Pupuk bersubsidi?
26 Juni 2008
Distribusi pupuk subsidi, siapa layak kena sanksi?
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
“Biar saya minggir dulu [menepikan kendaraannya]. Kalau soal pupuk saya mau bicara blak-blakan,” kata Harsono, Ketua Kerukunan Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Lumajang, ketika dihubungi melalui telepon pekan lalu.
Dia menyuarakan keluhan para petani yang masih saja tidak mendapatkan pupuk subsidi meskipun telah memasuki musim tanam. Bagi dia dan para petani, longgarnya pengawasan menjadi pangkal kericuhan distribusi pupuk bersubsidi.
Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3), bagi Harsono, tidak bisa menjamin petani mendapatkan pupuk subsidi dan kesannya hanya menyalahkan kios pengecer tanpa menyentuh pabrik distributor.
Jawa Timur dan Jawa Tengah dua wilayah yang rawan dengan persoalan pupuk bersubsidi. Sejumlah permasalahan terungkap seperti pengakuan petani di Tegal dan Brebes kepada anggota Komisi IV DPR yang melakukan inspeksi ke daerah mereka.
Petani di sejumlah daerah Jawa tengah mendapatkan pupuk urea yang lebih mahal, yaitu hingga Rp70.000 dari harga seharusnya Rp60.000 per sak isi 50 kilogram.
Kenaikan harga pupuk juga dipicu kelangkaan serta keberadaan pengecer tidak resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Keberadaan pengecer tidak resmi juga merupakan dampak dari sistem distribusi terbuka.
Adanya pengecer tidak resmi menjadi satu fakta lemahnya pengawasan dari KP3 yang ada di tiap-tiap daerah. Sistem distribusi terbuka juga menyerap terjadinya pengecer tidak resmi.
Sejumlah kondisi tersebut mempersulit pemerintah untuk menjamin pupuk dapat sampai ke tangan petani sesuai harga eceran tertinggi (HET). Apalagi, selisih harga pupuk subsidi dengan nonsubsidi sangat jauh, mencapai Rp3.800 per kilogram.
Tegal dan Brebes sebenarnya cukup aman karena adanya operasi pasar dan sikap proaktif pemda setempat untuk menjaga pasokan dari PT Pupuk Kujang Cikampek. Namun, setidaknya empat pengecer nakal di dua wilayah tersebut mendapatkan sanksi dari distributor.
Menurut hasil rapat Pokja pupuk dan rapat Holding instansi terkait, kelangkaan pupuk bersubsidi disebabkan kebutuhan pupuk riil petani di atas kemampuan pemerintah memberikan subsidi pupuk.
Tercatat hanya urea bersubsidi yang memiliki porsi terbesar sebanyak 73,91% dari kebutuhan riil petani. Porsi SP-36 hanya 32,74%, subsidi ZA sebesar 60,1%, NPK 70,9%, apalagi pupuk organik subsidi yang hanya 2,03% dari kebutuhan riil.
Meski begitu, ketersediaan pupuk masih di atas 100% dari kebutuhan yang ditetapkan Mentan. Posisi stok di gudang lini 3 per 21 Mei 2008 untuk urea sebesar 210.295 ton sementara kebutuhan untuk masa dua minggu sebesar 142.639 ton.
Selisih harga//
Penyalahgunaan terjadi karena disparitas harga yang cukup besar dengan pupuk nonsubsidi. Selisih harga mulai dari Rp2.500 cukup membuat petani pontang-panting mengumpulkan modal.
Apalagi di beberapa daerah, distributor dan pengecer terlambat melakukan penebusan pupuk karena masalah keuangan. Penebusan memang harus pakai dana tunai, tak bisa kredit.
Fungsi pengawasan tak hanya melibatkan KP3 dan bantuan unsur pemda setempat. Aparat hukum pun dilibatkan melalui kesepahaman Mendag, Mentan, Menperin dan Meneg BUMN dengan Kapolri dan Jaksa Agung.
Yang menarik, ucapan Harsono berbeda dengan kesimpulan tim pokja Menteri Perdagangan. Sesuai evaluasi tim pokja, yang sering rawan penyimpangan adalah penyaluran dari pengecer kepada kelompok tani dan petani.
Hasil evaluasi membuat Mendag Mari Elka Pangestu menandatangani revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.33/M-DAG/Per/8/2007 mengenai pengetatan distribusi pupuk bersubsidi.
“Aturannya sekarang lebih diperketat dengan mewajibkan pengecer mencatat siapa yang menerima pupuk bersubsidi dan ada sanksinya kalau terjadi penyelewengan,” kata Mendag.
