Danamon tak sekedar beruntung
10 tahun pascakrisis, Danamon tak sekedar beruntung
Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia
Nama Usman Admadjaja kini seakan mulai menguap dari ingatan orang soal keberadaan Bank Danamon. Konglomerat asal Tanjung Karang Lampung ini merupakan bidan bank swasta nasional kedua terbesar ini.
Danamon merupakan nama yang dipilih Usman ketika mengubah Bank Persatuan Indonesia (eks Bank Kopra) yang dibeli pada 1976. Lima tahun kemudian bank ini melakukan penggabungan usaha dengan Bank Asia Afrika.
Kiprah Danamon cukup memberikan warna di pentas perbankan nasional. Adanya Pakto 1988 dari Menkeu JB Sumarlin dimanfaatkan benar oleh Danamon untuk memperoleh status bank devisa dan pada 1989 Usman mencatatkan Danamon di bursa saham.
Danamon melakukan penawaran umum perdanan atas 12 juta lembar saham biasa dengan nilai nominal Rp1.000 per lembar. Harga penawaran per saham sebesar Rp12.000. Aksi masuk bursa membuat aset Danamon melejit dari Rp311 miliar pertengahan 1988 menjadi Rp2,3 triliun setahun kemudian.
Pada 1992, pemerintah meminta Danamon mengakuisisi Bank Sampoerna lalu di 1994 Danamon dan BCA diminta menyelamatkan Bank Continental yang terjerat kredit macet. Dua bank swasta nasional ini diberikan fasilitas dana murah dari BI masing-masing sebesar Rp50 miliar untuk memulihkan Bank Continental.
Pengalaman membantu bank lain dengan sukses membuat Danamon cukup mendapatkan nama. Persepsi masyarakat hingga 1996 menunjukkan Danamon bersaing ketat dengan BII dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) mengejar posisi bank swasta nasional terbesar kedua setelah BCA.
Usman mulai melirik pembiayaan properti berskala besar. Pilihan itu terasa pahit pada saat krisis moneter mulai menjalar dan pada November 1997, untuk pertama kali Danamon di-rush.
Nasabah ketika itu panik karena pemerintah melikuidasi paksa 16 bank swasta. Beberapa bank bahkan kena gugatan hukum nasabah. Kondisi industri pun diperparah tingginya suku bunga overnight sebesar 270% dan berdampak banyak bank kalah kliring serta harus menutup buku pada akhir hari.
Danamon kena isu kalah kliring dan yang cukup menggentarkan publik soal rencana penjualan saham ke kelompok Salim pemilik BCA. Pada 11 Maret 1998, goncangan rush kembali mendera Danamon karena kondisi moneter diperparah suku bunga deposito hingga 75%.
4 April 1998, Danamon beruntung lolos dari maut ketika Menkeu Fuad Bawazier menjatuhkan vonis pembekuan tujuh bank swasta nasional. Hari itu, Danamon resmi menjadi bank take over (BTO) ke dalam penanganan BPPN.
Tapi nasabah terus menarik dana besar-besaran dan per 30 April 1998 dana simpanan di Danamon berkurang Rp8,1 triliun atau lebih dari separuh dana pihak ketiga. Pada Mei 1998, dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia pun mengucur sebesar Rp25,5 triliun.
Era Usman Admadjaja berakhir pada RUPS 29 Juni 1998 yang ditandai penyerahan jabatan komisaris utama kepada Peter B. Stok, sementara adiknya yaitu Ninie Admadjaja melepas jabatan dirut kepada Utung Purwito dari BRI yang merupakan bank pendamping.
Setiap bank berstatus BTO mendapatkan pendampingan dari bank pemerintah seperti Bank Tiara-Bank Bumi Daya serta Bank Umum Nasional didampingi BTN. Danamon kembali beruntung didampingi BRI sebagai caretaker yang memuluskan jalan memasuki sektor microfinancing.
Pada 26 Agustus 1998, BPPN menegaskan Danamon beserta 3 bank lainnya merupakan BTO yang 95% sahamnya diambilalih pemerintah, dan mereka buka bank beku operasi. Usman yang melihat celah join recapitalization ternyata tak sanggup menguangkan 215 juta saham Astra International yang dibelinya pada 1996. Saham Danamon yang sudah ambruk ke level Rp175 pun kena suspensi dari BEJ.
Glenn MS Jusuf selaku Ketua BPPN pada September 1998 memasukkan Danamon ke Asset Management Unit (AMU) untuk direstrukturisasi dan disehatkan sebelum layak dijual ke investor.
Di Januari 1999, Danamon berhasil membersihkan neraca dan per April 1999, bank ini resmi menerima obligasi pemerintah untuk rekapitalisasi sebesar Rp33 triliun. Rencana merger kembali terungkap.
BPPN menjodohkan Danamon dengan Bank PDFCI, yang efektif pada 30 Desember 1999 berdasarkan persetujuan RUPSLB, BI dan pemerintah. Danamon beruntung menjadi surviving bank dan namanya tak dilucuti serta modal dasar gabungan kedua bank ini dinaikkan menjadi Rp9,6 triliun.
Dirut baru Milan Robert Schuster dibantu Armand Bachtiar Arief serta Gayatri RA, Hendrawan Tranggana, Muliadi Rahardja dan Mahendra Wardhana membawa Danamon kembali mulai memberikan kredit pada Desember 1999.
LoI antara pemerintah dengan IMF mengharuskan adanya kesepakatan merger antarbank ala kawin paksa. Cacuk Sudaryanto pengganti Glenn Jusuf membuat mega merger antara Danamon dengan delapan bank yaitu Bank Duta, Bank Rama, Bank Tamara, Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Jayabank International dan Bank Risjad Salim internasional.
Shuster, Armand serta Safrullah Hadi Saleh menjadi pelaku utama dalam penggabungan sembilan bank tersebut hingga sukses. Legal merger selesai akhir Juni 2000 dan diikuti operational merger pada September.
Akhir 2000, Danamon memasuki era baru. Resizing menbuat bank hasil merger 10 bank ini memiliki sekitar 11.000 karyawan di 500 kantor cabang dengan NPL mulai mendingin dari 66% menjadi 28%, aset diperkirakan Rp55,2 triliun, serta proyeksi laba Rp13 miliar.
Mulai 2001, BPPN menempatkan Arwin Rasyid, eks bankir Bank of America dan Bank Niaga sebagai dirut Danamon.
Arwin mulai melakukan transformasi dengan etos kerja baru serta membereskan tiga persoalan besar (rendahnya asset yield, tingginya biaya dana serta suku bunga) dalam tiga bulan pertama masa jabatannya.
Belum apa-apa, Arwin dan Safrullah harus melayani tuntutan pembayaran utang Bank Tiara dan PDFCI yang kalah transaksi derivatif dari Peregrine. Institusi asal Hong Hong ini menuntut US$120 juta tapi hasil negosiasi dua orang itu membuat Danamon hanya perlu membayar US$18 juta.
Badai hukum kembali mendera berupa gugatan pailit dari Bank IFI yang berawal dari ipute tagihan kredit bersama Bank Nusa Nasional kepada PT Riau Prima Energi senilai US$16 juta. IFI menuntut Danamon membayar US$12 juta.
Dukungan Pradjoto serta ketegasan Gubernur BI Syahril Sabirin soal kekuatan hukum pailit membuat Danamon berdasarkan hasil arbitrase hanya membayar denda US$6,5 juta.
Lepas dari itu, kerja keras manajemen menurunkan NPL cukup sukses dan berhasil hingga mencapai 8% melalui skema hapus buku.
Nasib baik juga menaungi Arwin, Safrullah dan akuntannya Vera Eve Liem dalam eksposur valas. Mereka mengungkapkan kecemasan soal posisi devisa terbuka (net open position) yang sebesar US$316 juta.
“Pada waktu kami memborong valas itu, rupiah sedang menguat di kisaran Rp9.000 per US$. Ternyata beberapa bulan kemudian rupaih melemah ke kisaran Rp12.000,” ujar Arwin dalam bukunya bertajuk 180 Derajat.
Pemulihan kesehatan berlanjut dengan konversi dan swap obligasi rekap dengan membeli aset BPPN yang berkualitas secara tepat. Penjualan reksadana dengan garansi obligasi pemerintah yang digagas Randy Pangalila menjadi kunci mulai seimbangnya dana mahal-murah di Danamon.
Merger kembali menjadi isu ketika Arwin di 2001 mulai melirik BII, Bank Universal dan Bank Niaga. Sayang, penjajakan dengan Bank Universal keburu kecium pers dan BEJ pun menerapkan suspensi saham kedua bank.
Episode merger kali ini pun gagal karena Bank Universal akhirnya berlabuh di Bank Permata. Bank Niaga didivestasikan ke investor Malaysia sementara BII kepada konsorsium Sorak Financial (Temasek dan Kookmin Bank).
Di 2007 ini, isu merger Danamon dengan BII kembali menyeruak karena pemegang saham pengendalinya sama yaitu Temasek.
Transformasi Danamon kembali berjalan dengan membidik diri menjadi bank ritel. Muliadi Rahardja bertanggung jawab untuk sektor ritel, terutama menjalankan bisnis konsumer baik kartu kredit, bancassurance hingga kerjasama multifinance.
Eks bankir Bank Niaga, Prasetio yang menjadi direktur SME & Commercial Bank Danamon ketika itu mulai mengembangkan kredit usaha kecil dan menengah yang didukung luasnya jaringan kantor cabang.
Gatot Mudiantoro Suwondo mulai melengkapi layanan Danamon dengan mendirikan unit perbankan syariah. Tak hanya itu, Gatot (kini wadirut BNI) juga membuka unit perbankan agribisnis terutama untuk nasabah sektor ritel.
Di sektor korporasi, Riswinandi (kini direktur asset recovery di Bank Mandiri) yang juga eks Bank Niaga dipercaya mengembangkan mata rantai produksi dari hulu untuk mendorong kemitraan perusahaan besar dengan UMKM.
Eks bankir Citibank dan Astra Financial Services serta salah satu deputi BPPN Jerry Ng direkrut sebagai sounding board bagi direksi. Hasilnya kredit konsumer terutama kendaraan bermotor serta kartu kredit Danamon pun melejit,.
Pada Juni 2003, era Arwin berakhir seiring beralihnya kepemilikan mayoritas ke tangan konsorsium Asia Financial Indonesia. Pemerintah melepas 51% sahamnya kepada AFI (Temasek) yang membayar denga harga Rp3 triliun.
Francis Andrew Rozario yang menjadi dirut meneruskan oeprating platform yang dibangun Arwin. Francis membentuk Danamon Simpan Pinjam yang terbukti tangguh menyaingi BRI unit desa sekaligus penyumbang NIM terbesar.
Pada 2004, Danamon mengakuisisi Adira Dinamika Multi Finance, salah satu perusahaan multifinance mitra penyalur kredit kendaraan selama ini. Namun, Francis tak lagi membuat Danamon membeli aset dan portofolio BPPN yang terbuktu hasilnya tak seperti diharapkan.
Sebastian Paredes memulai pada 2005 dan dia memantapkan peran Danamon Simpan Pinjam untuk pembiayaan mikro dan Adira dari sisi pembiayaan konsumer. Sebastian dan Jerry Ng pun mengakuisisi bisnis kartu kredit Amex di Indonesia.
Kini, satu dekade sudah sejak badai krisis moneter, Danamon kembali memantapkan posisinya sebagai bank kelima terbesar nasional baik dari sisi aset, kredit maupun dana pihak ketiga.Jelas, pencapaian itu tak lepas dari kerja keras seluruh unsur pemangku kepentingan di waktu yang vital untuk perubahan arah bisnis perseroan. Sekarang, industri telah pulih dan persaingan antarbank pun semakin ketat, tentu tak mengandalkan keberuntungan semata.
Oleh Fahmi Achmad
Wartawan Bisnis Indonesia
Nama Usman Admadjaja kini seakan mulai menguap dari ingatan orang soal keberadaan Bank Danamon. Konglomerat asal Tanjung Karang Lampung ini merupakan bidan bank swasta nasional kedua terbesar ini.
Danamon merupakan nama yang dipilih Usman ketika mengubah Bank Persatuan Indonesia (eks Bank Kopra) yang dibeli pada 1976. Lima tahun kemudian bank ini melakukan penggabungan usaha dengan Bank Asia Afrika.
Kiprah Danamon cukup memberikan warna di pentas perbankan nasional. Adanya Pakto 1988 dari Menkeu JB Sumarlin dimanfaatkan benar oleh Danamon untuk memperoleh status bank devisa dan pada 1989 Usman mencatatkan Danamon di bursa saham.
Danamon melakukan penawaran umum perdanan atas 12 juta lembar saham biasa dengan nilai nominal Rp1.000 per lembar. Harga penawaran per saham sebesar Rp12.000. Aksi masuk bursa membuat aset Danamon melejit dari Rp311 miliar pertengahan 1988 menjadi Rp2,3 triliun setahun kemudian.
Pada 1992, pemerintah meminta Danamon mengakuisisi Bank Sampoerna lalu di 1994 Danamon dan BCA diminta menyelamatkan Bank Continental yang terjerat kredit macet. Dua bank swasta nasional ini diberikan fasilitas dana murah dari BI masing-masing sebesar Rp50 miliar untuk memulihkan Bank Continental.
Pengalaman membantu bank lain dengan sukses membuat Danamon cukup mendapatkan nama. Persepsi masyarakat hingga 1996 menunjukkan Danamon bersaing ketat dengan BII dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) mengejar posisi bank swasta nasional terbesar kedua setelah BCA.
Usman mulai melirik pembiayaan properti berskala besar. Pilihan itu terasa pahit pada saat krisis moneter mulai menjalar dan pada November 1997, untuk pertama kali Danamon di-rush.
Nasabah ketika itu panik karena pemerintah melikuidasi paksa 16 bank swasta. Beberapa bank bahkan kena gugatan hukum nasabah. Kondisi industri pun diperparah tingginya suku bunga overnight sebesar 270% dan berdampak banyak bank kalah kliring serta harus menutup buku pada akhir hari.
Danamon kena isu kalah kliring dan yang cukup menggentarkan publik soal rencana penjualan saham ke kelompok Salim pemilik BCA. Pada 11 Maret 1998, goncangan rush kembali mendera Danamon karena kondisi moneter diperparah suku bunga deposito hingga 75%.
4 April 1998, Danamon beruntung lolos dari maut ketika Menkeu Fuad Bawazier menjatuhkan vonis pembekuan tujuh bank swasta nasional. Hari itu, Danamon resmi menjadi bank take over (BTO) ke dalam penanganan BPPN.
Tapi nasabah terus menarik dana besar-besaran dan per 30 April 1998 dana simpanan di Danamon berkurang Rp8,1 triliun atau lebih dari separuh dana pihak ketiga. Pada Mei 1998, dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia pun mengucur sebesar Rp25,5 triliun.
Era Usman Admadjaja berakhir pada RUPS 29 Juni 1998 yang ditandai penyerahan jabatan komisaris utama kepada Peter B. Stok, sementara adiknya yaitu Ninie Admadjaja melepas jabatan dirut kepada Utung Purwito dari BRI yang merupakan bank pendamping.
Setiap bank berstatus BTO mendapatkan pendampingan dari bank pemerintah seperti Bank Tiara-Bank Bumi Daya serta Bank Umum Nasional didampingi BTN. Danamon kembali beruntung didampingi BRI sebagai caretaker yang memuluskan jalan memasuki sektor microfinancing.
Pada 26 Agustus 1998, BPPN menegaskan Danamon beserta 3 bank lainnya merupakan BTO yang 95% sahamnya diambilalih pemerintah, dan mereka buka bank beku operasi. Usman yang melihat celah join recapitalization ternyata tak sanggup menguangkan 215 juta saham Astra International yang dibelinya pada 1996. Saham Danamon yang sudah ambruk ke level Rp175 pun kena suspensi dari BEJ.
Glenn MS Jusuf selaku Ketua BPPN pada September 1998 memasukkan Danamon ke Asset Management Unit (AMU) untuk direstrukturisasi dan disehatkan sebelum layak dijual ke investor.
Di Januari 1999, Danamon berhasil membersihkan neraca dan per April 1999, bank ini resmi menerima obligasi pemerintah untuk rekapitalisasi sebesar Rp33 triliun. Rencana merger kembali terungkap.
BPPN menjodohkan Danamon dengan Bank PDFCI, yang efektif pada 30 Desember 1999 berdasarkan persetujuan RUPSLB, BI dan pemerintah. Danamon beruntung menjadi surviving bank dan namanya tak dilucuti serta modal dasar gabungan kedua bank ini dinaikkan menjadi Rp9,6 triliun.
Dirut baru Milan Robert Schuster dibantu Armand Bachtiar Arief serta Gayatri RA, Hendrawan Tranggana, Muliadi Rahardja dan Mahendra Wardhana membawa Danamon kembali mulai memberikan kredit pada Desember 1999.
LoI antara pemerintah dengan IMF mengharuskan adanya kesepakatan merger antarbank ala kawin paksa. Cacuk Sudaryanto pengganti Glenn Jusuf membuat mega merger antara Danamon dengan delapan bank yaitu Bank Duta, Bank Rama, Bank Tamara, Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional, Bank Pos Nusantara, Jayabank International dan Bank Risjad Salim internasional.
Shuster, Armand serta Safrullah Hadi Saleh menjadi pelaku utama dalam penggabungan sembilan bank tersebut hingga sukses. Legal merger selesai akhir Juni 2000 dan diikuti operational merger pada September.
Akhir 2000, Danamon memasuki era baru. Resizing menbuat bank hasil merger 10 bank ini memiliki sekitar 11.000 karyawan di 500 kantor cabang dengan NPL mulai mendingin dari 66% menjadi 28%, aset diperkirakan Rp55,2 triliun, serta proyeksi laba Rp13 miliar.
Mulai 2001, BPPN menempatkan Arwin Rasyid, eks bankir Bank of America dan Bank Niaga sebagai dirut Danamon.
Arwin mulai melakukan transformasi dengan etos kerja baru serta membereskan tiga persoalan besar (rendahnya asset yield, tingginya biaya dana serta suku bunga) dalam tiga bulan pertama masa jabatannya.
Belum apa-apa, Arwin dan Safrullah harus melayani tuntutan pembayaran utang Bank Tiara dan PDFCI yang kalah transaksi derivatif dari Peregrine. Institusi asal Hong Hong ini menuntut US$120 juta tapi hasil negosiasi dua orang itu membuat Danamon hanya perlu membayar US$18 juta.
Badai hukum kembali mendera berupa gugatan pailit dari Bank IFI yang berawal dari ipute tagihan kredit bersama Bank Nusa Nasional kepada PT Riau Prima Energi senilai US$16 juta. IFI menuntut Danamon membayar US$12 juta.
Dukungan Pradjoto serta ketegasan Gubernur BI Syahril Sabirin soal kekuatan hukum pailit membuat Danamon berdasarkan hasil arbitrase hanya membayar denda US$6,5 juta.
Lepas dari itu, kerja keras manajemen menurunkan NPL cukup sukses dan berhasil hingga mencapai 8% melalui skema hapus buku.
Nasib baik juga menaungi Arwin, Safrullah dan akuntannya Vera Eve Liem dalam eksposur valas. Mereka mengungkapkan kecemasan soal posisi devisa terbuka (net open position) yang sebesar US$316 juta.
“Pada waktu kami memborong valas itu, rupiah sedang menguat di kisaran Rp9.000 per US$. Ternyata beberapa bulan kemudian rupaih melemah ke kisaran Rp12.000,” ujar Arwin dalam bukunya bertajuk 180 Derajat.
