Tragedi Tinombala dan Cerita Masykoer
Cerita di bawah ini pernah menjadi inspirasi film Operasi Tinombala denga pemain WD Mochtar dan Tuty Kirana..
Tragedi Tinombala 1977, Kesaksian Mochammad Masykoer
Tragedi Tinombala yang terjadi 29 Maret 1977 menjadi berita besar saat itu. Namun Mochammad Masykoer, salah seorang selamat yang saat itu menjadi kopilot, tak pernah terdengar ceritanya. Angkasa membujuknya untuk menceritakan pengalaman-nya, “Saya tak ingin ada yang merasa terluka, terutama keluarga korban.”
Ada yang melayang dalam ingatannya, sesaat setelah ia terlempar. Sepertinya ia tertegun Setelah diingat-ingat, kejadian yang ia alami itu persis seperti yang terjadi dalam mimpinya tadi malam. Saat makan pagi bersama Eddy Krisnawan dan Luki Lukardi, rekan-rekannya sesama pilot di mess Merpati Nusantara di Manado, ia sempat menceritakan mimpinya itu. “Luk, gua mimpi jatuh, tapi gua selamat.” “Ah, lu,” kata Luki, mengabaikannya, “Saya juga sering mimpi mati, tapi saya sendiri ikut melayat.”
Tak ada kejadian aneh-aneh pagi itu. Bersama Capt Anwar Ahmad, ia mengecek pesawat DHC-6 Twin Otter yang akan diterbangkannya ke Luwuk. Pesawat berangkat dari Bandara Sam Ratulangi, Manado, pukul 06.30 waktu setempat. Begitu juga saat mendarat di Luwuk, kemudian ke Poso dan ke Palu. Dari Palu menuju Toli-Toli yang memakan waktu tempuh sekitar satu jam inilah kecelakaan itu terjadi. “Padahal 5 sampai 10 menit lagi kita mendarat di Toli-Toli,” katanya.
Kecelakaan itu terjadi hari Selasa, 29 Maret 1977 pukul 10.55 waktu setempat atau GMT 02.55. Lokasi ditemukannya pesawat berregistrasi PK-NUP itu sekitar 50 meter dari puncak Gunung Tinombala dengan ketinggian 2.185 meter di kawasan pegunungan Bosagong, Sulawesi Tengah. Pesawat Twin Otter itu membawa 20 penumpang dan tiga awak pesawat.
Masykoer tidak pingsan saat kecelakaan itu terjadi. Karena ia dapat mengingat dengan jelas kejadiannya dan dapat menceritakan pas impaknya. “Pesawat keluar dari awan, dan di depan sebelah kanan terlihat pepohonan. Pilot ingin menghindari pohon-pohon itu, kami tarik kemudi untuk belok ke kiri,” ceritanya. Cuaca saat itu berkabut, dan memang demikian cuaca di gunung dengan ketinggian di atas 2.000 meter.
Tapi ternyata sayap kanan menebas pohon dan patah, hingga pesawat membelok ke kanan. Sayap kiri pun kena pohon lagi, hingga patah lagi. Ditinggalkan dua sayap yang patah, badan pesawat (fuselage) pun ‘lari’ menembus pepohonan itu.. .. Kemudian nyeri itu terasa. “Tangan kanan tak bisa saya gerakkan. Mata rasanya bengkak dan ada darah mengalir dari hidung. Rupanya ada sobekan di hidung saya,” seraya dipegangnya hidung yang sobek itu. Kemudian dirabanya kedua matanya. “Saya tutup mata kiri saya, wah.. saya buta,” batinnya.
Kursi di sebelah kanan yang ia duduki terlempar beserta tubuhnya, dan jatuh di depan hidung pesawat agak ke sebelah kanan. Posisinya tertelungkup. “Mungkin itu yang menyebabkan wajah sebelah kanan saya hancur dan tulang lengan patah.”
Keajaiban yang Terjadi
Tapi bukan kondisi luka-lukanya yang ada di benaknya. Pikirnya saat itu, “Ini keajaiban. Miracle is still happen. Kursi ini kan lebih kuat dari badan kita. Biasanya bila terjadi kecelakaan seperti ini, badan kita yang terlempar, tapi saya terlempar bersama kursi dalam keadaan masih terikat.” Masykoer sejenak terdiam dari hasil investigasi memang disebutkan bahwa pintu sebelah kanan jebol, padahal pintu di kokpit itu sempit. “Bagaimana bisa saya terlempar ke luar?”
Telinganya mulai terbuka lagi, ketika terdengar “Allahu Akbar Allahu Akbar”. Hujan deras mengguyur.
Tak lama, hujan pun reda. Cuaca kelihatan bersih. “Saya lihat., itu kan kampung.” Dia melepaskan diri dari kursi, dan mengamati sekitarnya. “Saya sempat melihat seseorang tergantung di atas pohon. Saya juga lihat kedua sayap pesawat ada di pepohonan itu. Sayap kanan patah bersama mesinnya, tapi yang kiri saya tak begitu memperhatikan, seberapa panjang patahannya.”
Captain pilot Anwar yang terluka mencoba menolong para penumpang. “Saya ikut membantu. Di dalam pesawat, saya lihat roda patah dan melesat ke dalam badan pesawat menyebabkan seorang penumpang terlempar ke atas menembus atap dengan posisi terbalik. Kami berusaha menyangganya dengan menumpuk koper, karena sangat sulit untuk mengeluarkannya dari posisi tersebut.”
Awak pesawat kemudian mengevaluasi, siapa-siapa yang ada dan siapa-siapa yang meninggal. Aktivitasnya itu yang membuatnya melupakan rasa sakit. Maka ia pun minta izin kepada captain untuk mencari pertolongan. “Dari pada tolong-tolong di sini, nggak akan ada yang dengar. Tuh, di sana ada desa,” katanya, meyakinkan Anwar, hingga pilot pun mengizinkan.
Lintah di Sekujur Tubuh
Masykoer berjalan sendiri turun menyusuri hutan, saat itu sekitar pukul 14.00. Disusurinya hutan yang lebat itu sampai menemukan sungai. Dia mengikuti aliran sungai dan berjalan terus hingga hari menjelang gelap. “Setelah berjalan sekitar tiga jam, saya lelah. Di sana ada batu besar dan lebar. Saya ketiduran di situ.”
Pagi hari, setelah matahari terbit, “Mas, mas.,” panggilan itu mengejutkannya. Rupanya seorang penumpang yang kemudian diketahuinya bernama Hasan Tawil -setelah kecelakaan itu Hasan menjadi ayah angkatnya- juga ikut turun. Hasan yang anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah itu tidak mengalami luka-luka. “Dia pun rupanya tidur tak jauh dari tempat saya ketiduran.”
“Wah, badan Mas banyak lintah,” kata Hasan. “Karena cape, saya nggak merasakan gigitan lintah itu,” ujarnya. Begitu banyak lintah di sekujur tubuhnya “Ratusan, barangkali. Di mata saya yang bengkak pun ada lintahnya.”
Hasan menolong menyabuti lintah-lintah yang sudah gemuk-gemuk itu satu per satu. “Nih lihat, bekasnya tak bisa hilang sampai kini,” katanya sambil memperlihatkan tangannya yang hitam-hitam bekas gigitan lintah, saat ia menceritakan pengalamannya beberapa waktu lalu. “Bagusnya menyabutinya pake bako, mana ada saat itu.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan, dengan tetap mengikuti aliran sungai. Hasan yang Kepala Kwartir Cabang Pramuka di Sulteng rupanya sudah tak asing dengan perjalanan menembus hutan-hutan. Hutan yang dilaluinya pun merupakan wilayahnya, walau belum pernah sampai menembus setinggi itu. Saat akan turun, rupanya Hasan tak melupakan untuk membawa perbekalan. Di jaketnya ada apel, gula-gula coklat, biskuit, air dan susu bubuk dalam kaleng. Suatu kali Masykoer diberi susu. “Saya tak biasa, hingga muntah,” ucapnya.
