Menguji Kebijakan Akomodatif Bank Indonesia
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.
Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.
Penyebaran virus Covid-19 ternyata belum juga dapat ditekan dengan maksimal. Angka yang terjangkit bahkan terus naik tiap hari dalam dua pekan terakhir.
Terjangan gelombang kedua pandemic Covid-19 pada Juni 2021 ini dikhawatirkan membuat indeks keyakinan konsumen (IKK) terjun lagi ke zona pesimistis. Padahal persepsi konsumen itu telah ke area optimistis pada April-Mei. Optimisme akan pemulihan ekonomi nasional sebenarnya meningkat pada kuartal II/2021 seiring dengan pergerakan orang dan konsumsi masyarakat yang naik. Pemerintah dan otoritas moneter bahkan cukup percaya diri ekonomi Indonesia akan tumbuh 7% pada kuartal II ini.
Namun, perkembangan terakhir bisa membuyarkan semua itu. Proyeksi pertumbuhan ekonomi bisa berubah. Faktor dalam negeri belum meyakinkan, sedangkan kondisi di luar negeri memberikan tantangan tersendiri.
Sejumlah negara utama di dunia mulai memberikan sinyal pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Beberapa negara anggota Uni Eropa mulai pulih. Manufaktur di China kembali menderu kencang. Inflasi di Amerika Serikat pun merangkak naik.
Becermin pada krisis keuangan global dua decade terakhir, kenaikan inflasi di Amerika Serikat biasanya diikuti dengan kebijakan pengurangan stimulus bertahap (tapering off) agar neraca The Fed tidak terbebani pembelian aset selama pandemi ini.
Selain itu, Otoritas moneter di Negeri Paman Sam tersebut bisa jadi akan menaikkan tingkat suku bunga acuan The Fed Fund Rate hingga dua kali sebelum 2023.
Bagi Indonesia, pemulihan Amerika Serikat dan kebijakan The Fed akan sangat berdampak terutama terhadap perekonomian kita.
Dari satu sisi, ekonomi global yang pulih akan membuat ekspor kita berpeluang meningkat. Pasar Amerika Serikat yang memiliki porsi 12% dari total ekspor kita, layak untuk dioptimalkan dengan baik.
Namun, di sisi moneter, efek tapering off The Fed membawa kekhawatiran tersendiri bagi pasar keuangan Indonesia.
Hal tersebut tak lepas dari kebergantungan Indonesia yang begitu tinggi pada dana-dana asing, yang cenderung bergerak ke aset-aset safe heaven (flight to quality) ketika terjadi krisis ekonomi global.
Risiko dari kondisi flight to quality itu terlihat dari lonjakan dana keluar (capital outflow) yang membuat nilai tukar rupiah sulit untuk menguat. Kondisi tersebut jelas membuat dilema bagi otoritas moneter dalam menjaga nilai rupiah.
Agar rupiah tidak tertekan dalam, pilihan bagi otoritas moneter adalah dengan menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Days Repo Rate) agar investor tak lari dari Indonesia.
Namun, kenaikan suku bunga bukan opsi yang bijak di saat ekonomi nasional masih terpuruk. Kita mengapresiasi Dewan Gubernur Bank Indonesia yang menekankan kebijakan akomodatif hingga dua tahun mendatang.
Tingkat suku bunga saat ini sudah relatif rendah. Sejak Juni 2019 hingga Februari 2021 Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 250 basis poin, dari 6% menjadi 3,5%.
Sebagian besar bank memang sudah menurunkan suku bunga kredit tetapi tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga acuan.
Pekerjaan besarnya adalah membuat transmisi bunga rendah bisa lebih cepat dan dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dengan stance yang akomodatif dan regulasi yang tepat guna, bank sentral perlu didukung untuk terus memaksimalkan koordinasi dengan pemerintah dan otoritas lain, agar kebijakannya tidak kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Di sisi lain, kita berharap pemerintah juga tidak perlu ragu untuk menyematkan pemulihan sector kesehatan sebagai prioritas utama, karena dengan begitu, ekonomi akan diuntungkan. Kita tentu tidak mau pertumbuhan ekonomi yang semu.
Dirgahayu Bank Indonesia
Selamat ulang tahun ke-68 1 Juli 2021
Please visit
https://bisnisindonesia.id/article/menanti-tuah-kebijakan-akomodatif
Comments