Acuan fee broker sehatkan industri?

Terlalu ketat tak baik terlalu longgar pun jua tak sehat. Mungkin hal itu bisa menggambarkan bagaimana ketatnya persaingan antar perusahaan efek dalam mengais keuntungan komisi (fee) transaksi.

Oleh Fahmi Achmad

Pekan lalu, Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) melansir informasi yang menyebutkan telah ada kesepakatan anggota agar besaran minimal biaya perantara perdagangan efek (fee brokerage) sebesar 0,17% per transaksi.

Angka biaya transaksi tersebut setidaknya melonjak tiga kali lipat dari batas bawah (floor price) dari 0,04% yang sempatnya menjadi acuan bersama seluruh pemangku kepentingan bisnis perusahaan efek.

Ketua Tim Perumus Pengaturan Biaya Perantara Perdagangan Saham Jimmy Nyo mengatakan angka yang disepakati oleh tim tersebut memperbandingkan fee brokerage di sejumlah negara Asia.

Rinciannya 0,16% ditetapkan untuk biaya minimal transaksi ditambah dengan pajak senilai 0,01%.
Kesepakatan yang dibikin oleh APEI itu tak datang begitu saja dari langit. Asosiasi sejak 2 tahun terakhir mengkaji segala kemungkinan, termasuk perbandingan dengan kawasan regional seperti Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Thailand yang menetapkan fee broker online trading di kisaran 2,5%-6%.

Adanya kesepakatan baru tersebut, asosiasi berharap seluruh perusahaan efek di Tanah Air memiliki panduan yang lebih jelas dalam menetapkan biaya perantara perdagangan saham sehingga tidak terjadi perang tarif antar perusahaan sekuritas.

Apalagi sejauh ini masih banyak perusahaan efek asing yang menetapkan biaya perantara perdagangan saham yang lebih murah dibanding perusahaan sekuritas lokal.

Ditetapkannya panduan minimum brokerage fee tentunya akan dapat mencegah terjadinya praktik dumping, yakni biaya perantara perdagangan saham yang ditawarkan perusahaan efek lebih rendah dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkannya.

Memang bukan rahasia lagi kalau persaingan di bisnis transaksi efek, apalagi untuk emisi obligasi sudah demikian tak sehat dan irasional. Saat ini, banyak perusahaan yang berani menawarkan fee penjaminan emisi efek pada kisaran 0,025%. Padahal kalau dulu biasanya fee penjaminan emisi setidaknya bisa 0,3%.

Bagi Ketua APEI, Lily Widjaja, persaingan usaha di antara perusahaan efek (broker dan underwriter) sudah tidak sehat lagi dan menjurus saling mematikan usaha. Sebelumnya, anggota yang tergabung dalam APEI telah mengusulkan mengenai perlunya kajian dan standarisasi penentuan fee transaksi agar tercipta persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif.

Awalnya, memang ada wacana untuk membatasi fee transaksi dalam perusahaan efek, tetapi hal itu terbentur undang-undang anti monopoli.

Karena itu, pihak asosiasi pun menetapkan tujuan awal tidak diaturnya fee transaksi perdagangan agar tercipta kompetisi yang sehat serta penerapan anti monopoli.

"Karena itu APEI berupaya untuk melakukan kajian dengan menggandeng Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," kata Lily.

Soal perang tarif, Bapepam-LK sebagai otoritas tentu tidak bisa ikut campur. Pasalnya, ada aturan KPPU yang menegaskan pemerintah atau badan lain tidak boleh membatasi suatu harga atau biaya dalam jenis usaha apapun. Sebab, kebijakan itu bisa mematikan persaingan bisnis (predatory bussiness).

Adanya kesepakatan terbaru tentang tarif tentu membuat Kepala Biro Transaksi dan Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida cukup senang. Baginya Bapepam-LK memberi respons positif adanya kesepakatan terkait dengan penetapan fee brokerage yang telah dibahas APEI.

Idealnya, dalam mekanisme pasar bebas, tarif memang tak perlu diatur otoritas. Namun Bapepam-LK sangat berkepentingan agar perusahaan sekuritas dapat saling menjaga tarif fee brokerage ini, sehingga memiliki acuan yang lebih jelas dalam melangsungkan bisnisnya.

Susahnya, jika angka fee tersebut hanya berupa kesepakatan, nantinya bila ada penyalahgunaan maka Bapepam-LK tidak dapat menindaknya. Diatur susah, tak diatur lebih rumit.

Beragam komentar juga menyertai upaya penyehatan industri perusahaan efek. Ada yang berpendapat fee murah atau mahal jangan diatur, broker punya cara sendiri menghidupi diri mereka.

Lain lagi pandangan Direktur Eksekutif PT Trimegah Securities Karman Pamurahardjo. Dia menilai kebijakan fee brokerage tersebut sebagai langkah maju dan positif yang berpeluang mengangkat kinerja pasar modal dalam negeri ke arah yang lebih baik.

"Karena selama ini biaya perantara perdagangan saham yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan sekuritas di Indonesia masih terlalu ketat. Sehingga banyak di antara mereka (perusahaan sekuritas) yang tidak memiliki dana pengembangan yang cukup, demi untuk melakukan penetrasi ke pasar," paparnya.

Wakil Direktur Utama E-trading Securities Arishandi berharap kebijakan yang akan diterbitkan ini juga memperhatikan kepentingan para investor selaku pemilik modal.

"Jangan sampai nantinya membebani mereka. Pada dasarnya kami setuju jika nantinya ada pengaturan, dan itu juga kan akan membawa dampak yang positif bagi pendapatan usaha perusahaan sekuritas," tuturnya.

Soal fee memang berbanding lurus dengan pendapatan. Namun, pada tahun lalu, kondisi pasar modal yang bergairah ternyata justru tidak tercermin dari kinerja keuangan perusahaan sekuritas yang juga mencatatkan sahamnya di BEI.

Mayoritas emiten sekuritas justru mengantongi pendapatan komisi perdagangan efek yang menurun, setidaknya dalam laporan keuangan per kuartal III/2010.

Turunnya minat investor lokal dituding menjadi salah satu penyebab menurunnya pendapatan komisi perdagangan efek sepanjang Januari-September 2010 dibandingkan dengan pendapatan pada periode yang sama 2009.

Namun, patut diperhatikan pula, akun komisi pialang itu juga berpengaruh pada penurunan pendapatan emiten sekuritas karena biasanya merupakan penyumbang pendapatan terbesar.

Berdasarkan laporan keuangan publikasi per akhir September 2010, lima dari sembilan emiten sekuritas membukukan penurunan pendapatan dari komisi perdagangan efek dan hanya tiga emiten ekuritas yang mencatat peningkatan.

Karena itu, saya sependapat dengan Direktur Utama PT Ciptadana Sekuritas Ferry Tanja yang mengatakan persaingan dalam penetapan biaya emisi (fee) jangan sampai terlalu ketat.

Emiten lebih mengutamakan kemampuan underwriter dalam menjual di harga yang wajar. Lagipula, jangan sampai fee justru hanya menjadi biaya tambahan dibebankan kepada calon investor.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh