Skip to main content

Kelangkaan Kontainer Peti Kemas dan Tarif Ocean Freight Kian Mahal

Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.


Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.


Sudah beberapa waktu belakangan ini, persoalan peti kemas yang langka dan sulit didapatkan, membuat banyak pelaku usaha yang berorientasi ekspor-impor kian mengeluh. 
Kondisi ini sangat disayangkan terjadi di tengah upaya memacu kinerja ekspor nasional.
Kelangkaan kontainer memberatkan ekonomi Indonesia, terutama bagi pelaku ekspor yang produknya menggunakan kontainer ukuran 40 kaki seperti eksportir furniture, handycraft, dan industri garmen. 
Di sisi lain, produk impor atau berupa raw material justru menggunakan ukuran 20 kaki. Perbedaan ukuran ini berdampak pada ketidakseimbangan utilisasi.
Nominal kerugian yang dialami pelaku usaha sudah sangat besar akibat barang yang tertunda berangkat dan menumpuk seperti yang terjadi di Jawa dan Bali, karena tidak tersedia peti kemas.
Apalagi kondisi penutupan aktivitas di pelabuhan - pelabuhan utama dunia yang menyebabkan kekacauan jadwal pelayaran kapal, turut memperparah persoalan krisis kontainer dan ketiadaan ruang kapal.
Dampak turunan krisis ini pun terlihat pada biaya angkutan kontainer atau ocean freight yang meroket hingga 500%. Tentu saja, kenaikan ongkos ocean freight tersebut sangat berat bagi eksportir UMKM karena tidak berimbang dengan harga jual.
Para pelaku usaha yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia dan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) pun berupaya agar kondisi krisis ini tidak semakin memburuk.
Depalindo telah berkoordinasi dengan asosiasi pemilik barang di Asia, Eropa dan Amerika Serikat agar persoalan tarif peti kemas ini tidak terus menerus membebani para pelaku usaha.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) bahkan mengusulkan sejumlah langkah teknis di setiap terminal pelabuhan.
Upaya itu antara lain dengan mengoptimalkan utilisasi perputaran peti kemas dengan mengupayakan pengeluaran/pemanfaatan peti kemas dengan status Belum Clearence di setiap terminal pelabuhan. 
Kemudian, pihak pelayaran juga bisa secara transparan menyampaikan laporan lebih awal kepada eksportir dan instansi terkait jika memang kapasitas muat mereka bermasalah atau sudah penuh booking oleh eksportir.
Hal itu agar pengendalian teknis sarana muat peti kemas dan ketersediaan peti kemasnya dapat diawasi dan dimonitor oleh instansi terkait maupun pengguna jasa. 
Selain itu, ada keinginan pula agar diberikan realaksasi dan subsidi kepada eksportir, khususnya komoditas yang memiliki daya saing tinggi, dan kepada operator pelayaran sehingga mau melakukan repositioning kontainer kosong yang masih tertahan di beberapa tempat.
Kita melihat pemerintah juga bukannya berdiam diri saja. Rapat koordinasi berulang kali dilakukan oleh kementerian dengan lembaga, asosiasi, gabungan pengusaha, dan pelaku usaha di bidang ini, termasuk main line operator (MLO) dari container shipping company yang prinsipalnya dari luar negeri.
Namun, harus diakui persoalan container dan tarif ocean freight yang mahal ini belum juga terselesaikan dengan tuntas. 
Di satu sisi, krisis kontainer menjadi pembelajaran supaya Indonesia tidak hanya bergantung kepada operator kapal asing. Untuk itu, para pemangku kepentingan harus mencari cara untuk mempercepat pendirian Indonesia Shipping Enterprise Alliance (Indonesia SEA).
Di sisi lain, kita berharap kelangkaan peti kemas yang menaikkan biaya pengapalan ekspor harus menjadi perhatian bersama. Tentu saja, semua pihak harus mendapatkan solusi yang saling menguntungkan.
Kita tidak ingin momentum pemulihan ekonomi dan permintaan yang tinggi di negara-negara tujuan ekspor tak bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha nasional. Jangan sampai kesempatan itu hilang hanya karena kita tak siap mengatasi persoalan kontainer.

Please visit and read https://bisnisindonesia.id/
https://bisnisindonesia.id/article/menanti-solusi-kelangkaan-peti-kemas

Comments

Popular posts from this blog

A Story of Puang Oca & Edi Sabara Mangga Barani

Mantan Wakapolri M. Jusuf Mangga Barani mengaku serius menekuni bisnis kuliner, setelah pensiun dari institusi kepolisian pada awal 2011 silam. Keseriusan itu ditunjukan dengan membuka rumah makan seafood Puang Oca pertama di Jakarta yang terletak di Jalan Gelora Senayan, Jakarta. "Saya ini kan hobi masak sebelum masuk kepolisian. Jadi ini menyalurkan hobi, sekaligus untuk silaturahmi dengan banyak orang. Kebetulan ini ada tempat strategis," katanya 7 Desember 2011. Rumah makan Puang Oca Jakarta ini merupakan cabang dari restoran serupa yang sudah dibuka di Surabaya. Manggabarani mengatakan pada prinsinya, sebagai orang Makassar, darah sebagai saudagar Bugis sangat kental, sehingga dia lebih memilih aktif di bisnis kuliner setelah purna tugas di kepolisian. Rumah makan Puang Oca ini menawarkan menu makanan laut khas Makassar, namun dengan cita rasa Indonesia. Menurut Manggabarani, kepiting, udang dan jenis ikan lainnya juga didatangkan langsung dari Makassar untuk menjamin ke...

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?” Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram. Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam.Umar Kei, 33 tahun, nama kondang Umar, tampak terkejut. Tapi hanya sedetik, setelah itu terbahak. Dia tertawa sampai ...

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Saya paling suka cerita dan film tentang thriller, mirip mobster, yakuza, mafia dll. Di Indonesia juga ada yang menarik rasa penasaran seperti laporan Tempo 15 November 2010 yang berjudul GENG REMAN VAN JAKARTA. >(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135105.id.html) TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. "Saya lari ke atas," kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. "Anak buah saya berkumpul di lantai tiga." Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semaran...