adil tapi rumit?

Ada dua pandangan di masyarakat tentang sistem perbankan syariah saat ini yaitu menabung di bank konvensional, ambil kredit bank syariah serta bank syariah lebih adil, tapi lebih rumit.
Benarkah demikian? Tidak juga. Tapi jangan salah kaprah, memang di bank syariah tidak ada istilah kredit, yang ada cuma pembiayaan. Tujuannya, untuk menghindari konotasi pengenaan bunga yang dikategorikan riba dan berhukum haram.
Jadi, minimnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya sosialisasi mungkin bisa menjadi premis yang ditawarkan untuk menjawab hal itu. Tapi rasa-rasanya perlu lebih jauh meneropong masalah ini, misalnya, bagaimana produk pembiayaan ini bisa dinikmati masyarakat.
Hampir semua bank saat ini, apakah bank syariah maupun bank konvensional, berlomba-lomba mengeluarkan undisbursed loan atau fasilitas kredit dan pembiayaan yang telah disetujui, namun belum ditarik oleh nasabah. Fenomena ini tentu sinyal positif bagi masyarakat yang ingin berusaha menggerakan roda ekonomi dengan menggunakan akses modal dari perbankan.
Walhasil, sebenarnya banyak skema yang ditawarkan oleh perbankan syariah saat ini. Sayangnya, bentuk transaksi finansial yang tersedia dan populer di masyarakat hanya dua yaitu mudharabah (pembiayaan berakad bagi hasil) dan murabahah (pembiayaan berakad jual beli).
Padahal memanfaatkan pembiayaan di perbankan syariah sebenarnya sama saja dengan mekanisme mengambil kredit di bank konvensional karena pihak bank akan menerapkan mekanisme kehati-hatian yang sering dikenal dengan prinsip 5-C itu.
Jadi, kalau dikatakan berbelit-belit dan rumit sebenarnya tidak juga. Pasalnya, semua tergantung dari kesiapan dokumen dan sejarah pembiayaan dari pihak nasabah sendiri sehingga prosesnya pun tidak akan memakan waktu lama.
Namun tidak benar juga sepenuhnya bila dikatakan akan lebih untung mengambil pembiayaan di bank syariah ketimbang bank konvensional karena tidak dikenakan beban bunga yang kadang dinilai mencekik leher itu.
Coba perhatikan pada sistem pembiayaan berbasis mudharabah, yang berbagi untung dan berbagi rugi. Dinamakan bagi hasil karena merupakan bentuk pengembalian dari kontrak investasi, yakni yang termasuk ke dalam natural uncertainty contract.
Salah satu unsur mudharabah adalah nisbah keuntungan yang mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak di mana ditentukan berdasarkan persentase (misalnya 50:50, 70:30, dsb) dan bukan atas nominal mata uang.
Nisbah ini didasarkan atas kesepakatan kedua pihak, bukan berdasarkan modal yang disetor, namun tentu dapat saja disepakati nisbah keuntungan berdasarkan porsi setoran modal.
Bagi untung dalam pembiayaan ini sangat tergantung dari kinerja sektor riil-nya, bila laba bisnisnya besar maka kedua pihak mendapatkan bagian sesuai porsi nisbah keuntungan. Tetapi bila bisnis merugi maka pembagian kerugian bukan berdasarkan nisbah, tetapi berdasarkan porsi setoran modal.
Lalu timbul pandangan rasanya ini tidak adil, namun bila diperhatikan biasanya dalam pembiayaan mudharabah, pihak bank biasanya menyetor modal 100% dengan demikian kerugian finansial 100% diderita bank selaku investor, sementara pemilik usaha juga kehilangan kerja, usaha dan waktu berbisnisnya. Dengan demikian, kedua pihak sama-sama dalam kondisi merugi.
Terkait konteks merugi ini, layaknya di bank konvensional, bank syariah juga menyertakan kewajiban collateral atau jaminan. Tetapi perbedaannya lebih pada tujuan untuk menghindari kemungkinan moral hazard atau character risk ketimbang mengamankan nila investasi. Karena itu, bila terjadi kerugian oleh risiko bisnis (business risk) jaminan ini tetap menjadi milik nasabah.
Murabahah
Lantas bagaimana dengan pembiayaan murabahah yang dikatakan terpopuler diserap dan ditawarkan ke masyarakat? Perlu diketahui hampir 80% pembiayaan di Indonesia dan di negara-negara lain yang perkembangan bank syariah cukup baik, menggunakan skema murabahah.
Banyak bank syariah kini begitu atraktif menawarkan produk pembiayaan komersial lewat pola jual beli seperti pembiayaan kepemilikan kendaraan bermotor, misalnya, Bank IFI Syariah dan Bank Danamon Syariah yang berani hanya mensyaratkan bagi calon nasabah ketentuan belum pensiun saat jatuh tempo.
Pada skema ini menggunakan mekanisme pihak bank membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menaikkan harga (mark up) untuk mengambil marjin keuntungan.
Sepintas mungkin mirip tapi secara prinsip, menurut pengamat ekonomi syariah Muhammad Syarif Surbakti, sistem murabahah sangat berbeda dengan skema kredit di bank konvensional yang berbasis sistem kreditur-debitur di mana bank menerapkan suku bunga berdasarkan saldo pinjamannya sebagai pendapatan.
Perbedaannya dengan bank konvensional adalah marjin keuntungan bank syariah yang ditetapkan pada saat penandatanganan akad pembiayaan tidak akan berubah hingga pengembalian pembiayaan tersebut selesai. Di sisi lain, sistem bunga kredit konvensional bisa fluktuatif sesuai keadaan pasar, suku bunga dan kondisi makro ekonomi.
Marjin keuntungan yang diterima bank syariah selalu dikumandangkan kompetitif bahkan lebih baik dibandingkan bunga kredit bank konvensional. Namun bagaimana bila keduanya baik marjin sistem syariah dan bunga kredit ternyata sama.
Bila masyarakat melakoni keduanya akan tampak perbedaan ketika melihat alokasi angsuran.
Pada sistem syariah akan terlihat bahwa setiap angsuran yang dibayarkan oleh nasabah dialokasikan secara proporsional untuk porsi harga pokok kendaraan dan porsi keuntungan bank secara konsisten hingga akhir periode.
Sementara pada kredit bank konvensional biasanya lumrah menggunakan cosmetic pricing yang berarti debitor akan membayar beban bunga efektif yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang disepakati sebelumnya dalam penandatanganan akad kredit.
Dengan cara ini, kendati debitor telah mengangsur selama 12 bulan, tetapi efek pengurangannya terhadap baki debet (saldo pokok) utangnya masih kecil karena sebagian besar angsurannya tersedot untuk membayar bunga. Berbeda dengan sistem syariah yang porsi pokok utangnya akan tersisa jauh lebih kecil dan adil bagi pihak bank maupun nasabahnya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh