Mewaspadai Asuransi Bermasalah
Industri perasuransian di Indonesia tumbuh dengan baik dan prospektif tiap tahun. Meski begitu, masih ada beberapa perusahaan asuransi yang mencatatkan kondisi yang bermasalah dan bergulat dengan kinerja keuangannya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah meminta perusahaan asuransi yang saat ini tengah menghadapi persoalan untuk menyusun ulang rencana kerja yang lebih terukur dan melakukan penyehatan keuangan.
Beberapa di antara yang bermasalah tersebut memang telah menyetor rencana penyehatan keuangan kepada OJK. Namun, rencana tersebut dinilai oleh otoritas belum memuaskan terutama dari sisi kinerja keuangan.
Salah satu isu utama tentu saja permodalan. Industri asuransi diwajibkan memiliki permodalan melalui standar risk-based capital (RBC), sebagaimana mestinya angka minimal yang ditetapkan OJK sebesar 120% sesuai POJK No. 71/POJK.05/2016.
Ternyata, masih ada perusahaan asuransi dengan RBC di bawah standar tersebut. Tentu saja, itu kondisi yang tidak sehat bagi perusahaan asuransi. Laiknya industri jasa keuangan, modal kuat merupakan salah satu indikator untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Tidak hanya OJK sebagai regulator pengawas, public pun sangat berkepentingan menantikan rencana penyehatan keuangan beberapa perusahaan asuransi bermasalah.
Hal ini karena terkait dengan pengelolaan dana public di perasuransian, terutama produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit-linked.
Sepanjang 2021, data OJK memperlihatkan premi yang dihimpun industri asuransi jiwa mencapai Rp184,32 triliun. Angka itu naik tipis 7,21% dari realisasi pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp171,93 triliun.
Di industri asuransi umum dan reasuransi, premi yang terkumpul hanya mencapai Rp100,1 triliun sepanjang 2021. Hasil tersebut turun 3,76% dibandingkan dengan capaian pada 2020 yang mencapai Rp104,1 triliun.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai persoalan di industri asuransi, terutama asuransi jiwa terkait dengan gagal bayar polis seperti perkara PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha, PT Asuransi Jiwa Kresna Life, dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912.
Sejumlah kasus tersebut tentunya berdampak terhadap kinerja perasuransian di Tanah Air. Kepercayaan public terhadap industri perasuransian nasional relatif kuat, meski dari sisi pengumpulan premi sedikit melemah.
Kita bisa lihat data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang menunjukkan total pendapatan premi unweighted pada kuartal I/2022 sebesar Rp48,99 triliun atau turun14,7% year-on-year (yoy).
Premi unweighted ini merupakan total premi yang dibayarkan nasabah, baik premi bersifat reguler maupun sekali bayar.
Adapun total pendapatan premi weighted, di mana premi sekali bayar disetahunkan, mencapai Rp27,86 triliun sepanjang kuartal I/2022 atau juga turun 6,8% yoy.
Dari sisi jenis produk, baik produk unit-linked dan produk tradisonal juga menurun. AAJI mencatat total premi unit-linked kuartal I/2022 sebesar Rp29,07 triliun atau anjlok 18,9%, sedangkan produk tradisional terkoreksi 7,9% ke level Rp19,92 triliun.
Dengan kondisi demikian, penyehatan perusahaan asuransi yang bermasalah sangat krusial. Perusahaan yang sehat akan membuat industry kembali mendapatkan trust dari public dan memperoleh limpahan premi.
Tentu saja rencana penyehatan itu memerlukan komitmen dari pemegang saham, direksi, dan komisaris serta pemilik perusahaan asuransi tersebut.
Sebagai pebisnis, pelaku industri asuransi tentu paham jika tantangan ke depan cukup berat. Masih terdapat isu tingkat suku bunga, nilai tukar, hingga pertumbuhan ekonomi yang menghantui penyusunan rencana bisnis perusahaan asuransi.
Dengan modal dan postur keuangan yang sehat, kita layak berharap peran industri perasuransian akan semakin signifikan dalam menopang perekonomian nasional.
Comments