Siapa Gubernur Malut?
DPR: PILKADA MALUT PELAJARAN BERHARGA BUAT PEMERINTAH
Jakarta, 12/5 (ANTARA) - DPR menilai kasus Pilkada Maluku Utara (Malut) menjadi pelajaran berharga, khususnya bagi pemerintah, yang tidak konsisten dan cepat dalam mengambil keputusan.
Demikian disampaikan Ketua DPR, Agung Laksono dalam pidato Paripurna Pembukaan masa sidang DPR IV di Gedung DPR Jakarta, Senin. Dikatakan Agung bahwa DPR merasa prihatin dengan kasus Pilkada Malut lantaran belum dilantiknya gubernur dan wakil gubernur terpilih.
"Ini jelas akan sangat merugikan bagi pembangunan daerah khususnya dan pembangunan demokirasi pada umumnya," kata Agung.
Agung juga mengatakan bahwa pimpinan DPR sudah mengirimkan rekomendasi kepada Presiden, sesuai dengan keputusan Komisi II yang mendukung penuh hasil perhitungan suara yang dimenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdul Abdurahim Fabanyo.
Perhitungan tersebut dinilai sah karena dilakukan oleh Plt Ketua KPUD Malut yang juga sah. "Rekomendasi Komisi II ini disepakati oleh seluruh fraksi yang ada sehingga pimpinan DPR hanya meneruskannya kepada Presiden," kata Agung.
Sebelumnya pada 27 Maret 2008, rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Yudhoyono telah memutuskan untuk menyerahkan penyelesaian Pilkada Malut kepada DPRD Provinsi Malut.
DPRD Malut, oleh pemerintah diminta menyerahkan satu pasangan calon pemenang Pilkada yang merupakan putusan sidang paripurna DPRD. Selanjutnya, DPRD Malut menggelar rapat paripurna pada 16 April 2008 yang dihadiri oleh 20 anggota dari 35 anggota DPRD.
Rapat itu memutuskan untuk merekomendasikan hasil penghitungan ulang Pilkada Malut oleh Plt Ketua KPUD Malut, Mukhlis Tapitapi yang memenangkan pasangan Abdul Gafur/Aburahim Fabanyo.
Penghitungan suara hasil Pilkada Malut terdapat dua versi, yakni pertama dimenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba (berdasarkan perhitungan oleh Ketua KPU Provinsi Malut M Rahmi Husen dan anggotanya Ir Nurbaya Soleman, yang telah dinonaktifkan oleh KPU).
Versi kedua, memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo (berdasarkan perhitungan oleh Plt KPUD Malut Muchlis Tapitapi, yang telah ditunjuk KPU menggantikan M Rahmi Husen).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Dr Harun Al Rasyid menilai, hasil penghitungan suara Pilkada yang sah itu adalah yang dilakukan oleh KPUD Malut yang sah yang dalam hal ini dilakukan Mukhlis Tapi Tapi.
"Aneh kalau pemerintah pusat masih mempertimbangkan hasil penghitungan suara yang diputuskan oleh pimpinan KPU yang sudah diberhentikan (M Rahmi Husen)," katanya.
Menurut Harun yang pernah menjadi anggota KPU itu, pemerintah pusat seharusnya tidak boleh terlalu banyak intervensi dalam penyelesaian Pilkada Malut.
"Pemerintah mestinya segera memberi kepastian hukum berdasarkan hasil laporan yang sudah disampaikan KPUD Malut," katanya.
Senada dengan Harun, pengamat politik Indria Samego berpendapat bahwa penyelesaian kemelut Pilkada Malut memang seharusnya dikembalikan pada pendekatan hukum atau legal formal.
"Ini bukan pemihakan terhadap figur, tetapi berpijak pada aturan. Ini negara hukum. Penyelenggara Pilkada sudah jelas KPU, tidak boleh ada intervensi. Saya harap penyelesaian yang diutamakan adalah melalui legal prosedur," katanya.
Namun, lanjut dia, jika penyelesaian berdasarkan prosedur formal itu tidak bisa dicapai maka jalan lainnya adalah melalui pendekatan sosio-kultural di mana semua pihak di Malut duduk bersama untuk menyelesaikan masalah itu dengan mengedepankan kepentingan bersama, demi masa depan Malut.
Indria mengaku heran dengan sikap pemerintah yang terkesan mendua, yakni mengakui dua keputusan hasil penghitungan suara. Padahal salah satunya jelas tidak sah karena dilakukan oleh ketua KPUD yang sudah dinonaktifkan.
"Sebenarnya mudah saja bagi pemerintah karena dokumen yang diterima sudah lengkap. KPUD dan DPRD Malut sudah memutuskan. Pemerintah pusat harus segera memutuskan," katanya.
Jika dibiarkan berlarut-larut, katanya, akan ada kevakuman pemerintah daerah Malut dan akan terjadi pengelompokan-pengelompokan di masyarakat yang bisa menimbulkan dampak tidak baik bagi stabilitas daerah. Di sisi lain, Indria menyoroti para calon kepala daerah yang siap menang tetapi ternyata tidak siap kalah.
"Sebenarnya bukan saja siap kalah, tetapi juga siap mendukung calon yang menang," katanya. ***3*** (T.D011/
Jakarta, 12/5 (ANTARA) - DPR menilai kasus Pilkada Maluku Utara (Malut) menjadi pelajaran berharga, khususnya bagi pemerintah, yang tidak konsisten dan cepat dalam mengambil keputusan.
Demikian disampaikan Ketua DPR, Agung Laksono dalam pidato Paripurna Pembukaan masa sidang DPR IV di Gedung DPR Jakarta, Senin. Dikatakan Agung bahwa DPR merasa prihatin dengan kasus Pilkada Malut lantaran belum dilantiknya gubernur dan wakil gubernur terpilih.
"Ini jelas akan sangat merugikan bagi pembangunan daerah khususnya dan pembangunan demokirasi pada umumnya," kata Agung.
Agung juga mengatakan bahwa pimpinan DPR sudah mengirimkan rekomendasi kepada Presiden, sesuai dengan keputusan Komisi II yang mendukung penuh hasil perhitungan suara yang dimenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdul Abdurahim Fabanyo.
Perhitungan tersebut dinilai sah karena dilakukan oleh Plt Ketua KPUD Malut yang juga sah. "Rekomendasi Komisi II ini disepakati oleh seluruh fraksi yang ada sehingga pimpinan DPR hanya meneruskannya kepada Presiden," kata Agung.
Sebelumnya pada 27 Maret 2008, rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Yudhoyono telah memutuskan untuk menyerahkan penyelesaian Pilkada Malut kepada DPRD Provinsi Malut.
DPRD Malut, oleh pemerintah diminta menyerahkan satu pasangan calon pemenang Pilkada yang merupakan putusan sidang paripurna DPRD. Selanjutnya, DPRD Malut menggelar rapat paripurna pada 16 April 2008 yang dihadiri oleh 20 anggota dari 35 anggota DPRD.
Rapat itu memutuskan untuk merekomendasikan hasil penghitungan ulang Pilkada Malut oleh Plt Ketua KPUD Malut, Mukhlis Tapitapi yang memenangkan pasangan Abdul Gafur/Aburahim Fabanyo.
Penghitungan suara hasil Pilkada Malut terdapat dua versi, yakni pertama dimenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani Kasuba (berdasarkan perhitungan oleh Ketua KPU Provinsi Malut M Rahmi Husen dan anggotanya Ir Nurbaya Soleman, yang telah dinonaktifkan oleh KPU).
Versi kedua, memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo (berdasarkan perhitungan oleh Plt KPUD Malut Muchlis Tapitapi, yang telah ditunjuk KPU menggantikan M Rahmi Husen).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Dr Harun Al Rasyid menilai, hasil penghitungan suara Pilkada yang sah itu adalah yang dilakukan oleh KPUD Malut yang sah yang dalam hal ini dilakukan Mukhlis Tapi Tapi.
"Aneh kalau pemerintah pusat masih mempertimbangkan hasil penghitungan suara yang diputuskan oleh pimpinan KPU yang sudah diberhentikan (M Rahmi Husen)," katanya.
Menurut Harun yang pernah menjadi anggota KPU itu, pemerintah pusat seharusnya tidak boleh terlalu banyak intervensi dalam penyelesaian Pilkada Malut.
"Pemerintah mestinya segera memberi kepastian hukum berdasarkan hasil laporan yang sudah disampaikan KPUD Malut," katanya.
Senada dengan Harun, pengamat politik Indria Samego berpendapat bahwa penyelesaian kemelut Pilkada Malut memang seharusnya dikembalikan pada pendekatan hukum atau legal formal.
"Ini bukan pemihakan terhadap figur, tetapi berpijak pada aturan. Ini negara hukum. Penyelenggara Pilkada sudah jelas KPU, tidak boleh ada intervensi. Saya harap penyelesaian yang diutamakan adalah melalui legal prosedur," katanya.
Namun, lanjut dia, jika penyelesaian berdasarkan prosedur formal itu tidak bisa dicapai maka jalan lainnya adalah melalui pendekatan sosio-kultural di mana semua pihak di Malut duduk bersama untuk menyelesaikan masalah itu dengan mengedepankan kepentingan bersama, demi masa depan Malut.
Indria mengaku heran dengan sikap pemerintah yang terkesan mendua, yakni mengakui dua keputusan hasil penghitungan suara. Padahal salah satunya jelas tidak sah karena dilakukan oleh ketua KPUD yang sudah dinonaktifkan.
"Sebenarnya mudah saja bagi pemerintah karena dokumen yang diterima sudah lengkap. KPUD dan DPRD Malut sudah memutuskan. Pemerintah pusat harus segera memutuskan," katanya.
Jika dibiarkan berlarut-larut, katanya, akan ada kevakuman pemerintah daerah Malut dan akan terjadi pengelompokan-pengelompokan di masyarakat yang bisa menimbulkan dampak tidak baik bagi stabilitas daerah. Di sisi lain, Indria menyoroti para calon kepala daerah yang siap menang tetapi ternyata tidak siap kalah.
"Sebenarnya bukan saja siap kalah, tetapi juga siap mendukung calon yang menang," katanya. ***3*** (T.D011/
Comments