Gudang Garam antara rokok dan aviasi

Untuk sebagian besar perokok, inflasi tidak menjadi alasan yang kuat untuk berhenti mengonsumsi rokok. Pilihan yang menguntungkan untuk produsen rokok, termasuk PT Gudang Garam Tbk.

Terlepas dari kontroversi mengenai dampak produk itu untuk kesehatan, 'kesetiaan' konsumennya membuat produsen rokok tidak perlu terlalu pusing dengan lonjakan inflasi.

Bagi Gudang Garam, salah satu perusahaan rokok yang sahamnya juga tercatat di Bursa Efek Indonesia, sebagian besar biaya justru untuk biaya cukai, mencapai 70%-75% dari total biaya. Untuk biaya pembelian bahan baku, yaitu tembakau dan cengkeh, hanya 15%--20% dari total biaya yang dikeluarkan.

Analis CLSA Swati Chopra, dalam riset yang dipublikasikan pada 16 Januari, menyebutkan komposisi biaya yang dikeluarkan perseroan menyebabkan Gudang Garam cukup tahan terhadap inflasi.

Selain itu, konsumsi rokok masyarakat yang tidak ada perubahan meskipun terjadi inflasi, menyebabkan kinerja Gudang Garam relatif terjaga.

Kendati demikian, langkah perseroan yang menaikkan harga jual rokok secara signifikan pada tahun lalu menyebabkan perusahaan ini kehilangan pangsa pasar 3,7% di segmen rokok kretek sigaret mesin.
"Di sisi lain, ada kenaikan pangsa pasar untuk rokok mild di level 2,5% maupun sigaret kretek tangan. Agar pangsa pasar bisa terjaga, kami melihat agar langkah menaikkan harga tidak terlalu agresif," tulis Swati Chopra.

Menurut Swasti, salah satu kunci peningkatan kinerja bagi Gudang Garam adalah dengan menjaga harga jual rokok. Dengan cara ini, kinerja keuangan perseroan bisa lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.
Dengan menjaga harga jual rokok tetap stabil, setidaknya Gudang Garam bisa menjaga pangsa pasarnya.

Belakangan, banyak industri rokok pendatang baru yang membawa merek mirip dengan produsen rokok yang sudah lama ada di pasar. Apabila harga cukup tinggi, tidak mustahil konsumen akan beralih ke merek lain.

Hingga akhir tahun lalu, pendapatan Gudang Garam diperkirakan menembus Rp37,88 triliun, atau naik 14,89% dibandingkan dengan perolehan pada akhir 2009 yang mencapai Rp32,97 triliun.
Pendapatan perseroan diperkirakan mencapai Rp41,72 triliun. Di pos laba bersih, hingga akhir 2010

Gudang Garam diproyeksikan bisa membukukan Rp4,23 triliun atau naik 22,6% dibandingkan dengan pencapaian pada tahun sebelumnya.

Untuk tahun ini, laba bersih perseroan diperkirakan bisa melampaui Rp5,52 triliun atau naik 30,49% dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu.

Diversifikasi bisnis

Kendati sudah menjadi perusahaan publik, manajemen Gudang Garam tetap sama dengan tipikal perusahaan rokok lain di Indonesia, yakni relatif tertutup. Tidak banyak rencana-rencana bisnis perseroan yang 'dipampang' ke publik, termasuk strategi usaha yang dijalankan oleh perusahaan ini.

Jika dilihat secara umum, keluarga Wonowidjojo, selaku pemegang saham pengendali Gudang Garam, memang bisa dibilang tertinggal jika dibandingkan dengan dinasti keluarga pemilik perusahaan rokok lainnya.

Sebut saja keluarga Hartono selaku pemegang saham pabrik rokok merek Djarum. Keluarga ini terlihat sangat ekspansif berinvestasi sebagai bentuk diversifikasi usaha yang digeluti selama ini
Portofolio bisnis Keluarga Hartono mencakup perbankan, infrastruktur, bahkan disebut-sebut juga masuk ke perkebunan.

Diversifikasi bisnis usaha keluarga Hartono memang sejalan dengan tren yang saat ini berkembang, di mana bisnis komoditas, finansial dan infrastruktur cukup booming di Indonesia.

Portofolio tersebut bisa menopang bisnis 'klasik' dari keluarga ini yang mungkin saja melambat pergerakannya, seiring dengan gencarnya gerakan anti-rokok.

Sementara itu, keluarga Sampoerna bahkan sudah jauh-jauh hari melakukan diversifikasi bisnis, dengan memasuki sektor perkebunan kelapa sawit, infrastruktur (telekomunikasi), finansial, hingga hiburan. Keluarga ini bahkan akhirnya memilih melepas bisnis rokoknya untuk selanjutnya fokus ke sektor bisnis barunya.

Tidak banyak kabar yang terdengar dari keluarga Wonowidjojo sebagai upaya diversifikasi bisnisnya, selain dari rencana untuk masuk ke bisnis aviasi melalui Surya Air.

Belakangan keluarga ini disebut-sebut juga akan mengincar maskapai Mandala yang berhenti operasinya lantaran beban keuangan, meskipun akhirnya hal ini dibantah oleh perseroan. Apakah usaha ini merupakan upaya keluarga Wonowidjojo untuk mengejar ketertinggalan dari dinasti produsen rokok yang lain? Kita tunggu saja gebrakannya.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi