implementasi penggunaan produk dalam negeri lintas sektor.
http://koran.bisnis.com/read/20170505/451/650954/tim-pengawas-tkdn-penggunaan-komponen-lokal-diperketat
Berdasarkan draf peraturan presiden tentang pemantauan dan pengendalian implementasi penggunaan produk dalam negeri dalam kegiatan pembangunan, tim itu diketuai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Sementara itu, wakil ketua tim diisi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan ketua harian diisi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Anggota terdiri dari 19 menteri dan kepala badan mulai dari Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan hingga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong serta Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha Syarkawi Rauf.
Ruang lingkup pengendalian meliputi penyelenggaraan fungsi pengawasan terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban akuntabilitas penggunaan produksi dalam negeri pada pengadaan barang/jasa.
Nah kini, sentilan pak Presiden kok ya rasanya pas aja. Selama ini, produk Made in Indonesia kok seperti jarang terdengar. Jangankan itu, produk hibrida campuran teknologi asing dan lokal rasanya banyak tapi jarang terdengar di dunia netizen misalnya.
Dulu kita begitu bangga dengan pak Habibie yang menghidupkan kembali pabrik Nurtanio a.k.a PT Dirgantara Indonesia sekarang. Indonesia segera bikin pesawat sendiri, kalimat yang membuat saya sempat berangan-angan suatu saat punya pesawat sendiri.
Hasilnya, kini kita bisa lihat ada CN 235 yang entahlah kandungan lokalnya berapa, tapi tetap bikin saya bangga.
Di laut juga kita berjaya. Awal Mei 2017, PT PAL Indonesia meluncurkan dua kapal perang yakni jenis Strategic Sealift Vessel (SSV) Davao Del Sur-602, itu ekspor kedua untuk Filipina.
Keren kan? Semua karya anak bangsa loh.
Untuk barang konsumer? Sepertinya kita semua masih tergantung ke produk asing. Lihat saja, mobil, motor, handphone, dan bahkan fidget spinner!
Untuk handphone atau ponsel, terutama ponsel cerdas sebenarnya sudah agak mendingan. Maklum saja industri ponsel ini menggunakan teknologi yang mirip-mirip. Tiru-tiru atau cangkok-cangkok, maka jadilah. Itu kata saya aja loh.
Ketegasan pemerintah dalam memaksakan konten lokal smartphone mulai memberikan hasil. Per Juli 2017, paling tidak sudah ada 12 merek yang telah mengantongi sertifikat TKDN di atas 30% atau di atas syarat minimal 30% yang ditetapkan bagi perangkat berteknologi 4G LTE yang boleh beredar pada 2017.
http://koran.bisnis.com/read/20170801/244/676786/ponsel-pintar-jangan-berhenti-di-kandungan-lokal-30
Mereka sepertinya taat pada Peraturan Menteri Perindustiran (Permenperin) Nomor 65 tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet.
Padahal, sebelumnya tidak sedikit produsen ponsel pintar yang menolak dengan berbagai alasan. Salah satu alasan andalan para penolak itu adalah pemaksaan konten lokal akan membuat konsumen Indonesia ketinggalan teknologi. Tidak bisa menikmati teknologi terbaru secepat konsumen di belahan dunia lain.
Tidak kuat menahan keteguhan pemerintah, para vendor menempuh cara lain. Tahun lalu, mereka berebutan mengurus sertifikat TKDN ponsel 4G pada 2016. Ponsel pintar yang meraih sertifikat sebelum 2017, masih dipasarkan di Tanah Air dengan konten lokal di bawah 30%. Memasuki tahun ini, vendor ponsel tidak punya pilihan. Tunduk atau keluar dari pasar Indonesia.
Pemerintah punya alasan untuk bersikeras soal TKDN. Kewajiban memenuhi kandungan lokal sebesar 30% tersebut dilakukan oleh pemerintah justru guna membantu industri elektronik dalam negeri bertahan di saat tren teknologi seluler bergerak begitu cepat dan masif. Di saat perusahaan manufaktur lokal mulai memproduksi perangkat ponsel yang kini disebut sebagai feature phone, konsumen dengan cepat beralih ke smartphone.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, sepatutnya mengingatkan kembali ‘kesuksesan yang gagal’ dalam investasi lampu swabalast ke Indonesia. Kewajiban dalam memenuhi Standard Nasional Indonesia (SNI) membuat banyak perusahaan asing ‘terpaksa’ mendirikan pabrik di sini.
Sayangnya, pabrik lampu swabalast yang berdiri di Tanah Air dalam kurun beberapa tahun itu kemudian menjadi ‘usang’ akibat konsumen dengan cepat berpindah ke lampu jenis LED. Akhirnya, tidak sedikit produsen lampu lokal bahkan perusahaan asing yang membangun pabrik di sini terpaksa gulung tikar. Sebagian dari pelaku itu akhirnya memilih menjadi importir lampu LED dari China.
Di kendaraan juga demikian. Dulu zaman pak Harto, saya terlena dengan keberadaan mobil Timor yang kemudian akhirnya saya tahu kalau itu produk dari Korea yang memakai nama lokal.
Pada 2015, saya dapat kesempatan ke Nanning, kota paling ‘hijau’ di China. Memang modern sih tuh kota yang namanya mungkin jarang terdengar di telinga Anda.
Satu yang bikin saya ngiler adalah Nanning telah mengikuti kota-kota China lainnya, semua sepeda motornya pakai baterai alias pakai listrik. Dan itu produk lokal mereka sendiri, tanpa banyak diskusi dan debat kusir.
Hebatnya lagi, penduduk Nanning menggunakan motor seperti kita di sini. Ramai, padat, menyemut tiap pagi ataupun sore. Bedanya, gak ada suara motor, tiba-tiba nyambar aja.
Di Indonesia sebenarnya memang sudah ada niat bikin mobil atau motor listrik. Tetapi seperti biasa, mentok di debat kusir dan manis di mulut aja.
Ada lah yang bilang gak usah pakai listrik, pakai aja gas dulu kayak bajaj yang biru itu. Ada juga yang menyanggah bilang konverter tabung gas bikin ribet dan takut meledak. Ada juga yang bilang baterai motor listrik sulit..... bla bla bla....
Bagi saya mungkin orang kita memang sejatinya cuma punya jiwa konsumer. Kita seakan puas jadi konsumen. Esensi kebanggaan akan produk lokal seakan tenggelam dengan merek asing. No pride at all.
So, saya dukung kalau pak Jokowi menyentil kembali pentingnya TKDN karena seperti kata pak Alim Markus; Cintailah produk-produk Indonesia
Hari ini mungkin salah satu yang bisa dibahas adalah TKDN, istilah yang kalau dipanjangin artinya tingkat kandungan dalam negeri.
Faktor kekinian yang membuat TKDN jadi sorotan adalah lagi-lagi pernyataan pak Presiden Joko Widodo hari ini dalam pengantar rapat terbatas di Kantor Presiden, Selasa (1/8/2017).
Pak Jokowi meminta implementasi tingkat komponen dalam negeri atau TKDN di kementerian/lembaga dan BUMN tidak sekadar menjadi administratif pelengkap agar bisa mengurangi ketergantungan impor.
“Ini tolong digaris bawahi karena saya lihat sekedar kebijakan teknis administratif, yang diperlukan sebagai pelengkap syarat dalam pengadaan jasa. Itu saya lihat di kementerian, BUMN ataupun lembaga jadi tolong digaris bawahi konsistensi kita dalam menjalankan kebijakan TKDN,” kata beliau.
http://industri.bisnis.com/read/20170801/257/676965/kurangi-ketergantungan-impor-presiden-jokowi-ingatkan-tkdn-di-bumn
Kalau kata istilah baku, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah nilai isian dalam persentase dari komponen produksi dalam negeri termasuk biaya pengangkutannya yang ditawarkan dalam item penawaran harga barang maupun jasa.
Nah, pak Jokowi menyebut TKDN bukan hanya penting untuk mengurangi ketergantungan pada produk-produk impor, tetapi bisa juga mendorong masuknya investasi pada sektor industri. Peningkatan komponen dalam negeri juga bisa memperkuat industri nasional serta membuka lapangan pekerjaan.
Beliau juga mengingatkan semua investasi harus bisa memperkuat terjadinya transfer teknologi, menghidupkan industri pendukung, hingga adanya energi baru terbarukan. Tentu saja semua itu akan berujung pada perekonomian Indonesia yang kian maju.
Pak Jokowi juga meminta kebijakan TKDN harus di tempatkan sebagai kebijakan strategis yang harus di jalankan secara konsisten.
Produk yang dihasilkan dalam industri nasional akan mampu bersaing dalam produk impor baik dari sisi harga maupun sisi kualitas, jika terus diperkuat. Kebijakan tersebut bisa menjadi fondasi bagi Indonesia untuk membangun industri nasional yang kompetitif.
“Saya masih melihat, saya ulangi di BUMN, terutama yang gede-gede masih banyak yang belum melihat TKDN ini. Pada rapat evaluasi ini, sekali lagi saya ingin menekankan bahwa untuk urusan TKDN akan saya ikuti baik lewat BPKP maupun lewat cara yang lain,” ujarnya.
Pada Mei 2017, waktu itu katanya mau ada beleid khusus yang akan memfasilitasi pembentukan tim koordinasi pemantauan implementasi penggunaan produk dalam negeri lintas sektor.
http://koran.bisnis.com/read/20170505/451/650954/tim-pengawas-tkdn-penggunaan-komponen-lokal-diperketat
Berdasarkan draf peraturan presiden tentang pemantauan dan pengendalian implementasi penggunaan produk dalam negeri dalam kegiatan pembangunan, tim itu diketuai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Sementara itu, wakil ketua tim diisi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan ketua harian diisi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Anggota terdiri dari 19 menteri dan kepala badan mulai dari Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan hingga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong serta Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha Syarkawi Rauf.
Ruang lingkup pengendalian meliputi penyelenggaraan fungsi pengawasan terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban akuntabilitas penggunaan produksi dalam negeri pada pengadaan barang/jasa.
Nah kini, sentilan pak Presiden kok ya rasanya pas aja. Selama ini, produk Made in Indonesia kok seperti jarang terdengar. Jangankan itu, produk hibrida campuran teknologi asing dan lokal rasanya banyak tapi jarang terdengar di dunia netizen misalnya.
Dulu kita begitu bangga dengan pak Habibie yang menghidupkan kembali pabrik Nurtanio a.k.a PT Dirgantara Indonesia sekarang. Indonesia segera bikin pesawat sendiri, kalimat yang membuat saya sempat berangan-angan suatu saat punya pesawat sendiri.
Hasilnya, kini kita bisa lihat ada CN 235 yang entahlah kandungan lokalnya berapa, tapi tetap bikin saya bangga.
Di laut juga kita berjaya. Awal Mei 2017, PT PAL Indonesia meluncurkan dua kapal perang yakni jenis Strategic Sealift Vessel (SSV) Davao Del Sur-602, itu ekspor kedua untuk Filipina.
Keren kan? Semua karya anak bangsa loh.
Untuk barang konsumer? Sepertinya kita semua masih tergantung ke produk asing. Lihat saja, mobil, motor, handphone, dan bahkan fidget spinner!
Untuk handphone atau ponsel, terutama ponsel cerdas sebenarnya sudah agak mendingan. Maklum saja industri ponsel ini menggunakan teknologi yang mirip-mirip. Tiru-tiru atau cangkok-cangkok, maka jadilah. Itu kata saya aja loh.
Ketegasan pemerintah dalam memaksakan konten lokal smartphone mulai memberikan hasil. Per Juli 2017, paling tidak sudah ada 12 merek yang telah mengantongi sertifikat TKDN di atas 30% atau di atas syarat minimal 30% yang ditetapkan bagi perangkat berteknologi 4G LTE yang boleh beredar pada 2017.
http://koran.bisnis.com/read/20170801/244/676786/ponsel-pintar-jangan-berhenti-di-kandungan-lokal-30
Mereka sepertinya taat pada Peraturan Menteri Perindustiran (Permenperin) Nomor 65 tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet.
