RM Padang, Kisruh nama Sederhana & Sengketa Sari Bundo
Anda suka makan di rumah makan padang? rendang, ayam pop, gulai gajebo, nasi tunjang, soto Padang, dendeng balado, dan gulai kepala ikan kakap disertai sambal balado mungkin nama-nama yang beken di lidah kita.
Di Jakarta saja, jumlahnya mencapai ribuan RM Padang dan mungkin hanya bisa disaingi Warung Tegal. Di Indonesia, Padang Restaurant boleh jadi puluhan ribu, bahkan hingga New York. Saya sendiri pernah menemukan satu RM Padang di tengah pusat London pertengahan Juli 2011.
Manajemen RM Padang kabarnya selalu unik, ada karir pula.Biasanya karier mereka dimulai dari pencuci piring, kemudian meningkat sebagai penyiap makanan, pelayan tamu, kasir, hingga menjadi manajer.
Pelayan RM Padang kebanyakannya pria dan punya keahlian dalam menyajikan hidangan. Mereka akan membawa sejumlah piring hidangan secara sekaligus dengan bertingkat-tingkat/bertumpuk-tumpuk dengan kedua belah atau sebelah tangan saja.
Bapak saya menyukai makan di RM Padang karena tak sampai 5 menit, meja makan sudah dipenuhi banyak piring lauk pauk dan nasi hangat mengepul. Soal kecepatan, RM Padang jagonya. Bahkan selesai makan pun, sang pelayan cepat sekali menghitung total yang harus dibayar. Mereka boleh jadi pintar matematika.
Soal selera boleh jadi pembeda RM Padang mana pilihan anda. Banyak nama RM Padang yang terkenal seperti RM Bersama, RM Garuda, Pagi Sore, Sederhana, Sederhana Bintaro, Simpang Raya, Simpang Jaya, Natrabu, RM Sahabat dan lain-lain.
Ada dua cerita soal sengketa Sederhana dan cerita Sari Bundo.
Rumah Makan Padang Sederhana (RMPS) awalnya didirikan Bustaman pada 1972 dengan gerobok dorong di kawasan Bendungan Hilir Jakarta. Kian berkembang, RMPS pun jadi franchise dengan banyak peminat di seluruh Indonesia.
Bahkan RMPS pun memiliki banyak nama seperti Sederhana (SA), Sederhana (SS), Sederhana (SH), Sederhana (SL), dan Sederhana (SB). Nah tak lama kemudian perang dagang pun dimulai. Sengketa mereka Sederhana masuk ranah hukum.
Dari sejumlah media, terungkap, pada 2008, Bustaman menggugat H. Djamilus Djamil dan para ahli warisnya sebesar Rp5 miliar plus larangan menggunakan kata "Sederhana" sebagai nama dagang.
Djamilus Djamil dan Bustaman sebenarnya pernah bekerja sama. Mereka sama-sama berjuang membesarkan warung masakan Padang. Namun, pada 2001 keduanya tak lagi seiring sejalan. Bustaman mengembangkan usahanya hingga memiliki 70 buah gerai, yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar (40 gerai) terletak di daerha Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pengelola Sederhana Bintaro pun melakukan hal yang sama.
“Pengelola yang dulu memiliki tangan kanan yang banyak, bukan saja orang luar tapi juga saudara-saudaranya, sehingga banyak yang memilih jalan sendiri-sendiri,” Djamilus menuturkan. Pria berusia 70 tahun asal Batu Sangkar, Sumatera Barat ini mengembangkan SB sejak tahun 2004.
“Saya memisahkan diri baik-baik,” kata Djamilus Djamil di Majalah SWA (Ekspansi Gaya RM Sederhana Bintaro, Kamis, 12 April 2007, Oleh : Henni T. Soelaeman) http://202.59.162.82/cetak.php?cid=1&id=5831&url=http%3A%2F%2F202.59.162.82%2Fswamajalah%2Ftren%2Fdetails.php%3Fcid%3D1%26id%3D5831
H. Djamilus Djamil lainnya, Irma Savira, Selvi Emilda dan Herry Felani mengembangkan franchise Sederhana Bintaro (SB) yang juga kini memiliki puluhan jaringan rumah makan.
Nah Bustaman melakukan gugatan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu terkait dengan perebutan merek "Sederhana". Dia beralasan bahwa nama dagang itu telah didaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual sejak 1997. Tiba-tiba, muncul merek serupa yang digunakan oleh pengelola rumah masakan Padang asal Bintaro, Jakarta.
Menurut Bustaman, bukan hanya tulisan, huruf, dan warna merek saja yang sama, namun bentuk bangunan rumah makan pesaingnya itu juga mirip dengan miliknya. Apalagi, rumah makan Sederhana Bintaro belakangan gerainya terus bertambah banyak.
Sebenarnya kedua pihak bukannya tak mencoba mencari penyelesaian secara damai. Namun, upaya itu tidak pernah membuahkan hasil.
Namun, tudingan itu dibantah oleh pengelola rumah makan Sederhana Bintaro. Melalui kuasa hukumnya, Adi Warman, pelaku usaha bersikukuh bahwa dirinya berhak untuk menggunakan merek yang disengketakan itu. Alasannya, dia juga sudah mengantongi sertifikat yang dikeluarkan oleh Dirjen HaKI pada 13 Maret 2003.
Masalahnya; kedua pihak mengaku punya sertifikat dari Dirjen HaKI.
Bola hukum terus bergulir. Kemarin 24 Januari 2012, pengelola RM merek Sederhana Bintaro menolak pelaksanaan eksekusi berdasarkan Penetapan Eksekusi No.074/2011.Eks putusan kasasi No.764 K/Pdt.Sus/2008 yang dinilai bertentangan dengan fakta hukum.
“Merek SB=Sederhana Bintaro masih terlindungi sebagaimana ketentuan Pasal 28 Undang-Undang No.15/2011 tentang merek yang menentukan Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu diperpanjang,”kata pengacara Eben Eser seusai sidang perlawanan atas putusan di Pengadilan Niaga.
Pengacara tersebut adalah kuasa hukum Purnamasari selaku ahli waris Djamilus Djamil sebagai pemilik merek rumah makan Sederhana Bintaro yang mengajukan upaya hukum perlawanan atas putusan peradilan niaga berkaitan merek rumah makan Sederhana.
Kuasa hukum RM Sederhana Beth Jasuance mengatakan akan menuangkan argumentasi atas perlawanan pelawan itu dalam jawaban sidang pekan depan. Nah siapa yang akan menang? kita tunggu saja.
Sekedar mengingatkan pada 2005, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga pernah mengadili perkara pembatalan merek rumah makan Sari Bundo.
Ketika itu, Azwari Rivai dan Rahimi Sutan, pemilik rumah makan padang di jalan Ir. H. Juanda, jakarta Pusat, menggugat mantan pegawainya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati yang diam-diam mendaftarkan merek Sari Bundo atas nama dirinya.
Ujung-ujungnya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati dinyatakan tak berhak untuk memiliki merek Sari Bundo. Sertifikat merek atas nama Anwar yang tercatat di Dirjen HaKI pun akhirnya dicoret.
Comments