Pemulihan kesehatan berlanjut dengan konversi dan swap obligasi rekap dengan membeli aset BPPN yang berkualitas secara tepat. Penjualan reksadana dengan garansi obligasi pemerintah yang digagas Randy Pangalila menjadi kunci mulai seimbangnya dana mahal-murah di Danamon.
Merger kembali menjadi isu ketika Arwin di 2001 mulai melirik BII, Bank Universal dan Bank Niaga. Sayang, penjajakan dengan Bank Universal keburu kecium pers dan BEJ pun menerapkan suspensi saham kedua bank.
Episode merger kali ini pun gagal karena Bank Universal akhirnya berlabuh di Bank Permata. Bank Niaga didivestasikan ke investor Malaysia sementara BII kepada konsorsium Sorak Financial (Temasek dan Kookmin Bank).
Di 2007 ini, isu merger Danamon dengan BII kembali menyeruak karena pemegang saham pengendalinya sama yaitu Temasek.
Transformasi Danamon kembali berjalan dengan membidik diri menjadi bank ritel. Muliadi Rahardja bertanggung jawab untuk sektor ritel, terutama menjalankan bisnis konsumer baik kartu kredit, bancassurance hingga kerjasama multifinance.
Eks bankir Bank Niaga, Prasetio yang menjadi direktur SME & Commercial Bank Danamon ketika itu mulai mengembangkan kredit usaha kecil dan menengah yang didukung luasnya jaringan kantor cabang.
Gatot Mudiantoro Suwondo mulai melengkapi layanan Danamon dengan mendirikan unit perbankan syariah. Tak hanya itu, Gatot (kini wadirut BNI) juga membuka unit perbankan agribisnis terutama untuk nasabah sektor ritel.
Di sektor korporasi, Riswinandi (kini direktur asset recovery di Bank Mandiri) yang juga eks Bank Niaga dipercaya mengembangkan mata rantai produksi dari hulu untuk mendorong kemitraan perusahaan besar dengan UMKM.
Eks bankir Citibank dan Astra Financial Services serta salah satu deputi BPPN Jerry Ng direkrut sebagai sounding board bagi direksi. Hasilnya kredit konsumer terutama kendaraan bermotor serta kartu kredit Danamon pun melejit,.
Pada Juni 2003, era Arwin berakhir seiring beralihnya kepemilikan mayoritas ke tangan konsorsium Asia Financial Indonesia. Pemerintah melepas 51% sahamnya kepada AFI (Temasek) yang membayar denga harga Rp3 triliun.
Francis Andrew Rozario yang menjadi dirut meneruskan oeprating platform yang dibangun Arwin. Francis membentuk Danamon Simpan Pinjam yang terbukti tangguh menyaingi BRI unit desa sekaligus penyumbang NIM terbesar.
Pada 2004, Danamon mengakuisisi Adira Dinamika Multi Finance, salah satu perusahaan multifinance mitra penyalur kredit kendaraan selama ini. Namun, Francis tak lagi membuat Danamon membeli aset dan portofolio BPPN yang terbuktu hasilnya tak seperti diharapkan.
Sebastian Paredes memulai pada 2005 dan dia memantapkan peran Danamon Simpan Pinjam untuk pembiayaan mikro dan Adira dari sisi pembiayaan konsumer. Sebastian dan Jerry Ng pun mengakuisisi bisnis kartu kredit Amex di Indonesia.
Kini, satu dekade sudah sejak badai krisis moneter, Danamon kembali memantapkan posisinya sebagai bank kelima terbesar nasional baik dari sisi aset, kredit maupun dana pihak ketiga.Jelas, pencapaian itu tak lepas dari kerja keras seluruh unsur pemangku kepentingan di waktu yang vital untuk perubahan arah bisnis perseroan. Sekarang, industri telah pulih dan persaingan antarbank pun semakin ketat, tentu tak mengandalkan keberuntungan semata.
Comments
Maaf klw boleh tau. Tuan Hendrawan tranggana yg pemilik Peternakan Di Sukabumi bukan,?
087820883388