Rizal Ramli dan Jusuf Kalla, Sahabat dan Seteru yang Seru
De mortuis nil nisi bonum, tentang orang yang meninggal, bicarakan yang baik-baik.
Sore itu medio 2003, setidaknya ada tiga nomor telepon selular (ponsel)yang diberikan kepada saya untuk ditelepon dimintakan komentar dan pendapatnya. Dia memang ekonom yang terkenal. Salah satu dari tiga nomor ponsel tersebut tersambung.
Suara berat agak kasar terdengar dari ujung sana. Setelah
kata “hallo” dijawab, dia bertanya ke saya.
“Kamu di desk apa?” tanyanya.
“Keuangan pak,” jawab saya tegas.
“Jadi begini, inflasi dan suku bunga itu panjang ceritanya……”
Setidaknya hampir 45 menit saya mendengarkan berceloteh.
Hati dan pikiran saya pun senang. Kapan lagi dapat kuliah tentang system moneter
dari pakar dan praktisinya? Wawasan dapat, informasi dan berita pun terkumpul.
Beliau Rizal Ramli.
Setelah itu, saya sering mengirimkan pesan singkat (short
message service/SMS) ke dia. Pertanyaan pendek khas wartawan, dijawabnya dengan
panjang lebar. Dia memang begitu. Kritis, menggurui sekaligus menantang pola pikir
kita.
Berbicara tentang ekonomi politik bangsa ini, tidak lengkap
rasanya tanpa menyebutkan nama Rizal Ramli. Sebagai ekonom senior sekaligus
politisi, Rizal punya banyak pengalaman sebagai oposisi maupun menjadi menteri.
Rizal Ramli lahir di Padang, Sumatra Barat, pada 10 Desember
1954. Rizal Ramli merintis jalan hidup dengan susah payah. Sebagai anak
yatim-piatu, mendiang mesti membiayai sendiri kuliahnya di Iinstitut Teknologi
Bandung (ITB). Tekanan hidup itu justru mendekatkan dirinya dengan problematika
masyarakat.
Pada 1978, Rizal Ramli ikut dalam gerakan menentang
pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Kejadian itu memberinya ruang di
sel selama 18 bulan. Lepas dari penjara, Rizal Ramli banyak meniti pendidikan
di luar negeri. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan kemudian
memutuskan pulang ke tanah air.
Di Indonesia, Rizal mendirikan Econit (1992), sebuah lembaga
pengkajian ekonomi. Dari Econit inilah, Rizal menuai reputasinya. Ia banyak
mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak fair bagi masyarakat.
Kiprahnya yang dekat dengan kaum oposisi, membuat Presiden
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendukung pluralisme, meliriknya untuk
ditempatkan pada posisi kepala Bulog pada tahun 2000. Rizal hanya 6 bulan
menduduki kursi itu, seterusnya ia diangkat menjadi Menteri Perekonomian.
Selepas Gus Dur lengser dari pemerintahan, Rizal kembali ke
Econit.
Rizal Ramli tak pernah berdiam diri. Kinerjanya yang tokcer
dalam masa singkat di birokrasi, membuat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) memberikan jabatan Presiden Komisaris di BUMN besar yaitu PT Semen Gresik
pada tahun 2006.
Posisi Preskom hanya digenggam Rizal selama 2 tahun. Pada
2008, Rizal dipecat yang penyebabnya dibumbui rumor keterlibatannya dalam demo
anti-kenaikan harga BBM yang diduga digerakkan Komite Bangkit Indonesia (KBI).
KBI adalah gerakan sosial yang didirikan Rizal Ramli bersama
rekan-rekannya. Terkait demo-demo yang melibatkan KBI pula, Rizal Ramli juga
sempat tersandung kasus hukum.
Namun dia adalah Rizal Ramli.
Di tingkat internasional, Rizal Ramli pernah dipercaya
sebagai anggota tim panel penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
bersama beberapa tokoh ekonom dari berbagai negara lainnya.
Karena ingin fokus mengabdi pada negara dan bangsa
Indonesia, Rizal pernah menolak jabatan internasional sebagai Sekretaris
Jenderal (Sekjen) Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP)
yang ditawarkan PBB pada November 2013.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Rizal diangkat
sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya pada tahun 2015 dan
menjabat hingga tahun 2016
Seringkali Rizal Ramli melontarkan istilah jurus 'rajawali
ngepret' ketika ingin membereskan suatu masalah, sehingga tak heran Rizal Ramli
mendapat julukan 'Rajawali Ngepret' atau Raja Ngepret.
Dia tak berubah. Pedas dan Kritis.
Perseteruan Rizal Ramli dan Jusuf Kalla boleh jadi satu
fragmen yang menarik.
Rizal Ramli mengatakan dirinya sering dijegal oleh Jusuf Kalla setiap hendak diangkat menjadi menteri pembantu presiden. Hal itu terjadi beberapa kali di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Waktu dia [Jokowi] jadi presiden, dia maunya Rizal Ramli
jadi menteri ekonomi. Tapi, JK [Jusuf Kalla] selalu blok saya. Pokoknya JK
tidak mau Rizal pegang ekonomi dan keuangan," kata Rizal dikutip dari
Youtube Karni Ilyas Club, Minggu (25/10/2020).
Kondisi serupa juga terjadi ketika Presiden SBY memintanya
untuk mengisi posisi Menteri Ekonomi. Namun permintaan itu juga diganjal oleh
Jusuf Kalla yang juga menjabat wakil presiden saat itu.
Menurut Rizal, SBY tetap menginginkan dirinya mengisi posisi
menteri di salah satu kementerian, ia pernah akan diangkat sebagai menteri
keuangan, dan menteri BUMN, namun keduanya bertentangan dengan keinginan Jusuf
Kalla.
"SBY sudah tanda tangan RR Menteri Ekonomi, diganjal
sama JK. Abis itu SBY pertahankan jadi menteri keuangan, dia [JK] tak setuju
lagi, akhirnya SBY minta RR jadi menteri BUMN, dia [JK] tak setuju, last minute
ditunjuk jadi menteri perindustrian kabinet SBY pertama, saya nolak, itu bukan
keunggulan kita, terima kasih dah," tutur Rizal.
Rizal menceritakan bagaimana dirinya bisa diangkat menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman setelah setahun pemerintahan Jokowi periode 2015-2019.
Kala itu, ia diundang ke Istana Bogor oleh Jokowi. Saat
kedatangannya ke Istana Bogor, Rizal mengaku tidak dijamu seperti tamu lainnya
yang diundang ke istana. Saat itu, Jokowi beralasan takut pertemuannya dengan
Rizal Ramli di Istana Bogor bocor keluar.
"Mas Rizal, ini enggak ada ubi atau kue pagi-pagi.
Karena saya suruh keluar semua, saya takut bocor pertemuan kita ini," ujar
Rizal Ramli menirukan ucapan Jokowi saat itu.
Permintaan Jokowi saat itu kepada Rizal Ramli agar
membantunya sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman. Rizal mengaku menolak
jabatan itu karena bukan keunggulannya. Ia juga memberikan daftar nama-nama
yang dirasa lebih cocok mengisi posisi Menko Kemaritiman kepada Jokowi.
Rizal mengatakan hanya ingin membantu Jokowi di luar
pemerintahan. Ia juga mengaku siap membantu Jokowi menyumbangkan gagasannya
jika diperlukan. Namun Jokowi menolaknya dan tetap menginginkan Rizal sebagai
Menko Kemaritiman.
"Jokowi bilang mas Rizal, yang minta tolong itu bukan
saya Jokowi presiden. Siapa sih saya dibanding mas Rizal, pengalaman, jam
terbang. Yang minta tolong ini rakyat Indonesia yang ingin hidupnya lebih
baik," ujar Rizal.
Sesudah ucapan Jokowi tersebut, Rizal mengaku luluh dan
akhirnya bersedia membantu Jokowi sebagai Menko Kemaritiman.
"Karena dia ngomong gitu, akhirnya ya sudah saya ambil
hikmahnya. Tapi, dengan satu syarat ya, enggak lapor-lapor sama pak JK,"
tutur Rizal.
Rizal Ramli menjabat sebagai Menko Kemaritiman menggantikan
Indroyono Soesilo pada 12 Agustus 2015. Namun posisi itu didudukinya hanya
selama satu tahun, ia dicopot pada 27 Juli 2016 dan digantikan Luhut Binsar
Pandjaitan.
Lain lagi dengan cerita mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Sosok yang akrab disapa JK ini membantah tudingan dirinya telah menjegal Rizal
ketika hendak menjadi menteri di era kepemimpinan SBY dan saat menjabat menteri
di era Presiden Jokowi.
Menurut JK, Rizal Ramli dicopot oleh Presiden Jokowi bukan
atas hasutannya. "Di era Pak Jokowi (Jilid I) dia tidak bisa memimpin dan
koordinir menteri-menteri di bawahnya. Tidak bisa koordinasi, akhirnya
di-reshuffle setelah 10 bulan menjabat," ujar JK di kanal YouTube Karni
Ilyas Club, Kamis, 6 November 2020.
JK mengaku menyaksikan saat-saat Jokowi menyampaikan akan
mencopot Rizal. "Waktu itu dia dipanggil, saya sedang bersama Pak Jokowi.
Dijelaskan bahwa untuk kebaikan kabinet, maka dia diganti," ujar Kalla.
Lanjut cerita, Rizal Ramli tidak terima dicopot begitu saja
dan mempertanyakan alasan Jokowi mencopot dirinya. "Wah, dia menolak
(dicopot). Dia tanya, apa salah saya? Wah, banyak ngomongnya panjang lebar.
Saya dengar saja, itu kan maunya Pak Jokowi," ujar Kalla.
Menurut cerita JK, Presiden Jokowi ketika itu meminta Rizal
untuk menunggu penjelasannya di ruang lain di Istana, sementara presiden
meminta waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya yang lain terlebih dahulu.
Presiden, lanjut JK, baru selesai dengan pekerjaannya sekitar pukul 10 malam
ketika itu dan ternyata Rizal masih setia menunggu.
"Pak Jokowi tanya ke ajudan apakah Rizal masih ada.
Kata ajudan, masih ada. Lalu, Pak Jokowi bilang ke ajudan untuk diam-diam saja
karena kami (Jokowi dan JK) mau pulang. Jadi, kami pulang diam-diam, tinggalkan
Rizal Ramli di kamar lain itu," ujar JK. Ketua Umum PMI ini merasa kasihan
dengan Rizal atas kejadian tersebut.
Sementara di era SBY, ujar Kalla, Rizal batal menjadi
menteri karena memang tidak dipanggil saat interview calon menteri. Menurut JK,
SBY awalnya memang sempat menawarkan posisi sebagai Menteri Perindustrian,
kendati Rizal diketahui ingin posisi Menteri Keuangan atau Menteri BUMN.
"Saya tak pernah halangi. Ya maunya (dia begitu), tapi
yang menentukan kan Presiden. Waktu itu semua calon menteri kan di-interview
dulu oleh Pak SBY. Semua dipanggil. Dia tidak pernah dipanggil. Memang dia
tidak pernah diperhitungkan oleh pak SBY, kalau diperhitungkan kan harusnya dia
dipanggil," ujar JK.
https://nasional.tempo.co/read/1403183/jusuf-kalla-cerita-alasan-jokowi-copot-rizal-ramli-di-kabinet-kerja
Terlepas dari kisah seru antarmereka, JK mengaku selama ini
selalu menganggap Rizal sebagai seorang sahabat.
Mantan Wapres Jusuf Kalla usai melayat Rizal Ramli
“Selama pemerintahan saya sering beda pendapat dan tajam
dengan Rizal. Tapi kita tetap bersahabat walau kadang bertentangan. Beliau
terima itu dan saya terima,” kata JK usai melayat Rizal Ramli di rumah duka di
Jalan Bangka IX, Jakarta Selatan, Rabu (3/1/2024).
Rizal Ramli tutup usia pada Selasa (2/1/2024) malam di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat. Rizal wafat dalam usia 69
tahun.
JK mengaku merasa kehilangan. Bagi, Rizal adalah sosok yang
pemikir dan konsisten dengan sikap kritisnya selama puluhan tahun.
“Kita sering berdiskusi. Dulu dia menggantikan saya sebagai
Ketua Bulog (tahun 2000). Kita sering berdiskusi tentang pangan dan lainnya,”
ujar JK.
Rabu Siang, Prof Didik Rachbini, salah satu ekonom senior,
mengirimkan pesan WhatsApp ke saya. Isinya tentang catatan untuk kehidupan dan
persahabatan dirinya dengan Rizal Ramli, yang biasa dipanggilnya dengan sebutan
RR.
“Kini RR sudah meninggalkan kita. Siapa tidak kenal Rizal
Ramli tokoh yang masa mudanya tumbuh dalam gerakan dan ranah intelektual. Akhir-akhir ini yang menonjol adalah gerakan
opposisi untuk melawan praktik anti demokrasin di dalam kekuasaan. Sepanjang hayatnya tidak pernah berhenti
untuk menjaga demokrasi dengan caranya dan melakukan melakukan koreksi terus-menerus
bahkan ketika demokrasi remuk redam seperti sekarang ini. "Check and
Balances" di dalam demokrasi formal parlemen mati, Rizal Ramli tampil ke
depan sehingga marwah demokrasi yang jatuh masih terlihat ada dinamika.
Sebagai tokoh Gerakan RR memilih berada di luar dengan
kapasitasnya sebagai ekonom, intelektual, yang berbicara dengan data dan fakta
ekonomi politik. RR merasa tidak
memerlukan baju partai karena dianggap tidak memadai untuk menjaga apalagi
mendorong demokrasi. Jadi banyak orang
yang tetap melihat figur RR adalah tokoh yang berpengaruh dalam menjaga
demokrasi.
Jadi RR selama hidupnya hanyut di dalam arus gerakan, yang
menjadikan rumahnya markas diskusi dan sekaligus gerakan. Itu semua untuk satu tujuan kontrol terhadap
demokrasi. Karena tidak hendak masuk ke
alam sistem dan tetap menempatkan dirinya di luar, maka gerakannya
terus-menerus dan selamanya menjadi opposisi kritis, bahkan sangat kritis.”
Saya setuju dengan pendapat Prof Rachbini. Demokrasi tetap
membutuhkan control dan orang kritis itu perlu ada.
Terima Kasih Rizal Ramli.
Comments