Uzbekistan tak hanya soal wanita
12 Juni 2008
Asia Tengah, pasar ekspor yang menantang
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Berbicara soal hubungan perdagangan Indonesia dengan Asia Tengah mungkin tidak seakrab informasi tentang ekspor Indonesia ke beberapa sasaran pasar tradisional, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.
Padahal, menurut Duta Besar RI untuk Uzbekistan merangkap Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan, Sjahril Sabaruddin, ekspor ke kawasan negara eks-Uni Soviet ini meningkat pesat pada 2007.
Uzbekistan dengan pendapatan per kapita US$1.983 (2006) memiliki magnet kuat, seperti halnya Tajikistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Kyrgyzstan. Kelima negara itu memiliki keuntungan ekonomi dari minyak dan gas bumi.
Potensi dan peluang pasar di Uzbekistan cukup besar karena kemampuan industri di negara ini masih terbatas untuk memproduksi berbagai barang kebutuhan. Dampaknya, hampir 80% barang-barang konsumsi diimpor dari negara lain.
Di samping itu, pemerintah Uzbekistan di bawah Presiden Islam Karimov sejak 2006 mulai menggiatkan liberalisasi melalui kebijakan kemudahan impor, reformasi perpajakan, penyederhanaan prosedur investasi dan pendirian usaha.
Sayangnya, pesona Uzbekistan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar pengusaha Indonesia, sementara negara lain seperti China, India, Turki dan Vietnam dan Malaysia diam-diam sudah lama menyadarinya.
Mereka membanjiri Uzbekistan dengan beragam jenis produk dan harga yang bersaing, seperti palm oil, mebel, barang elektronik dan konsumer, tekstil, hingga teh. Padahal produk mebel, mesin dan perlengkapan serta tekstil dari Indonesia cukup diminati.
“Thailand dan Vietnam bahkan sudah masuk dan banyak melakukan ekspor ke Uzbekistan,” kata Dubes Sjharil dalam seminar Pameran Produk Budaya Indonesia 2008 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Posisi Uzbeskitan yang resmi bergabung sebagai anggota EurAsian Economic Community (EAEC) pada Januari 2006 dapat menguntungkan pelaku bisnis Indonesia karena ada penyeragaman tarif.
Kebijakan penyeragaman tarif ini akan membuka peluang yang lebih luas untuk pemasaran produk-produk ekspor Indonesia dengan memanfaatkan Uzbekistan sebagai pintu masuk maupun melalui negara anggota lain, seperti Rusia.
Hubungan bilateral Indonesia-Uzbekistan juga diperkuat dengan sejumlah nota kesepahaman yang ditandatangani pada pertengahan Mei 2008 ketika Menlu Hassan Wirajuda mengunjungi negara yang merdeka pada 1991 itu.
Dalam kunjungan tersebut, sejumlah korporasi nasional turut serta, seperti PT Telkom, PT Pertamina, PT Bank Muamalat Indonesia, PT Istana Karang Laut, Kelompok usaha Bakrie& Brothers, PT Energi Bumi Persada dan Bumi Resources.
“Adanya perjanjian dagang ini membuat tarif bea masuk untuk produk kita hanya dikenai 5% - 30%. Itu sudah lebih baik dari sebelumnya bisa sampai 180%,” ungkap Dubes Sjahril.
Produk Indonesia yang masuk ke Uzbekistan, antara lain produk rotan dan kayu, tekstil dan produk tekstil, karet, makanan olahan dalam kaleng, teh, sabun mandi, shampoo, coklat bubuk, minyak sawit, peralatan mesin, ban mobil, peralatan listrik, tembakau dan obat-obatan.
Khusus produk teh dalam kemasan siap konsumsi, peluangnya besar. Selama ini ekspor teh Indonesia masih dalam partai besar langsung dari perkebunan teh (bahan mentah) dan dikemas ulang dengan merek teh Uzbekistan.
Sejumlah perusahaan yang berani masuk Uzbekistan, antara lain PT Sayap Mas Utama yang mengekspor bahan pembersih seperti sabun, dan PT Bumi Tangerang Mesindotama dengan produk coklat.
//Kendala//
Dubes Sjahril menyebutkan kerumitan sistem pembayaran dan transportasi barang menjadi kendala eksportir Indonesia. Bank Muamalat, yang merupakan bank nasional diharapkan membuka pintu layanan sistem pembayaran bagi kegiatan ekspor-impor dan memfasilitasi kebutuhan pedagang dan pelaku bisnis.