Padahal, sebelumnya tidak sedikit produsen ponsel pintar yang menolak dengan berbagai alasan. Salah satu alasan andalan para penolak itu adalah pemaksaan konten lokal akan membuat konsumen Indonesia ketinggalan teknologi. Tidak bisa menikmati teknologi terbaru secepat konsumen di belahan dunia lain.
Tidak kuat menahan keteguhan pemerintah, para vendor menempuh cara lain. Tahun lalu, mereka berebutan mengurus sertifikat TKDN ponsel 4G pada 2016. Ponsel pintar yang meraih sertifikat sebelum 2017, masih dipasarkan di Tanah Air dengan konten lokal di bawah 30%. Memasuki tahun ini, vendor ponsel tidak punya pilihan. Tunduk atau keluar dari pasar Indonesia.
Pemerintah punya alasan untuk bersikeras soal TKDN. Kewajiban memenuhi kandungan lokal sebesar 30% tersebut dilakukan oleh pemerintah justru guna membantu industri elektronik dalam negeri bertahan di saat tren teknologi seluler bergerak begitu cepat dan masif. Di saat perusahaan manufaktur lokal mulai memproduksi perangkat ponsel yang kini disebut sebagai feature phone, konsumen dengan cepat beralih ke smartphone.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, sepatutnya mengingatkan kembali ‘kesuksesan yang gagal’ dalam investasi lampu swabalast ke Indonesia. Kewajiban dalam memenuhi Standard Nasional Indonesia (SNI) membuat banyak perusahaan asing ‘terpaksa’ mendirikan pabrik di sini.
Sayangnya, pabrik lampu swabalast yang berdiri di Tanah Air dalam kurun beberapa tahun itu kemudian menjadi ‘usang’ akibat konsumen dengan cepat berpindah ke lampu jenis LED. Akhirnya, tidak sedikit produsen lampu lokal bahkan perusahaan asing yang membangun pabrik di sini terpaksa gulung tikar. Sebagian dari pelaku itu akhirnya memilih menjadi importir lampu LED dari China.
Di kendaraan juga demikian. Dulu zaman pak Harto, saya terlena dengan keberadaan mobil Timor yang kemudian akhirnya saya tahu kalau itu produk dari Korea yang memakai nama lokal.
Pada 2015, saya dapat kesempatan ke Nanning, kota paling ‘hijau’ di China. Memang modern sih tuh kota yang namanya mungkin jarang terdengar di telinga Anda.
Satu yang bikin saya ngiler adalah Nanning telah mengikuti kota-kota China lainnya, semua sepeda motornya pakai baterai alias pakai listrik. Dan itu produk lokal mereka sendiri, tanpa banyak diskusi dan debat kusir.
Hebatnya lagi, penduduk Nanning menggunakan motor seperti kita di sini. Ramai, padat, menyemut tiap pagi ataupun sore. Bedanya, gak ada suara motor, tiba-tiba nyambar aja.
Di Indonesia sebenarnya memang sudah ada niat bikin mobil atau motor listrik. Tetapi seperti biasa, mentok di debat kusir dan manis di mulut aja.
Ada lah yang bilang gak usah pakai listrik, pakai aja gas dulu kayak bajaj yang biru itu. Ada juga yang menyanggah bilang konverter tabung gas bikin ribet dan takut meledak. Ada juga yang bilang baterai motor listrik sulit..... bla bla bla....
Bagi saya mungkin orang kita memang sejatinya cuma punya jiwa konsumer. Kita seakan puas jadi konsumen. Esensi kebanggaan akan produk lokal seakan tenggelam dengan merek asing. No pride at all.
So, saya dukung kalau pak Jokowi menyentil kembali pentingnya TKDN karena seperti kata pak Alim Markus; Cintailah produk-produk Indonesia
Comments