Kenapa gak berani pakai SNI?
19 Juni 2008
Penerapan SNI, mungkinkah lebih dari sekadar sukarela?
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
eye:
Meski demikian, mau SNI wajib atau sukarela, partisipasi perusahaan menggunakan SNI tidak begitu menggembirakan dan jelas mengkhawatirkan bagi konsumen.
Roman Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi begitu serius ketika dirinya menyampaikan kegusaran mengenai kejadian 9 Juni lalu ketika lima anak sekolah TK Sekar Bangsa keracunan permen cokelat yang berisi zat narkoba Happy Five.
Bambang jelas marah karena bisa saja masyarakat berpandangan produk makanan komersial termasuk permen tidak memiliki acuan standar yang jelas. Padahal, dia ingin masyarakat tahu kembang gula memiliki standar nasional Indonesia sejak 1994.
SNI untuk permen atau kembang gula memiliki nomor kode 01-3547-1994 yang disahkan Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Perkembangan teknologi, perubahan aspek ekonomi dan nasional membuat BSN pun merevisi SNI kembang gula.
Per Juni 2008, acuan standar untuk permen telah berjumlah dua buah yaitu SNI 3547.1:2008 tentang kembang gula keras dan SNI 3547.2:2008 tentang kembang gula lunak.
“Ini baru saya tandatangani dan waduh, kok ya kemudian muncul kasus permen narkoba itu,” katanya seraya memperlihatkan dua bundel dokumen SNI kepada pers di ruang kerjanya, kemarin.
Bambang sekaligus membantah dikeluarkannya revisi SNI ini karena ada kasus permen cokelat narkoba di masyarakat. “Dokumen ini dibuat membutuhkan waktu dua tahun, jadi bukan karena ada kasus terus seminggu dokumennya langsung jadi,” sanggahnya.
Bukan hanya dua dokumen SNI yang ditunjukkan Bambang. Dia menyebutkan satu rancangan SNI tentang kembang gula karet tengah dalam proses jajak pendapat dan diharapkan awal kuartal III/2008 dapat disahkan menjadi SNI 3547.3:2008.
Rumusan semua penyesuaian SNI tersebut memperhatikan sejumlah kaidah dalam UU No.7/1996 tentang pangan dan peraturan pemerintah No.67/1999 tentang label dan iklan pangan.
Bambang menjelaskan kasus permen narkoba itu sebenarnya bukan ruang lingkup BSN , tetapi pihaknya memiliki kepentingan agar masyarakat mengetahui dan mensyaratkan kesesuaian seluruh produk komersial dengan standar nasional yang berlaku.
Untuk kembang gula misalnya, SNI mengatur bahan baku utama dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, syarat mutu kembang gula yang memerhatikan aspek teknologi, kesehatan dan keamanan pangan untuk tujuan konsumsi.
Semua standar yang dipublikasikan BSN merupakan acuan dalam perdagangan. “Kami mengimbau agar produsen dalam memproduksi makanan dan minuman, barang atau jasa untuk penggunaan konsumen bersedia untuk menggunakan standar yang ada dan memenuhi ketentuan yang berlaku,” kata Bambang.
//Sukarela//
Ucapan itu jelas sekadar bersifat imbauan. SNI memang ada yang bersifat wajib seperti kaca pengaman, tabung gas, ban ataupun air minum dalam kemasan. Sayangnya, kembang gula (sweet candy) bukan yang wajib dan hanya sukarela.
Sifat voluntary itu membuat banyak perusahaan ataupun produsen skala mikro enggan menerapkan standar untuk mutu dan kualitas barangnya. “Mereka bilang tidak pakai SNI juga tidak apa-apa,” ujar Bambang.
Meski demikian, mau SNI wajib atau sukarela, partisipasi perusahaan menggunakan SNI tidak begitu menggembirakan dan jelas mengkhawatirkan bagi konsumen serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Hingga awal Juni 2008, BSN telah memiliki 20.896 responden perusahaan industri baik yang skala besar maupun kecil. Bila data itu dipecah untuk industri besar, pengguna SNI hanya 2.046 perusahaan, 474 non SNI dan sisanya tidak berstandar.
Di industri kecil, BSN mendapatkan jumlah responden yang menggunakan hanya 1.076 atau angka yang memperlihatkan jumlah yang sangat kecil. Apa ada produsen permen yang memakai SNI? “Saya kira sejak 1994 mungkin tidak ada [yang melaporkan] memakainya,” ungkap Bambang.
Dia tidak menampik rendahnya penggunaan SNI karena persepsi yang salah dari produsen terutama yang bermodal pas-pasan, yang mengeluhkan potensi mahalnya ongkos produksi.
Biasanya produsen skala besar dan berorientasi ekspor mematuhi aturan menerapkan SNI dengan tujuan memperkuat daya saing produknya di pasar global serta akseptasi konsumen internasional.
Kenapa tidak diwajibkan saja semua SNI? Kepala Pusat Pengembangan Standar BSN Tengku Hanafiah menyebutkan kewenangan itu berada di tangan regulator yaitu Departemen Kesehatan dan Departemen Perindustrian.
“Selain itu kami juga harus mematuhi aturan internasional, jangan sampai national treatment dan most favored nation membuat ada diskriminasi antara produk lokal dengan internasional. UKM kita juga masih bnayak yang perlu disadarkan” kata Tengku.
Biar bagaimanapun pengawasan barang beredar yang merupakan wewenang Departemen Perdagangan juga perlu diperketat. Jangan sampai konsumen hanya menjadi korban dari lambatnya tindakan pemerintah. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Penerapan SNI, mungkinkah lebih dari sekadar sukarela?
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
eye:
Meski demikian, mau SNI wajib atau sukarela, partisipasi perusahaan menggunakan SNI tidak begitu menggembirakan dan jelas mengkhawatirkan bagi konsumen.
Roman Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi begitu serius ketika dirinya menyampaikan kegusaran mengenai kejadian 9 Juni lalu ketika lima anak sekolah TK Sekar Bangsa keracunan permen cokelat yang berisi zat narkoba Happy Five.
Bambang jelas marah karena bisa saja masyarakat berpandangan produk makanan komersial termasuk permen tidak memiliki acuan standar yang jelas. Padahal, dia ingin masyarakat tahu kembang gula memiliki standar nasional Indonesia sejak 1994.
SNI untuk permen atau kembang gula memiliki nomor kode 01-3547-1994 yang disahkan Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Perkembangan teknologi, perubahan aspek ekonomi dan nasional membuat BSN pun merevisi SNI kembang gula.
Per Juni 2008, acuan standar untuk permen telah berjumlah dua buah yaitu SNI 3547.1:2008 tentang kembang gula keras dan SNI 3547.2:2008 tentang kembang gula lunak.
“Ini baru saya tandatangani dan waduh, kok ya kemudian muncul kasus permen narkoba itu,” katanya seraya memperlihatkan dua bundel dokumen SNI kepada pers di ruang kerjanya, kemarin.
Bambang sekaligus membantah dikeluarkannya revisi SNI ini karena ada kasus permen cokelat narkoba di masyarakat. “Dokumen ini dibuat membutuhkan waktu dua tahun, jadi bukan karena ada kasus terus seminggu dokumennya langsung jadi,” sanggahnya.
Bukan hanya dua dokumen SNI yang ditunjukkan Bambang. Dia menyebutkan satu rancangan SNI tentang kembang gula karet tengah dalam proses jajak pendapat dan diharapkan awal kuartal III/2008 dapat disahkan menjadi SNI 3547.3:2008.
Rumusan semua penyesuaian SNI tersebut memperhatikan sejumlah kaidah dalam UU No.7/1996 tentang pangan dan peraturan pemerintah No.67/1999 tentang label dan iklan pangan.
Bambang menjelaskan kasus permen narkoba itu sebenarnya bukan ruang lingkup BSN , tetapi pihaknya memiliki kepentingan agar masyarakat mengetahui dan mensyaratkan kesesuaian seluruh produk komersial dengan standar nasional yang berlaku.
Untuk kembang gula misalnya, SNI mengatur bahan baku utama dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, syarat mutu kembang gula yang memerhatikan aspek teknologi, kesehatan dan keamanan pangan untuk tujuan konsumsi.
Semua standar yang dipublikasikan BSN merupakan acuan dalam perdagangan. “Kami mengimbau agar produsen dalam memproduksi makanan dan minuman, barang atau jasa untuk penggunaan konsumen bersedia untuk menggunakan standar yang ada dan memenuhi ketentuan yang berlaku,” kata Bambang.
//Sukarela//
Ucapan itu jelas sekadar bersifat imbauan. SNI memang ada yang bersifat wajib seperti kaca pengaman, tabung gas, ban ataupun air minum dalam kemasan. Sayangnya, kembang gula (sweet candy) bukan yang wajib dan hanya sukarela.
Sifat voluntary itu membuat banyak perusahaan ataupun produsen skala mikro enggan menerapkan standar untuk mutu dan kualitas barangnya. “Mereka bilang tidak pakai SNI juga tidak apa-apa,” ujar Bambang.
Meski demikian, mau SNI wajib atau sukarela, partisipasi perusahaan menggunakan SNI tidak begitu menggembirakan dan jelas mengkhawatirkan bagi konsumen serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Hingga awal Juni 2008, BSN telah memiliki 20.896 responden perusahaan industri baik yang skala besar maupun kecil. Bila data itu dipecah untuk industri besar, pengguna SNI hanya 2.046 perusahaan, 474 non SNI dan sisanya tidak berstandar.
Di industri kecil, BSN mendapatkan jumlah responden yang menggunakan hanya 1.076 atau angka yang memperlihatkan jumlah yang sangat kecil. Apa ada produsen permen yang memakai SNI? “Saya kira sejak 1994 mungkin tidak ada [yang melaporkan] memakainya,” ungkap Bambang.
Dia tidak menampik rendahnya penggunaan SNI karena persepsi yang salah dari produsen terutama yang bermodal pas-pasan, yang mengeluhkan potensi mahalnya ongkos produksi.
Biasanya produsen skala besar dan berorientasi ekspor mematuhi aturan menerapkan SNI dengan tujuan memperkuat daya saing produknya di pasar global serta akseptasi konsumen internasional.
Kenapa tidak diwajibkan saja semua SNI? Kepala Pusat Pengembangan Standar BSN Tengku Hanafiah menyebutkan kewenangan itu berada di tangan regulator yaitu Departemen Kesehatan dan Departemen Perindustrian.
“Selain itu kami juga harus mematuhi aturan internasional, jangan sampai national treatment dan most favored nation membuat ada diskriminasi antara produk lokal dengan internasional. UKM kita juga masih bnayak yang perlu disadarkan” kata Tengku.
Biar bagaimanapun pengawasan barang beredar yang merupakan wewenang Departemen Perdagangan juga perlu diperketat. Jangan sampai konsumen hanya menjadi korban dari lambatnya tindakan pemerintah. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)
Comments