Kira-kira tengah hari, di seberang sungai ada orang yang memakai tudung dari plastik keresek hitam. “Saya kaget. Tapi setelah kami amati, rupanya ia penumpang pesawat juga.” Selain Hasan dan dirinya, Haji Saleh Midu ternyata juga meninggalkan pesawat. Mereka saling mengikuti, walau sebelumnya saling tidak mengetahui.
Setelah bergabung, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, dengan tak lepas dari sungai. Sungai berbatu-batu itu, hingga mencapai tepian air terjun yang airnya dalam. Terkadang diseberanginya sungai itu menggunakan tali-tali dari akar-akar pohon. Sampailah mereka pada suatu jalan buntu. “Semaknya begitu tinggi dan berduri, tak bisa kami tembus.” Tapi mereka menemukan bolongan di bawah semak-semak itu. Rupanya jalan yang biasa digunakan babi hutan. “Kami masuk ke bolongan itu.” Berhari-hari mereka berjalan, diselingi istirahat dan tidur di gua-gua. “Menjelang gelap kami berhenti untuk tidur,” ceritanya. Yang membuat perjalanan itu begitu sulit adalah kerapnya hujan deras mengguyur. Terkadang gua tempat berbaring pun kebanjiran.
Selama perjalanan tak banyak yang mereka dapat makan. Pernah Hasan menemukan bunga kecil-kecil putih yang ternyata dapat dimakan. Sedangkan makanan yang dibawa Hasan sudah lama habis. Karena itulah, fisik mereka makin lama makin lemah. Bahkan pada hari kelima, ia dan Haji Midu seakan-akan ingin ‘menyerah’, tapi Hasan mendorong mereka untuk tetap kuat berjalan.
Banyak kejadian yang tak pernah terbayangkan akan ditemukannya. Begitu banyak monyet besar dan ular, walau binatang-binatang itu tak pernah mengganggu. “Bismillah kami cari hidup, mereka juga. Monyet-monyet itu tak mengganggu, hanya diam memperhatikan kami.” Monyet-monyet itu bergerombol, tak begitu jauh dari mereka yang sedang berjalan.
Hasan mengatakan bahwa kalau monyet-monyet itu melempar sesuatu, ambil saja. “Monyet-monyet itu mungkin punya naluri juga. Terkadang mereka melempar jambu, besar-besar.”
Diisolasi dari Incaran Pers
Pada tengah hari di hari keenam, atau hari Minggu tanggal 3 April, barulah ketiganya sampai di Desa Ongka Malino, sebuah desa transmigran sekitar 70 km sebelah utara Tinombo. Mereka ditolong penduduk setempat yang kemudian mengantarnya untuk bertemu dengan Prayogo, Kepala Proyek Transmigrasi Ongka Malino.
“Saya sudah begitu lelah. Mulut pun tak bisa dibuka.” Fisik ketiganya memang sudah sangat lemah. “Kami dapat bertahan karena tidak kekurangan air,” kata Masykoer. Ketiganya kemudian dirawat oleh dr. Murlawi dari Dinas Kesehatan pada Komando Resor Militer-132/Tadulako.
Dengan ditemukannya mereka, intensitas pencarian pun kembali ditingkatkan. Bahkan hari berikutnya Masykoer turut serta mencari dan menunjukkan tempat jatuhnya pesawat. Perawatan Masykoer tidak hanya di Posko, tapi juga masuk rumah sakit di Toli-Toli dan kemudian ditempatkan di mess Posko Kru.
Hari ke delapan, walau lokasi sudah ditemukan, namun evakuasi belum dapat dilakukan. Tim SAR saat itu baru dapat memasok makanan ke tempat kejadian. Hari berikutnya, tim SAR berhasil membuat lokasi untuk pendaratan helikopter (helipad). Para korban baru dievakuasi pada hari ke sepuluh dan memakan waktu empat hari sampai semuanya selesai. “Selesai evakuasi itu hari ketigabelas, saya lahir tanggal 13, jumlah korban meninggal 13 orang. Ini suatu keajaiban bagi saya,” ujarnya.
Hari kesembilan itu Masykoer diberangkatkan ke Palu, untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta. “Saya sempat melayat jenazah Pak Anwar dan flight engineer Abhy Irawan ketika tiba di Jakarta.” Selama itu pula ia diisolasi dari incaran pers. Di Jakarta pun ia tidak diperkenankan untuk wawancara dengan wartawan. “Takutnya saya belum siap mental, juga kesehatan saya. Apa gegar otak yang saya derita dapat menimbulkan pikiran yang terganggu.”
Terbang Lagi
Enam bulan ia tidak terbang. Awalnya hanya istirahat, kemudian setelah secara mental sanggup, ia melakukan observasi ke dokter. Selama tiga bulan, diperiksa dua minggu sekali,ia menjalani tes kesehatan di Lakespra (Lembaga Kesehatan Penerbangan) TNI AU dengan berbagai macam terapi semi militer. Perawatan yang dilakukan oleh Letkol Sudibyo, Mayor Kartini dan dr. Tranggono itu lebih ke penyembuhan mental. “Saya disuruh melupakan kejadian itu,” ungkapnya.
Setelah pulih, pada bulan Oktober 1977, ia kembali terbang dengan Twin Otter. Bersama Capt. Elly Sumarno terbang melintasi wilayah tempat kecelakaan itu. “Awalnya saya pejamkan mata. Masih ada rasa takut yang membekas dalam kenangan saya,” cetusnya. “Keluarkan saja rasa takut itu,” ujar Capt. Elly, saat itu.
Lambat laun Masykoer dapat mengatasi trauma terbang di sana. Tapi tak lama ia terbang, karena kemudian mengikuti pendidikan pilot Vickers Vanguard di Inggris. “Pertimbangan saya memilih itu bukan karena takut terbang, tapi saya ingin ke luar negeri,” katanya.
Selalu hati-hati dan waspada memang harus dilakukannya. Tapi sejak kecelakaan itu, ia lebih menyiapkan diri untuk mempelajari data terbang. Saat itu rute Palu-Toli-Toli baru setahun diterbangi Merpati. Ada dua jalur terbang yang biasa diambil pilot, yaitu yang langsung dengan menembus pegunungan ¬jalur yang diambil saat kecelakaandan jalur memutar lewat utara. Jalur terakhir ini lebih panjang, berbeda waktu 15 menit, dan biasanya diterbangi bila waktu sudah lewat tengah hari.
“Rencananya, dari Toli-Toli ke Palu kami akan mengambil jalur utara. Seperti biasa kami memang sudah mendiskusikannya, dan itu sudah dianggap aman,” kata Masykoer. Tapi saat menembus awan, ketinggian pesawat memang kurang dari pepohonan di puncak Gunung Tinombala itu. Pesawat terbang pada ketinggian di bawah 6.000 kaki, padahal pepohonan itu berada pada ketinggian 6.200 kaki.
Kondisi pesawat Twin Otter yang saat itu masih baru memperkuat armada Merpati kondisinya cukup prima. Bahkan kata Masykoer, sampai saat ini keandalannya tak diragukan. “Sangat sedikit kecelakaan Twin Otter disebabkan kerusakan mesin saat terbang,” jelasnya.
Kecelakaan memang tak dapat dielakkan, bila tiba saatnya. Ketika itu pun siapa yang tahu, karena seluruh awak pesawat yang bertugas adalah awak pengganti. Capt. Anwar Ahmad menggantikan Capt. Gita yang anaknya sakit, sedangkan mekanik Abhy Irawan menggantikan mekanik Glen yang baru menikah dan pesawatnya rusak di Luwuk. “Saya sendiri gantian dengan Capt. Filmon, yang baru kemarin terbang ke Palu.”
dari Sumber : http://www.angkasa-online.com
(Sumber: http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t144856.html; image: http://www.traveljournals.net/maps/222/2225137-tinombala-indonesia-map-zoom-x4.jpg)
Tragedi Tinombala 1977, Kesaksian Mochammad Masykoer
Tragedi Tinombala yang terjadi 29 Maret 1977 menjadi berita besar saat itu. Namun Mochammad Masykoer, salah seorang selamat yang saat itu menjadi kopilot, tak pernah terdengar ceritanya. Angkasa membujuknya untuk menceritakan pengalaman-nya, “Saya tak ingin ada yang merasa terluka, terutama keluarga korban.”
Ada yang melayang dalam ingatannya, sesaat setelah ia terlempar. Sepertinya ia tertegun Setelah diingat-ingat, kejadian yang ia alami itu persis seperti yang terjadi dalam mimpinya tadi malam. Saat makan pagi bersama Eddy Krisnawan dan Luki Lukardi, rekan-rekannya sesama pilot di mess Merpati Nusantara di Manado, ia sempat menceritakan mimpinya itu. “Luk, gua mimpi jatuh, tapi gua selamat.” “Ah, lu,” kata Luki, mengabaikannya, “Saya juga sering mimpi mati, tapi saya sendiri ikut melayat.”
Tak ada kejadian aneh-aneh pagi itu. Bersama Capt Anwar Ahmad, ia mengecek pesawat DHC-6 Twin Otter yang akan diterbangkannya ke Luwuk. Pesawat berangkat dari Bandara Sam Ratulangi, Manado, pukul 06.30 waktu setempat. Begitu juga saat mendarat di Luwuk, kemudian ke Poso dan ke Palu. Dari Palu menuju Toli-Toli yang memakan waktu tempuh sekitar satu jam inilah kecelakaan itu terjadi. “Padahal 5 sampai 10 menit lagi kita mendarat di Toli-Toli,” katanya.
Kecelakaan itu terjadi hari Selasa, 29 Maret 1977 pukul 10.55 waktu setempat atau GMT 02.55. Lokasi ditemukannya pesawat berregistrasi PK-NUP itu sekitar 50 meter dari puncak Gunung Tinombala dengan ketinggian 2.185 meter di kawasan pegunungan Bosagong, Sulawesi Tengah. Pesawat Twin Otter itu membawa 20 penumpang dan tiga awak pesawat.
Masykoer tidak pingsan saat kecelakaan itu terjadi. Karena ia dapat mengingat dengan jelas kejadiannya dan dapat menceritakan pas impaknya. “Pesawat keluar dari awan, dan di depan sebelah kanan terlihat pepohonan. Pilot ingin menghindari pohon-pohon itu, kami tarik kemudi untuk belok ke kiri,” ceritanya. Cuaca saat itu berkabut, dan memang demikian cuaca di gunung dengan ketinggian di atas 2.000 meter.
Tapi ternyata sayap kanan menebas pohon dan patah, hingga pesawat membelok ke kanan. Sayap kiri pun kena pohon lagi, hingga patah lagi. Ditinggalkan dua sayap yang patah, badan pesawat (fuselage) pun ‘lari’ menembus pepohonan itu.. .. Kemudian nyeri itu terasa. “Tangan kanan tak bisa saya gerakkan. Mata rasanya bengkak dan ada darah mengalir dari hidung. Rupanya ada sobekan di hidung saya,” seraya dipegangnya hidung yang sobek itu. Kemudian dirabanya kedua matanya. “Saya tutup mata kiri saya, wah.. saya buta,” batinnya.
Kursi di sebelah kanan yang ia duduki terlempar beserta tubuhnya, dan jatuh di depan hidung pesawat agak ke sebelah kanan. Posisinya tertelungkup. “Mungkin itu yang menyebabkan wajah sebelah kanan saya hancur dan tulang lengan patah.”
Keajaiban yang Terjadi
Tapi bukan kondisi luka-lukanya yang ada di benaknya. Pikirnya saat itu, “Ini keajaiban. Miracle is still happen. Kursi ini kan lebih kuat dari badan kita. Biasanya bila terjadi kecelakaan seperti ini, badan kita yang terlempar, tapi saya terlempar bersama kursi dalam keadaan masih terikat.” Masykoer sejenak terdiam dari hasil investigasi memang disebutkan bahwa pintu sebelah kanan jebol, padahal pintu di kokpit itu sempit. “Bagaimana bisa saya terlempar ke luar?”
Telinganya mulai terbuka lagi, ketika terdengar “Allahu Akbar Allahu Akbar”. Hujan deras mengguyur.
Tak lama, hujan pun reda. Cuaca kelihatan bersih. “Saya lihat., itu kan kampung.” Dia melepaskan diri dari kursi, dan mengamati sekitarnya. “Saya sempat melihat seseorang tergantung di atas pohon. Saya juga lihat kedua sayap pesawat ada di pepohonan itu. Sayap kanan patah bersama mesinnya, tapi yang kiri saya tak begitu memperhatikan, seberapa panjang patahannya.”
Captain pilot Anwar yang terluka mencoba menolong para penumpang. “Saya ikut membantu. Di dalam pesawat, saya lihat roda patah dan melesat ke dalam badan pesawat menyebabkan seorang penumpang terlempar ke atas menembus atap dengan posisi terbalik. Kami berusaha menyangganya dengan menumpuk koper, karena sangat sulit untuk mengeluarkannya dari posisi tersebut.”
Awak pesawat kemudian mengevaluasi, siapa-siapa yang ada dan siapa-siapa yang meninggal. Aktivitasnya itu yang membuatnya melupakan rasa sakit. Maka ia pun minta izin kepada captain untuk mencari pertolongan. “Dari pada tolong-tolong di sini, nggak akan ada yang dengar. Tuh, di sana ada desa,” katanya, meyakinkan Anwar, hingga pilot pun mengizinkan.
Lintah di Sekujur Tubuh
Masykoer berjalan sendiri turun menyusuri hutan, saat itu sekitar pukul 14.00. Disusurinya hutan yang lebat itu sampai menemukan sungai. Dia mengikuti aliran sungai dan berjalan terus hingga hari menjelang gelap. “Setelah berjalan sekitar tiga jam, saya lelah. Di sana ada batu besar dan lebar. Saya ketiduran di situ.”
Pagi hari, setelah matahari terbit, “Mas, mas.,” panggilan itu mengejutkannya. Rupanya seorang penumpang yang kemudian diketahuinya bernama Hasan Tawil -setelah kecelakaan itu Hasan menjadi ayah angkatnya- juga ikut turun. Hasan yang anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah itu tidak mengalami luka-luka. “Dia pun rupanya tidur tak jauh dari tempat saya ketiduran.”
“Wah, badan Mas banyak lintah,” kata Hasan. “Karena cape, saya nggak merasakan gigitan lintah itu,” ujarnya. Begitu banyak lintah di sekujur tubuhnya “Ratusan, barangkali. Di mata saya yang bengkak pun ada lintahnya.”
Hasan menolong menyabuti lintah-lintah yang sudah gemuk-gemuk itu satu per satu. “Nih lihat, bekasnya tak bisa hilang sampai kini,” katanya sambil memperlihatkan tangannya yang hitam-hitam bekas gigitan lintah, saat ia menceritakan pengalamannya beberapa waktu lalu. “Bagusnya menyabutinya pake bako, mana ada saat itu.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan, dengan tetap mengikuti aliran sungai. Hasan yang Kepala Kwartir Cabang Pramuka di Sulteng rupanya sudah tak asing dengan perjalanan menembus hutan-hutan. Hutan yang dilaluinya pun merupakan wilayahnya, walau belum pernah sampai menembus setinggi itu. Saat akan turun, rupanya Hasan tak melupakan untuk membawa perbekalan. Di jaketnya ada apel, gula-gula coklat, biskuit, air dan susu bubuk dalam kaleng. Suatu kali Masykoer diberi susu. “Saya tak biasa, hingga muntah,” ucapnya.
Kira-kira tengah hari, di seberang sungai ada orang yang memakai tudung dari plastik keresek hitam. “Saya kaget. Tapi setelah kami amati, rupanya ia penumpang pesawat juga.” Selain Hasan dan dirinya, Haji Saleh Midu ternyata juga meninggalkan pesawat. Mereka saling mengikuti, walau sebelumnya saling tidak mengetahui.
Setelah bergabung, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, dengan tak lepas dari sungai. Sungai berbatu-batu itu, hingga mencapai tepian air terjun yang airnya dalam. Terkadang diseberanginya sungai itu menggunakan tali-tali dari akar-akar pohon. Sampailah mereka pada suatu jalan buntu. “Semaknya begitu tinggi dan berduri, tak bisa kami tembus.” Tapi mereka menemukan bolongan di bawah semak-semak itu. Rupanya jalan yang biasa digunakan babi hutan. “Kami masuk ke bolongan itu.” Berhari-hari mereka berjalan, diselingi istirahat dan tidur di gua-gua. “Menjelang gelap kami berhenti untuk tidur,” ceritanya. Yang membuat perjalanan itu begitu sulit adalah kerapnya hujan deras mengguyur. Terkadang gua tempat berbaring pun kebanjiran.
Selama perjalanan tak banyak yang mereka dapat makan. Pernah Hasan menemukan bunga kecil-kecil putih yang ternyata dapat dimakan. Sedangkan makanan yang dibawa Hasan sudah lama habis. Karena itulah, fisik mereka makin lama makin lemah. Bahkan pada hari kelima, ia dan Haji Midu seakan-akan ingin ‘menyerah’, tapi Hasan mendorong mereka untuk tetap kuat berjalan.
Banyak kejadian yang tak pernah terbayangkan akan ditemukannya. Begitu banyak monyet besar dan ular, walau binatang-binatang itu tak pernah mengganggu. “Bismillah kami cari hidup, mereka juga. Monyet-monyet itu tak mengganggu, hanya diam memperhatikan kami.” Monyet-monyet itu bergerombol, tak begitu jauh dari mereka yang sedang berjalan.
Hasan mengatakan bahwa kalau monyet-monyet itu melempar sesuatu, ambil saja. “Monyet-monyet itu mungkin punya naluri juga. Terkadang mereka melempar jambu, besar-besar.”
Diisolasi dari Incaran Pers
Pada tengah hari di hari keenam, atau hari Minggu tanggal 3 April, barulah ketiganya sampai di Desa Ongka Malino, sebuah desa transmigran sekitar 70 km sebelah utara Tinombo. Mereka ditolong penduduk setempat yang kemudian mengantarnya untuk bertemu dengan Prayogo, Kepala Proyek Transmigrasi Ongka Malino.
“Saya sudah begitu lelah. Mulut pun tak bisa dibuka.” Fisik ketiganya memang sudah sangat lemah. “Kami dapat bertahan karena tidak kekurangan air,” kata Masykoer. Ketiganya kemudian dirawat oleh dr. Murlawi dari Dinas Kesehatan pada Komando Resor Militer-132/Tadulako.
Dengan ditemukannya mereka, intensitas pencarian pun kembali ditingkatkan. Bahkan hari berikutnya Masykoer turut serta mencari dan menunjukkan tempat jatuhnya pesawat. Perawatan Masykoer tidak hanya di Posko, tapi juga masuk rumah sakit di Toli-Toli dan kemudian ditempatkan di mess Posko Kru.
Hari ke delapan, walau lokasi sudah ditemukan, namun evakuasi belum dapat dilakukan. Tim SAR saat itu baru dapat memasok makanan ke tempat kejadian. Hari berikutnya, tim SAR berhasil membuat lokasi untuk pendaratan helikopter (helipad). Para korban baru dievakuasi pada hari ke sepuluh dan memakan waktu empat hari sampai semuanya selesai. “Selesai evakuasi itu hari ketigabelas, saya lahir tanggal 13, jumlah korban meninggal 13 orang. Ini suatu keajaiban bagi saya,” ujarnya.
Hari kesembilan itu Masykoer diberangkatkan ke Palu, untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta. “Saya sempat melayat jenazah Pak Anwar dan flight engineer Abhy Irawan ketika tiba di Jakarta.” Selama itu pula ia diisolasi dari incaran pers. Di Jakarta pun ia tidak diperkenankan untuk wawancara dengan wartawan. “Takutnya saya belum siap mental, juga kesehatan saya. Apa gegar otak yang saya derita dapat menimbulkan pikiran yang terganggu.”
Terbang Lagi
Enam bulan ia tidak terbang. Awalnya hanya istirahat, kemudian setelah secara mental sanggup, ia melakukan observasi ke dokter. Selama tiga bulan, diperiksa dua minggu sekali,ia menjalani tes kesehatan di Lakespra (Lembaga Kesehatan Penerbangan) TNI AU dengan berbagai macam terapi semi militer. Perawatan yang dilakukan oleh Letkol Sudibyo, Mayor Kartini dan dr. Tranggono itu lebih ke penyembuhan mental. “Saya disuruh melupakan kejadian itu,” ungkapnya.
Setelah pulih, pada bulan Oktober 1977, ia kembali terbang dengan Twin Otter. Bersama Capt. Elly Sumarno terbang melintasi wilayah tempat kecelakaan itu. “Awalnya saya pejamkan mata. Masih ada rasa takut yang membekas dalam kenangan saya,” cetusnya. “Keluarkan saja rasa takut itu,” ujar Capt. Elly, saat itu.
Lambat laun Masykoer dapat mengatasi trauma terbang di sana. Tapi tak lama ia terbang, karena kemudian mengikuti pendidikan pilot Vickers Vanguard di Inggris. “Pertimbangan saya memilih itu bukan karena takut terbang, tapi saya ingin ke luar negeri,” katanya.
Selalu hati-hati dan waspada memang harus dilakukannya. Tapi sejak kecelakaan itu, ia lebih menyiapkan diri untuk mempelajari data terbang. Saat itu rute Palu-Toli-Toli baru setahun diterbangi Merpati. Ada dua jalur terbang yang biasa diambil pilot, yaitu yang langsung dengan menembus pegunungan ¬jalur yang diambil saat kecelakaandan jalur memutar lewat utara. Jalur terakhir ini lebih panjang, berbeda waktu 15 menit, dan biasanya diterbangi bila waktu sudah lewat tengah hari.
“Rencananya, dari Toli-Toli ke Palu kami akan mengambil jalur utara. Seperti biasa kami memang sudah mendiskusikannya, dan itu sudah dianggap aman,” kata Masykoer. Tapi saat menembus awan, ketinggian pesawat memang kurang dari pepohonan di puncak Gunung Tinombala itu. Pesawat terbang pada ketinggian di bawah 6.000 kaki, padahal pepohonan itu berada pada ketinggian 6.200 kaki.
Kondisi pesawat Twin Otter yang saat itu masih baru memperkuat armada Merpati kondisinya cukup prima. Bahkan kata Masykoer, sampai saat ini keandalannya tak diragukan. “Sangat sedikit kecelakaan Twin Otter disebabkan kerusakan mesin saat terbang,” jelasnya.
Kecelakaan memang tak dapat dielakkan, bila tiba saatnya. Ketika itu pun siapa yang tahu, karena seluruh awak pesawat yang bertugas adalah awak pengganti. Capt. Anwar Ahmad menggantikan Capt. Gita yang anaknya sakit, sedangkan mekanik Abhy Irawan menggantikan mekanik Glen yang baru menikah dan pesawatnya rusak di Luwuk. “Saya sendiri gantian dengan Capt. Filmon, yang baru kemarin terbang ke Palu.”
dari Sumber : http://www.angkasa-online.com
(Sumber: http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t144856.html; image: http://www.traveljournals.net/maps/222/2225137-tinombala-indonesia-map-zoom-x4.jpg)
Comments