“Sistem pembayaran di Uzbekistan memang berbeda dan masih memakai sistem cash and carry karena fasilitas bank sangat terbatas,” ungkap Sjahril.
Di bidang perbankan, Uzbekistan masih menerapkan kebijakan tight money dan membatasi peran perbankan dalam transaksi pembayaran dengan mata uang asing. Kebijakan ini dilakukan melalui pembatasan peredaran mata uang asing. Prioritas diberikan hanya untuk ekspor impor produk bahan mentah.
Kuasa Usaha Ad Interim Kedubes Uzbekistan Kahramon A. Shakirov mengatakan pihaknya siap menjajaki kemungkinan kerjasama dengan beberapa bank seperti BRI, BCA dan Bank Mandiri.
Khusus terhadap produk UMKM berorientasi ekspor, pemerintah melalui PT Permodalan Nasional Madani akan membantu permodalan dan memfasilitasi kegiatan memasok barang ke House of Indonesia di Tashkent.
Dubers Sjahril menambahkan sistem pengiriman barang ke Uzbekistan dan negara Asia Tengah tidak bisa langsung dan masih melewati negara seperti Iran, China dan Pakistan. Konsekuensinya biaya transportasi menjadi mahal.
Rute Iran adalah melalui pelabuhan Bandar Abbas menuju Turkmenistan lalu ke Uzbekistan menggunakan truk dan kereta api. Jika memilih lewat China, jalurnya melalui pelabuhan di China menuju ke Kyrgyzstan lalu ke Tajikistan dan kemudian ke Uzbekistan melalui jalan darat.
Sedangkan rute Pakistan dimulai dari pelabuhan Karachi menuju ke Afghanistan dan masuk ke Uzbekistan melalui jalan darat. Pembukaan jalur penerbangan langsung dan penghapusan biaya lintas perbatasan Uzbekistan menjadi instrumen perjanjian yang dibahas kedua negara.
Kendala yang banyak itu bisa dikatakan seimbang dengan potensi keuntungan yang begitu besar. Jadi segera siapkan portofolio ekspor Anda. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Asia Tengah, pasar ekspor yang menantang
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Berbicara soal hubungan perdagangan Indonesia dengan Asia Tengah mungkin tidak seakrab informasi tentang ekspor Indonesia ke beberapa sasaran pasar tradisional, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.
Padahal, menurut Duta Besar RI untuk Uzbekistan merangkap Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan, Sjahril Sabaruddin, ekspor ke kawasan negara eks-Uni Soviet ini meningkat pesat pada 2007.
Uzbekistan dengan pendapatan per kapita US$1.983 (2006) memiliki magnet kuat, seperti halnya Tajikistan, Kazakhstan, Turkmenistan, dan Kyrgyzstan. Kelima negara itu memiliki keuntungan ekonomi dari minyak dan gas bumi.
Potensi dan peluang pasar di Uzbekistan cukup besar karena kemampuan industri di negara ini masih terbatas untuk memproduksi berbagai barang kebutuhan. Dampaknya, hampir 80% barang-barang konsumsi diimpor dari negara lain.
Di samping itu, pemerintah Uzbekistan di bawah Presiden Islam Karimov sejak 2006 mulai menggiatkan liberalisasi melalui kebijakan kemudahan impor, reformasi perpajakan, penyederhanaan prosedur investasi dan pendirian usaha.
Sayangnya, pesona Uzbekistan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar pengusaha Indonesia, sementara negara lain seperti China, India, Turki dan Vietnam dan Malaysia diam-diam sudah lama menyadarinya.
Mereka membanjiri Uzbekistan dengan beragam jenis produk dan harga yang bersaing, seperti palm oil, mebel, barang elektronik dan konsumer, tekstil, hingga teh. Padahal produk mebel, mesin dan perlengkapan serta tekstil dari Indonesia cukup diminati.
“Thailand dan Vietnam bahkan sudah masuk dan banyak melakukan ekspor ke Uzbekistan,” kata Dubes Sjharil dalam seminar Pameran Produk Budaya Indonesia 2008 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Posisi Uzbeskitan yang resmi bergabung sebagai anggota EurAsian Economic Community (EAEC) pada Januari 2006 dapat menguntungkan pelaku bisnis Indonesia karena ada penyeragaman tarif.
Kebijakan penyeragaman tarif ini akan membuka peluang yang lebih luas untuk pemasaran produk-produk ekspor Indonesia dengan memanfaatkan Uzbekistan sebagai pintu masuk maupun melalui negara anggota lain, seperti Rusia.
Hubungan bilateral Indonesia-Uzbekistan juga diperkuat dengan sejumlah nota kesepahaman yang ditandatangani pada pertengahan Mei 2008 ketika Menlu Hassan Wirajuda mengunjungi negara yang merdeka pada 1991 itu.
Dalam kunjungan tersebut, sejumlah korporasi nasional turut serta, seperti PT Telkom, PT Pertamina, PT Bank Muamalat Indonesia, PT Istana Karang Laut, Kelompok usaha Bakrie& Brothers, PT Energi Bumi Persada dan Bumi Resources.
“Adanya perjanjian dagang ini membuat tarif bea masuk untuk produk kita hanya dikenai 5% - 30%. Itu sudah lebih baik dari sebelumnya bisa sampai 180%,” ungkap Dubes Sjahril.
Produk Indonesia yang masuk ke Uzbekistan, antara lain produk rotan dan kayu, tekstil dan produk tekstil, karet, makanan olahan dalam kaleng, teh, sabun mandi, shampoo, coklat bubuk, minyak sawit, peralatan mesin, ban mobil, peralatan listrik, tembakau dan obat-obatan.
Khusus produk teh dalam kemasan siap konsumsi, peluangnya besar. Selama ini ekspor teh Indonesia masih dalam partai besar langsung dari perkebunan teh (bahan mentah) dan dikemas ulang dengan merek teh Uzbekistan.
Sejumlah perusahaan yang berani masuk Uzbekistan, antara lain PT Sayap Mas Utama yang mengekspor bahan pembersih seperti sabun, dan PT Bumi Tangerang Mesindotama dengan produk coklat.
//Kendala//
Dubes Sjahril menyebutkan kerumitan sistem pembayaran dan transportasi barang menjadi kendala eksportir Indonesia. Bank Muamalat, yang merupakan bank nasional diharapkan membuka pintu layanan sistem pembayaran bagi kegiatan ekspor-impor dan memfasilitasi kebutuhan pedagang dan pelaku bisnis.
“Sistem pembayaran di Uzbekistan memang berbeda dan masih memakai sistem cash and carry karena fasilitas bank sangat terbatas,” ungkap Sjahril.
Di bidang perbankan, Uzbekistan masih menerapkan kebijakan tight money dan membatasi peran perbankan dalam transaksi pembayaran dengan mata uang asing. Kebijakan ini dilakukan melalui pembatasan peredaran mata uang asing. Prioritas diberikan hanya untuk ekspor impor produk bahan mentah.
Kuasa Usaha Ad Interim Kedubes Uzbekistan Kahramon A. Shakirov mengatakan pihaknya siap menjajaki kemungkinan kerjasama dengan beberapa bank seperti BRI, BCA dan Bank Mandiri.
Khusus terhadap produk UMKM berorientasi ekspor, pemerintah melalui PT Permodalan Nasional Madani akan membantu permodalan dan memfasilitasi kegiatan memasok barang ke House of Indonesia di Tashkent.
Dubers Sjahril menambahkan sistem pengiriman barang ke Uzbekistan dan negara Asia Tengah tidak bisa langsung dan masih melewati negara seperti Iran, China dan Pakistan. Konsekuensinya biaya transportasi menjadi mahal.
Rute Iran adalah melalui pelabuhan Bandar Abbas menuju Turkmenistan lalu ke Uzbekistan menggunakan truk dan kereta api. Jika memilih lewat China, jalurnya melalui pelabuhan di China menuju ke Kyrgyzstan lalu ke Tajikistan dan kemudian ke Uzbekistan melalui jalan darat.
Sedangkan rute Pakistan dimulai dari pelabuhan Karachi menuju ke Afghanistan dan masuk ke Uzbekistan melalui jalan darat. Pembukaan jalur penerbangan langsung dan penghapusan biaya lintas perbatasan Uzbekistan menjadi instrumen perjanjian yang dibahas kedua negara.
Kendala yang banyak itu bisa dikatakan seimbang dengan potensi keuntungan yang begitu besar. Jadi segera siapkan portofolio ekspor Anda. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Comments