Sanksi yang diberikan berupa pemutusan kontrak penyaluran pupuk bersubsidi. Revisi Permendag itu juga mengatur transportasi pupuk bersubsidi dari gudang ke pengecer yang menjadi tanggung jawab distributor.
Wajib lapor//
Distributor diwajibkan melaporkan dan meregistrasi kepada produsen jika mengganti perusahaan angkutan yang digunakan untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi.
Selain itu, dicantumkan perubahan rayonisasi daerah distribusi pupuk bersubsidi PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) kepada PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Wilayah distribusi PKT di Jawa Tengah dialihkan kepada Pusri. Perubahan rayonisasi itu didasari penghematan biaya subsidi pupuk.
Penyesuaian peraturan Mendag juga mengatur soal kewajiban bagi pengecer untuk mencatat petani yang membeli pupuk bersubsidi di kiosnya. Hal itu, bertujuan untuk pendataan petani yang akan diverifikasi oleh Disperindag daerah.
Depdag meminta pengecer untuk melakukan pencatatan selama enam bulan untuk mendapatkan data akurat penerima pupuk bersubsidi. Selanjutnya, permendag itu menetapkan pemerintah kabupaten dan kota bertanggung jawab atas kinerja KP3.
Harsono konsisten menampik hasil evaluasi. Yang patut mendapatkan sanksi adalah distributor dan bahkan, produsen. Dalam hal ini, dia menuding Pupuk Kaltim tak berdaya membawa pupuk ke petani.
Maklum, Ketua KTNA Lumajang ini mengaku memiliki juga satu kios pengecer pupuk. Namun, dia menyebutkan sebagai pengecer dia hanya mendapatkan jatah dua ton untuk satu minggu.
Sementara di daerahnya, kata Harsono, ada pengecer yang tidak memiliki izin dan mendapatkan jatah berkisar 75 ton hingga 140 ton per minggu. “Saya sudah melaporkan ini ke Komisi Pengawas tapi saya justru disuruh lapor ke polisi. Kalau begitu, yaa… susah,” katanya.
Kalau sudah begitu, rasanya pemerintah terutama di daerah perlu bekerja keras. Jangan sampai dana negara hingga Rp17 triliun untuk pupuk bersubsidi dan program kartu pintar tak dapat membuat subur sawah petani. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Distribusi pupuk subsidi, siapa layak kena sanksi?
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
“Biar saya minggir dulu [menepikan kendaraannya]. Kalau soal pupuk saya mau bicara blak-blakan,” kata Harsono, Ketua Kerukunan Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Lumajang, ketika dihubungi melalui telepon pekan lalu.
Dia menyuarakan keluhan para petani yang masih saja tidak mendapatkan pupuk subsidi meskipun telah memasuki musim tanam. Bagi dia dan para petani, longgarnya pengawasan menjadi pangkal kericuhan distribusi pupuk bersubsidi.
Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3), bagi Harsono, tidak bisa menjamin petani mendapatkan pupuk subsidi dan kesannya hanya menyalahkan kios pengecer tanpa menyentuh pabrik distributor.
Jawa Timur dan Jawa Tengah dua wilayah yang rawan dengan persoalan pupuk bersubsidi. Sejumlah permasalahan terungkap seperti pengakuan petani di Tegal dan Brebes kepada anggota Komisi IV DPR yang melakukan inspeksi ke daerah mereka.
Petani di sejumlah daerah Jawa tengah mendapatkan pupuk urea yang lebih mahal, yaitu hingga Rp70.000 dari harga seharusnya Rp60.000 per sak isi 50 kilogram.
Kenaikan harga pupuk juga dipicu kelangkaan serta keberadaan pengecer tidak resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Keberadaan pengecer tidak resmi juga merupakan dampak dari sistem distribusi terbuka.
Adanya pengecer tidak resmi menjadi satu fakta lemahnya pengawasan dari KP3 yang ada di tiap-tiap daerah. Sistem distribusi terbuka juga menyerap terjadinya pengecer tidak resmi.
Sejumlah kondisi tersebut mempersulit pemerintah untuk menjamin pupuk dapat sampai ke tangan petani sesuai harga eceran tertinggi (HET). Apalagi, selisih harga pupuk subsidi dengan nonsubsidi sangat jauh, mencapai Rp3.800 per kilogram.
Tegal dan Brebes sebenarnya cukup aman karena adanya operasi pasar dan sikap proaktif pemda setempat untuk menjaga pasokan dari PT Pupuk Kujang Cikampek. Namun, setidaknya empat pengecer nakal di dua wilayah tersebut mendapatkan sanksi dari distributor.
Menurut hasil rapat Pokja pupuk dan rapat Holding instansi terkait, kelangkaan pupuk bersubsidi disebabkan kebutuhan pupuk riil petani di atas kemampuan pemerintah memberikan subsidi pupuk.
Tercatat hanya urea bersubsidi yang memiliki porsi terbesar sebanyak 73,91% dari kebutuhan riil petani. Porsi SP-36 hanya 32,74%, subsidi ZA sebesar 60,1%, NPK 70,9%, apalagi pupuk organik subsidi yang hanya 2,03% dari kebutuhan riil.
Meski begitu, ketersediaan pupuk masih di atas 100% dari kebutuhan yang ditetapkan Mentan. Posisi stok di gudang lini 3 per 21 Mei 2008 untuk urea sebesar 210.295 ton sementara kebutuhan untuk masa dua minggu sebesar 142.639 ton.
Selisih harga//
Penyalahgunaan terjadi karena disparitas harga yang cukup besar dengan pupuk nonsubsidi. Selisih harga mulai dari Rp2.500 cukup membuat petani pontang-panting mengumpulkan modal.
Apalagi di beberapa daerah, distributor dan pengecer terlambat melakukan penebusan pupuk karena masalah keuangan. Penebusan memang harus pakai dana tunai, tak bisa kredit.
Fungsi pengawasan tak hanya melibatkan KP3 dan bantuan unsur pemda setempat. Aparat hukum pun dilibatkan melalui kesepahaman Mendag, Mentan, Menperin dan Meneg BUMN dengan Kapolri dan Jaksa Agung.
Yang menarik, ucapan Harsono berbeda dengan kesimpulan tim pokja Menteri Perdagangan. Sesuai evaluasi tim pokja, yang sering rawan penyimpangan adalah penyaluran dari pengecer kepada kelompok tani dan petani.
Hasil evaluasi membuat Mendag Mari Elka Pangestu menandatangani revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.33/M-DAG/Per/8/2007 mengenai pengetatan distribusi pupuk bersubsidi.
“Aturannya sekarang lebih diperketat dengan mewajibkan pengecer mencatat siapa yang menerima pupuk bersubsidi dan ada sanksinya kalau terjadi penyelewengan,” kata Mendag.
Sanksi yang diberikan berupa pemutusan kontrak penyaluran pupuk bersubsidi. Revisi Permendag itu juga mengatur transportasi pupuk bersubsidi dari gudang ke pengecer yang menjadi tanggung jawab distributor.
Wajib lapor//
Distributor diwajibkan melaporkan dan meregistrasi kepada produsen jika mengganti perusahaan angkutan yang digunakan untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi.
Selain itu, dicantumkan perubahan rayonisasi daerah distribusi pupuk bersubsidi PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) kepada PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Wilayah distribusi PKT di Jawa Tengah dialihkan kepada Pusri. Perubahan rayonisasi itu didasari penghematan biaya subsidi pupuk.
Penyesuaian peraturan Mendag juga mengatur soal kewajiban bagi pengecer untuk mencatat petani yang membeli pupuk bersubsidi di kiosnya. Hal itu, bertujuan untuk pendataan petani yang akan diverifikasi oleh Disperindag daerah.
Depdag meminta pengecer untuk melakukan pencatatan selama enam bulan untuk mendapatkan data akurat penerima pupuk bersubsidi. Selanjutnya, permendag itu menetapkan pemerintah kabupaten dan kota bertanggung jawab atas kinerja KP3.
Harsono konsisten menampik hasil evaluasi. Yang patut mendapatkan sanksi adalah distributor dan bahkan, produsen. Dalam hal ini, dia menuding Pupuk Kaltim tak berdaya membawa pupuk ke petani.
Maklum, Ketua KTNA Lumajang ini mengaku memiliki juga satu kios pengecer pupuk. Namun, dia menyebutkan sebagai pengecer dia hanya mendapatkan jatah dua ton untuk satu minggu.
Sementara di daerahnya, kata Harsono, ada pengecer yang tidak memiliki izin dan mendapatkan jatah berkisar 75 ton hingga 140 ton per minggu. “Saya sudah melaporkan ini ke Komisi Pengawas tapi saya justru disuruh lapor ke polisi. Kalau begitu, yaa… susah,” katanya.
Kalau sudah begitu, rasanya pemerintah terutama di daerah perlu bekerja keras. Jangan sampai dana negara hingga Rp17 triliun untuk pupuk bersubsidi dan program kartu pintar tak dapat membuat subur sawah petani. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Comments